Book Review :Asia Future Shock

Judul buku: Asia Future Shock
Genre: business & economics
Pengarang: Michael Backman
Tahun penerbitan: Mei-2008 (Indonesia)
Harga: Rp. 54.000,- (Gramedia)


Buku yang terdiri dari 25 bab ini cukup fantastis. Terdapat 25 peristiwa penting masa depan Asia yang disajikan dalam buku ini. Ke-25 peristiwa tersebut memperkenalkan sejumlah risiko dan peluang bisnis di Asia dalam beberapa dasawarsa mendatang. Backman yang sebelumnya menulis buku laris berjudul Asian Eclipse: Explosing the Dark Side of Business in Asia ini mampu menyuguhkan beragam strategi bisnis untuk kawasan Asia yang tidak semata-mata didasarkan pada penilaian dari sisi ekonomis konvensional. Dengan gaya bertuturnya yang mengalir, Backman menyuguhkan beragam ‘kisah’ yang diprediksikan akan menjadi fokus utama bagi kaum pengusaha yang berminat memperluas pangsa pasarnya di kawasan Asia. Backman juga menyajikan saran untuk penyusun strategi dan rencana bisnis pada bagian akhir di setiap bab-nya. Berbagai materi yang dibahas Backman antara lain adalah dinamika populasi, teknologi, SDA (sumber daya alam), SDM (sumber daya manusia), kesehatan, dan kultur finansial dari berbagai negara di Asia.

Dalam bab 1, misalnya, Backman bertutur mengenai dinamika populasi di Asia dengan kesimpulan bahwa negara-negara di Asia, terutama China, Korsel, dan Singapura mengalami kecenderungan penuaan usia produktif terkait rendahnya angka kelahiran yang akan berdampak pada daya saing upah. Dalam 20 tahun ke depan, kota-kota besar akan semakin dipadati penduduk urbanisasi dari pedesaan, Malaysia akan kehabisan minyak sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, dan jumlah kelahiran di negara Asia menurun tajam sehingga anggota keluarga semakin kecil. Diperkirakan, secara keseluruhan pada 2027, penduduk kota-kota di Asia akan bertambah sekitar 1,1 juta jiwa dibandingkan posisi pada 2007. Penduduk India diperkirakan akan menyusul penduduk China pada 2030, yaitu pada saat penduduk kedua negara mencapai 1,4 miliar jiwa. Di Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan China, jumlah penduduk tua (aging population) akan meningkat tajam karena rendahnya angka kelahiran. Dalam 30 tahun, populasi Jepang akan menyusut sebesar 20 juta, penduduk pria di China dan India akan lebih banyak 250 juta jiwa dibandingkan penduduk wanita, kekurangan air bersih, dan peningkatan pesat harga pangan akan menghantui negara Asia. Pada 2050, diperkirakan setiap 10 orang yang bekerja di China, 7 orang di antaranya menganggur. Terbatasnya lapangan kerja di pedesaan mengakibatkan terjadinya lonjakan urbanisasi. Kota-kota besar di China, Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam akan dua kali lipat besarnya dalam 20 tahun mendatang.

Dalam bab 2, Backman mengkomentari peran internet dalam pertumbuhan, perkembangan, dan ancaman yang ditimbulkan oleh internet terhadap bisnis di Asia. Backman menyoroti meluasnya penggunaan internet di Asia dapat menjadi ancaman, dan peluang. Meluasnya penggunaan internet di negara Asia merupakan peluang untuk mendapatkan informasi dan pemasaran barang-barang bagi dunia usaha. Namun, internet dapat juga menjadi mudarat bagi penggunanya, karena dapat dijadikan mata-mata oleh pemerintah atas lawan-lawan politik dan mengekang kebebasan masyarakat khususnya pada pemerintahan terpimpin atau pun otoriter, seperti China dan Vietnam. Penggunaan internet sebagai mata-mata tersebut dapat saja meluas ke negara-negara yang tidak otoriter, seperti untuk mempertahankan kekuasaan atau dalam rangka penyadapan untuk tindak pidana korupsi, yang akhir-akhir ini banyak diperdebatkan.

Dalam bab 4, Backman juga membahas masalah peningkatan kekuatan militer China dengan kesimpulan akhir bahwa China meningkatkan kemampuan militernya lebih didasari untuk melindungi kepentingan komersialnya daripada untuk alasan-alasan geopolitik atau ideologi. Terkait SDA, Backman membahas mengenai masalah perang air dan kecenderungan penggunaan nuklir sebagai sumber energi yang menjanjikan bagi masa depan Asia, menggantikan ketergantungan terhadap minyak bumi pada saat ini. Backman juga memperkirakan Vietnam akan menjadi China berikutnya. Reformasi dan deregulasi ekonomi yang dilakukan Pemerintah Vietnam telah menghasilkan buah baik. Vietnam telah berpindah dari model pembangunan ekonomi yang kejam menjadi mengayomi, mirip dengan Singapura. Vietnam yang masih salah satu negara termiskin di Asia pada 1990, kini telah menyalip perekonomian Indonesia. Vietnam telah menjelma menjadi salah satu perekonomian terbuka di Asia, dengan nisbah perdagangan terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari China dan India. Dengan dorongan investasi dan semangat kerja keras, tidak tertutup kemungkinan perekonomian Vietnam dapat menyamai China pada masa mendatang

Terkait kompetensi SDM, dalam bab 9 Backman memprediksikan bahwa China akan memiliki penutur bahasa Inggris terbanyak di dunia, mengalahkan AS. Kemampuan ini akan menjadikan China sebagai pusat BPO (Business Process Outsourcing) yang penting. Namun dalam bab-bab selanjutnya Backman juga menyorot rendahnya mutu pendidikan di China dan India. Akan terjadi kekurangan tenaga manajemen terampil di China dan India. Di China, mahasiswa yang dihasilkan adalah yang baik dalam mengikuti perintah, bukan yang kreatif. Di India, institut pendidikan terbaiknya yang menghasilkan lulusan kelas atas, Indian Institute of Technology, hanya menerima 4.000 mahasiswa baru setiap tahun dari total satu miliar penduduk. Yang mengejutkan, Backman juga membahas masalah peningkatan keretakan keluarga di Asia dengan kesimpulan bahwa tingginya angka perceraian di Asia merupakan akibat dari penghasilan yang lebih tinggi, bukan keruntuhan moral. Selain itu, Backman memaparkan kondisi pendukung investasi di China dan Indonesia yang sarat korupsi, Vietnam yang diprediksikan mampu meraih hasil ekonomi yang signifikan, Burma yang sebenarnya berpotensi menjadi Vietnam berikutnya, serta Malaysia yang banyak ‘mengambur-hamburkan’ uang negara dengan ketergantungan yang sangat tinggi pada Petronas.

Pada lima bab terakhir, Backman menyoroti sektor kesehatan, turisme, perbankan pribadi, dan kepemilikan korporasi oleh badan-badan amal di Asia. Dalam 10 tahun ke depan, investasi di China akan tumbuh hingga mencapai 1,5 triliun dolar AS, dan Singapura menjadi surga penempatan ‘uang panas’ menggantikan Swiss. Rumah sakit di Thailand menjadi pusat jasa kesehatan utama bagi penduduk di Asia, Timur Tengah, dan warga AS yang tidak mempunyai asuransi. Dalam tiga bab, Backman berulang kali mengutarakan besarnya potensi sektor kesehatan sebagai salah satu sektor yang sangat menjanjikan bagi peluang bisnis dan investasi dengan Thailand, Singapura, dan India sebagai basis utamanya. Backman juga bertutur mengenai potensi Singapura sebagai ‘Swiss berikutnya’ terkait tingginya jaminan kerahasiaan yang ditawarkan bank bagi para nasabahnya.

Khusus mengenai Indonesia, Backman memberikan pandangan ‘skeptisnya’ terkait dengan situasi perpolitikan dan birokrasi di Indonesia. Michael Backman, mencatat perekonomian indonesia sudah berkurang arti pentingnya, bila dibandingkan dengan perekonomian-perekonomian lainnya di dunia, dan kemungkinan akan semakin tidak penting lagi. Judul tulisan Backman mengenai Indonesia cukup membuat dahi berkerut, “apakah Indonesia memiliki masa depan?”. Berikut point penting tulisan tersebut:

1. Perekonomian Indonesia selama ini bisa bertahan karena adanya sektor migas. Cadangan minyak akan terus menurun seiring waktu, dan akan sangat mempengaruhi perekonomian nasional. Pasokan yang tidak stabil ke Jepang (importir LNG terbesar), membuat Jepang mengalihkan sumber pasokannya ke Qatar, yang memang dikenal sebagai negara penghasil gas terbesar di dunia. Di saat negara-negara penghasil minyak lainnya mengibarkan dolar dari harga minyak yang terus melejit, Indonesia justru merangkak tak berdaya.

2. Biaya produksi Indonesia tinggi. Bukan karena biaya pekerjanya mahal, tapi karena birokrasi yang panjang dan banyak ‘pungutan liar’nya. Dikatakan, jika ingin berinvestasi di Indonesia, akan timbul banyak biaya overhead yang tinggi dan tidak terduga, di samping proses izin yang lama. Ini membuat investor asing enggan berinvestasi di Indonesia.

Dari kedua point tersebut, Backman menilai Indonesia akan semakin terpuruk, sementara persaingan dunia semakin sengit. Menurutnya, jika ada guncangan global, niscaya Indonesia tidak mampu menahannya seperti negara-negara Asia yang lain.

Pada intinya, buku Asia Future Shock ini mampu menampilkan sisi-sisi yang umumnya tidak terlalu banyak dibahas dalam merencanakan strategi bisnis di Asia. Buku ini tidak untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mempersiapkan ke arah masa depan Asia yang lebih baik bagi bangsa-bangsa di Asia khususnya kepada generasi mudanya. Ancaman tersebut sebagai peringatan dini bagi penyusun strategi, rencana bisnis, dan bahkan pembuat kebijakan dalam membuat perencanaan yang lebih baik di masa depan. Ancaman masa depan Asia tersebut bukan berdasarkan khayalan Backman dalam rangka mencari sensasi, tetapi berdasarkan hasil studi beberapa lembaga dan berita dari berbagai media massa yang diolah dan dianalisis kembali. Sekalipun memiliki keterbatasan yakni tidak menampilkan profil ekonomi di seluruh negara Asia, namun negara-negara yang dibahas dalam buku ini dapat dikatakan mewakili kondisi umum ekonomi Asia berikut prediksi peluangnya di masa yang akan datang. Oleh karenanya, buku ini patut dibaca oleh para perencana bisnis, pengusaha, pengamat ekonomi dan bisnis internasional serta seluruh masyarakat yang berminat untuk mengetahui lebih dalam mengenai Asia yang perekonomiannya mulai fantastis dan menggerogoti kedigayaan Eropa dan Amerika.


Author Biographies

MICHAEL BACKMAN is an Author, Business Analyst and Columnist who specializes in Asia and Asian corporate practice. He is the author of the international bestseller, Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Business in Asia, which was named by The Economist as one of the sixteen finest general non-fiction books of the year. He is the co-author of Big in Asia: 25 Strategies for Business Success. He has a long-running and widely-read Asian business column in the Melbourne Age newspaper. He writes several regular newspaper columns on Asian business, has authored numerous articles for The Times of London, International Herald Tribune, Asian Wall Street Journal and the Far Eastern Economic Review and has been quoted on Asian corporate matters in many leading publications around the world including The Wall Street Journal, Washington Post, Time, Newsweek, Fortune and The Economist. He has lived and worked in Asia and travels widely and regularly throughout the region. He is a frequent speaker at conferences and seminars on Asia, both for companies and at public events. He is based in London when not travelling in Asia.


Praise for Asia Future Shock

Michael Backman
"really understands why business evolved the way it did in Asia."
The Economist

Michael Backman is “a brilliant writer on regional business strategies.”
Australian Financial Review

“Backman’s excellent and extensive case studies are aimed at pointing out the pitfalls to foreign investors.”
The Independent

No comments: