Pdt. Yohanes Adrie Hartopo, Ph.D.
Rektor STT Amanat Agung Jakarta
Sekolah Teologi atau seminari pada umumnya dikenal sebagai suatu lembaga pendidikan teologi yang memiliki tujuan utama untuk mengajar dan mempersiapkan orangorang yang menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi rohaniwan penuh waktu. Mereka yang lulus ini akan melayani sebagai rohaniwan-rohaniwan di berbagai tempat dan berbagai jenis ladang pelayanan (gereja, lembaga misi, yayasan kristen, sekolah Kristen, Sekolah Teologi, atau lembaga-lembaga kristen lainnya).
Ada tiga kategori Sekolah Teologi: (1) Sekolah Teologi yang “denominational,” yakni yang eksis melayani suatu kelompok keagamaan tertentu dengan melatih para rohaniwan dan pemimpin gerejanya. Teologi dan agenda dari denominasi itu biasanya mendominasi kehidupan sekolah tersebut. (2) Sekolah Teologi yang berada di bawah suatu universitas (“university-based”), yakni yang eksis berdampingan dengan berbagai jurusan lainnya di universitas tersebut. (3) Sekolah Teologi yang “independent,” yakni yang pada umumnya eksis untuk melayani atau terkait dengan suatu “movement” tertentu (mis: gerakan Injili, gerakan ekumenikal, dsb).
Selain itu, dilihat dari macam pendidikan yang diberikan, ada dua macam Sekolah Teologi: (1) Sekolah Teologi yang hanya menjadi tempat belajar teologi dan pengetahuan-pengetahuan terkait lainnya, dimana para mahasiswa hanya dituntut untuk menyelesaikan berbagai tuntutan akademis yang memang disyaratkan (mis: mengikuti kuliah, menulis makalah, mengerjakan tugas-tugas lain yang terkait dengan mata kuliah, mengikuti ujian, menulis skripsi/tesis, dsb). Berbagai kegiatan dan tugas non-akademis lainnya yang diadakan di sekolah tersebut hanya bersifat “optional” bagi para mahasiswa. Bahkan mungkin tidak ada latihan untuk kerja praktek yang diatur Sekolah Teologi bagi para calon rohaniwan. Tidak sedikit Sekolah-sekolah Teologi yang demikian masih mengijinkan para calon rohaniwan untuk
tetap bisa bekerja penuh waktu di luar. (2) Sekolah Teologi yang bukan hanya mengajar teologi dan pengetahuan-pengetahuan terkait lainnya, tetapi yang juga mempersiapkan para mahasiswa (khususnya yang mempersiapkan diri menjadi rohaniwan penuh waktu) dalam pembentukan rohani, karakter, skill pelayanan, relasi, dan sebagainya. Biasanya Sekolah-sekolah Teologi seperti ini mensyaratkan para calon rohaniwan itu untuk berfokus sepenuhnya pada pendidikan di kampus, dalam arti mereka tidak diijinkan untuk bekerja di luar kampus1.
Satu hal yang jelas tidak dapat disangkali adalah Sekolah Teologi dan Gereja saling membutuhkan. Gereja dapat menghadapi kesulitan menghadapi masa depan dalam kepemimpinan tanpa adanya Sekolah Teologi. Sebaliknya, Sekolah Teologi akan kehilangan alasan dan makna keberadaannya tanpa adanya gereja sebagai mitra. Keduanya jelas saling membutuhkan.
Sekolah Teologi membutuhkan Gereja dalam beberapa aspek. Yang pertama, Sekolah Teologi membutuhkan calon-calon mahasiswa, yaitu orang-orang yang mendapat dan meresponi panggilan khusus untuk menjadi rohaniwan penuh waktu. Para calon mahasiswa yang mendapat panggilan ini adalah hampir selalu datang dari gereja. Kebanyakan dari mereka adalah hasil pembinaan dan pengkaderan gereja terhadap para aktivis dan pemuda-pemudi di gereja. Sangat perlu bagi gereja untuk senantiasa mendorong, menantang dan mengarahkan para pemuda-pemudi untuk memberikan hidup bagi pelayanan penuh waktu di ladang Tuhan.
Hal yang menyedihkan, yang mau tidak mau kita harus akui, adalah fakta bahwa pada zaman sekarang sudah tidak terlalu sering terdengar tantangan atau himbauan yang disampaikan melalui mimbar gereja, baik dalam kebaktian-kebaktian hari minggu maupun kebaktian-kebaktian acara khusus, untuk mengajak para pemuda-pemudi untuk menyerahkan diri menjadi rohaniwan penuh waktu. Akibatnya terlihat adanya kekurangan tenaga rohaniwan di berbagai tempat. Lulusan Sekolah Teologi yang baik tidak dapat mencukupkan ladang yang sudah menguning dan yang menunggu untuk dituai. Akibatnya gereja memakai siapa saja yang dapat dipakai, sekalipun sebenarnya orang tersebut tidak terlalu dipersiapkan dengan baik di Sekolah Teologi yang baik. Oleh sebab itu mengenali dan mengidentifikasikan orang-orang di gereja yang memang mungkin terpanggil untuk pelayanan penuh waktu seharusnya menjadi salah satu agenda utama gereja. Gereja perlu lebih menekankan mengenai keagungan nilai dan makna menjadi seorang rohaniwan.
Yang kedua, Sekolah Teologi membutuhkan gereja sebagai tempat pelayanan praktek (magang) bagi para mahasiswa. Para mahasiswa di Sekolah Teologi seharusnya dipersiapkan bukan hanya dibekali dengan pengetahuan Alkitab secara akademis, tetapi dibekali juga dengan pengetahuan praktis yang terkait dengan pelayanan di kemudian hari. Oleh sebab itu para mahasiswa sebaiknya menjalani berbagai macam kerja praktek semasa belajar (misalnya, praktek akhir pekan, praktek 2 bulan masa liburan, dan praktek 1 tahun setelah semua perkuliahan selesai). Sekolah Teologi harus terus menjalin kerjasama dengan berbagai gereja dalam hal ini, karena gerejalah yang memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk ikut merasakan berbagai bentuk pelayanan dalam gereja, sekaligus ikut menggumuli akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelayanan di gereja. Sekolah Teologi juga sangat mengharapkan gereja-gereja untuk dapat membantu membimbing dan mengarahkan para mahasiswa selama jangka waktu praktek tersebut, karena mereka masih dalam tahap belajar, yakni belajar menerapkan apa yang sudah dipelajari di Sekolah Teologi dalam pergumulan pelayanan yang nyata.
Hal yang sangat diperlukan bagi para mahasiswa praktek adalah pengarahan dan bimbingan dari para rohaniwan tetap yang lebih senior di gereja. Yang cukup sering terjadi adalah mahasiswa praktek hanyalah ditempatkan untuk membantu atau bahkan mengisi kekosongan dalam satu bidang pelayanan di gereja tanpa adanya bimbingan dan pengawasan. Jikalau mahasiswa praktek tersebut tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik ataupun dinilai kurang dalam beberapa hal, maka gereja langsung menyampaikan keluhan kepada Sekolah Teologi dan bahkan minta diganti. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jikalau gereja mengerti bahwa para mahasiswa praktek tersebut adalah masih dalam tahap belajar dan dibentuk, dan belumlah menjadi rohaniwan yang sudah hebat dan sempurna.
Yang ketiga, Sekolah Teologi membutuhkan gereja untuk ikut mengambil peran tanggung jawab dalam membantu Sekolah Teologi mempersiapkan calon rohaniwan dalam kaitan dengan perkembangan kepemimpinan pelayanan di gereja. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan gembala gereja atau rohaniwan gereja datang mengajar di Sekolah Teologi. Tentunya yang diharapkan adalah gembala atau rohaniwan gereja yang membantu mengajar memiliki gelar dalam pendidikan teologi yang memadai. Dengan demikian Sekolah Teologi dapat memperkembangkan unsur “profesionalitas”nya selain unsur “intelektualitas”nya.
Yang keempat, Sekolah Teologi membutuhkan dukungan finansial dari gereja. Keberadaan kebanyakan Sekolah Teologi yang adalah sebagai lembaga non-profit jelas sangat bersandar pada dukungan para donatur. Perkembangan Sekolah Teologi jelas tidak bisa dilepaskan dari faktor keuangan. Hal ini adalah sesuatu yang realistis. Jikalau ingin memiliki suatu “environment” yang baik untuk belajar, maka kebutuhan akan kampus yang baik tidaklah dapat dihindarkan. Kampus yang baik juga perlu terus dipelihara supaya tetap baik. Jikalau ingin mendapatkan dosen-dosen yang bermutu, maka perlu terus usaha perekrutan dosen baru yang baik. Jikalau perpustakaan, yang adalah “jantung”nya suatu Sekolah Teologi, ingin terus diperkembangkan sehingga memiliki jumlah buku dan jurnal yang memadai untuk menunjang perkuliahan, maka harus ada berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan sarana perpustakaan. Hal-hal tersebut jelas membutuhkan dana keuangan. Kiranya gereja-gereja dapat terus menghimbau dan mendorong jemaatnya untuk mendukung Sekolah Teologi secara finansial. Selain itu gereja dapat memberikan kesempatan pada Sekolah Teologi untuk mengadakan Minggu khusus dengan tujuan untuk memperkenalkan dan mensharingkan berbagai kebutuhan suatu Sekolah Teologi
Bukan hanya Sekolah Teologi membutuhkan gereja, tetapi gereja juga membutuhkan Sekolah Teologi. Yang pertama, gereja membutuhkan Sekolah Teologi sebagai tempat untuk mempersiapkan, mendidik, dan membentuk para calon rohaniwan sebelum terjun ke dalam ladang pelayanan secara penuh waktu. Sekolah Teologi bereksistensi “for the better preparation and education of persons called to the high and holy office of the Christian ministry.” 2 Pendidikan semacam ini tidak mungkin dilakukan oleh gereja sendiri.
Gereja membutuhkan Sekolah Teologi yang baik dan sehat, yang dapat menghasilkan rohaniwan yang baik dan berkualitas. Sekolah Teologi yang baik dan sehat adalah yang memberikan perhatian pada pengetahuan Alkitab dan teologi yang benar. Penggalian Alkitab sebagai Firman Allah secara mendalam menjadi fondasi yang penting untuk pelayanan yang efektif. Rohaniwan yang dibutuhkan adalah yang bukan hanya mampu berkotbah dengan baik, tetapi yang mampu menggali Alkitab dengan baik dan memiliki dasar teologi yang kuat, dan sanggup mengaplikasikan secara relevan dalam kehidupan sesehari. Selain itu Sekolah Teologi yang baik dan sehat juga menaruh perhatian pada pembentukan karakter dari setiap calon rohaniwan yang sedang dipersiapkan. Tidak cukup hanya memiliki kemampuan akademis yang baik, tetapi seorang rohaniwan yang adalah pemimpin rohani perlu memiliki karakter yang baik.
Sekolah Teologi yang baik juga mempersiapkan para calon rohaniwan dengan bekal-bekal yang diperlukan untuk pelayanan praktis di gereja. J. Sweeney & S. Fortosis mengungkapkan bahwa Sekolah Teologi harus lebih banyak melakukan pekerjaan rumah dalam menyiapkan calon rohaniwan, khususnya dalam “hal praktika kepemimpinan gereja dan ketrampilan antar personal.” 3 Seringkali ketika gereja tidak mendapatkan rohaniwan yang dapat memenuhi kualifikasi dalam hal ini, maka Sekolah Teologi dari mana rohaniwan itu berasal mendapat kritikan. Oleh sebab itu Sekolah Teologi sangatlah perlu memperhatikan perkembangan zaman dan kebutuhan gereja. Jikalau tidak, maka rohaniwan yang dihasilkan akan menjadi tidak relevan dengan perkembangan kebutuhan pelayanan. Maka gereja harus ikut “membantu” Sekolah Teologi dalam hal memberikan masukan, informasi, usulan, dan bahkan kritikan sehingga perkembangan kebutuhan gereja dapat terkomunikasikan dengan baik.
Yang kedua, Gereja membutuhkan Sekolah Teologi karena menyadari bahwa pendidikan dan pembentukan rohani seorang rohaniwan tidaklah berhenti setelah seorang rohaniwan lulus dari Sekolah Teologi. Maka Sekolah Teologi harus berusaha untuk terus membantu para rohaniwan tetap gereja untuk dapat “disegarkan” dalam pelayanan, misalnya dengan menyediakan kesempatan kepada para rohaniwan untuk dapat mengadakan “refreshing” dengan mengambil kuliah-kuliah tertentu, baik kuliah reguler ataupun intensif. Selain itu, Sekolah Teologi tentunya menyediakan kesempatan kepada para rohaniwan gereja yang memiliki keinginan untuk melanjutkan studi. Dengan demikian Sekolah Teologi dapat menjadi rekan belajar rohaniwan gereja.
Yang ketiga, Gereja membutuhkan Sekolah Teologi guna menghadapi masa depan pelayanan yang semakin besar dan kompleks. Supaya gereja siap menghadapi berbagai tantangan dalam pelayanan, bukan hanya memerlukan rohaniwan-rohaniwan yang baik, tetapi juga memerlukan kaum awam yang diperlengkapi dengan baik. Melengkapi kaum awam dalam hal pengetahuan Alkitab dan Teologi dapat dilakukan melalui kelaskelas pembinaan, sekolah Alkitab malam, atau mengikuti kuliah-kuliah di Sekolah Teologi. Tidak sedikit Sekolah-Sekolah Teologi di seluruh dunia yang memiliki program melengkapi kaum awam dalam pengetahuan Alkitab dan teologi. Messer berkata, “Recognizing that Christian ministry is for all of God’s people, most seminaries do not restrict their educational offerings and opportunities just to those who are preparing for ‘professional’ leadership. In fact, the hunger for theological education extends beyond the baptized and believers.” 4 Oleh sebab itu keberadaan suatu Sekolah Teologi adalah bukan hanya untuk mempersiapkan calon rohaniwan penuh waktu, tetapi seharusnya juga turut berpartisipasi dalam memperlengkapi jemaat Tuhan. Program melengkapi kaum awam itu dapat berupa sekolah Alkitab malam secara reguler (yang diadakan di Sekolah Teologi tersebut atau di gereja-gereja tertentu), kuliah-kuliah intensif yang terbuka untuk umum, pelatihan-pelatihan khusus, program non-gelar yang memberikan sertifikat kelulusan, atau bahkan program gelar untuk kaum awam yang tertarik untuk belajar.
Yang keempat, Gereja membutuhkan Sekolah Teologi karena Sekolah Teologi melayani sebagai “an intellectual center of the church.” 5 Sampai sekarang masih terus ada anggapan bahwa kesalehan hidup dan intelektualisme itu bertentangan atau tidak berhubungan. Bertumbuh dalam kerohanian dan kekudusan hidup seringkali dianggap hanya cukup dengan sering bersekutu dan berdoa. Akibatnya, permasalahan kritis yang terkait dengan iman Kristen tidak lagi digumuli. Berbagai pengajaran baru diserap tanpa pemikiran yang kritis. Isu-isu kontemporer yang membutuhkan refleksi teologis yang kritis tidak dihiraukan. Masalah-masalah sosial, politik, dan budaya di sekitar tidak diberikan perhatian. Oleh sebab itu Sekolah Teologi haruslah berfungsi sebagai tempat mengadakan refleksi dan kupasan kritis terhadap hal-hal yang terkait dengan ibadah, pengajaran, pemeliharaan jiwa-jiwa, dan pelayanan gereja. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan kerjasama mengadakan seminar-seminar atau konferensi-konferensi khusus yang membahas topik-topik tertentu. Hubungan dan kerjasama antara Sekolah Teologi dengan gereja tidaklah selalu mulus dan baik adanya. Messer menggambarkan relasi ini dengan satu gambaran yang cukup umum, yakni “Playing the blaming game.”6 Dalam hal ini gereja mempersalahkan Sekolah Teologi karena kegagalannya mempersiapkan para mahasiswa dengan subjek-subjek mata kuliah yang tidak terlalu tepat atau yang terlalu teoritis. Sebaliknya, Sekolah Teologi menuduh gereja mengirimkan calon-calon rohaniwan yang memiliki kualitas yang buruk.
Relasi “tuduh menuduh” seperti ini tidaklah perlu terus dipertahankan. Kedua belah pihak harus “bertobat” dan berubah menuju perbaikan dan hubungan yang baru. Sekolah Teologi perlu terus berinisiatif mendekati gereja dan mengajak para pimpinan gereja, baik rohaniwan senior maupun majelis, yang rela menerima tugas dan tanggung jawab penyiapan calon-calon rohaniwan untuk sama-sama memikirkan apa yang dapat dilakukan dan bagaimana melakukan pendidikan teologi yang baik. Wawasan pelayanan perlu dibukakan. Informasi dari berbagai bidang kehidupan bisa disampaikan. Para dosen Sekolah Teologi mungkin dapat datang ke ladang praktek mahasiswa untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik mengenai tempat praktek tersebut. Para pimpinan gereja dapat menjadi mentor atau rekan bagi para mahasiswa praktek.7 Dengan demikian relasi Sekolah Telogi dan Gereja menjadi semakin baik dan semakin mendatangkan manfaat bagi kedua pihak.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Ada satu jenis Sekolah Teologi lagi, yakni Sekolah Teologi Korespondensi, dimana para mahasiwa bisa mengikuti kuliah jarak jauh dengan tidak memerlukan
kehadiran di kampus sampai menyelesaikan jenjang program tertentu. Model Sekolah Teologi seperti ini kurang diterima oleh banyak gereja.
2 Donald E. Messer, Calling Church & Seminary into the 21st Century (Nashville: Abingdon, 1995), 24.
3 J. Sweeney & S. Fortosis, “Seminary and Church: Allies for Change,” Christian Education Journal 14 (1994), 74-75.
4 Messer, Calling Church & Seminary, 24.
Pengakuan Preman Yang Bertemu Tuhan (Harun Sapto)
10 years ago