MENJADI MURID, HARUS BERANI BAYAR HARGA (Pdt. Manati I. Zega, S.Th.)

oleh: Pdt. Manati Immanuel Zega, S.Th.
(Pendeta di Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia–GUPdI Pasar Legi, Solo)


Nats: Luk. 14:25-34

Ada bermacam-macam motivasi yang timbul di dalam hati seseorang ketika mengambil keputusan untuk menjadi murid Tuhan. Misalnya, agar mendapat berkat materi yang berkelimpahan. Atau, bagi mereka yang mengagung-agungkan “theologi” kemakmuran meyakini bahwa menjadi anak Tuhan pasti serba enak, sebab setiap hari kita akan mendapatkan berkat yang berkelimpahan. Bahkan orang-orang tertentu yang berani mengklaim apabila seseorang tidak diberkati, di dikutuk Tuhan. Walaupun dalam kenyataannya, banyak orang yang cinta Tuhan dengan serius, tetapi hidupnya tidak berkelimpahan secara materi, melainkan berkelimpahan dalam hal rohani.

Injil Lukas 14:25-34 memberikan prinsip-prinsip penting bagaimana seharusnya seorang Kristen mengikut Tuhan. Untuk lebih memahami ayat-ayat tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pasal-pasal sebelumnya, khususnya pasal 9. Dalam pasal ini Yesus menguraikann makna mengikut Tuhan dalam pengertian yang sesungguhnya.

Di bawah ini ada beberapa pokok pikiran penting yang akan kita pikirkan bersama.
Pertama, Yesus memandang kehidupan Kristen dengan realistis
Bacaan Firman Tuhan di atas menjelaskan banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus. Berarti Yesus telah menjadi populer di masyarakat, atau menjadi tokoh idola banyak orang. Yesus sebagai Pemimpin yang bijaksana ternyata menyampaikan hal-hal di luar dugaan para pendengar-Nya. Yesus menyampaikan hal yang sangat prinsip bagi iman Kristiani. Dia berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (ayat 27). Kata tidak dapat pada ayat di atas, dalam bahasa aslinya mengguakan kata “Ouk Dunatai.” Kata ini bisa berarti tidak punya hak atau tidak punya kuasa. Dengan kata lain, Yesus ingin menegaskan barangsiapa tidak memikul salibnya dalam mengikut Tuhan, sama sekali tidak berhak menyebut dirinya sebagai murid Tuhan.
Pernyataan ini jelas dan tegas agar umat Tuhan, para intelektual Kristen memahami makna mengikut Tuhan dalam porsi yang benar dan bertanggung jawab. Yesus tidak menjanjikan fasilitas bagi orang-orang yang mendengarkan pernyataan-Nya itu. Yesus tidak berkata seperti para pemimpin organisasi dunia yang menjanjikan ini dan itu. Pada umumnya, para pemimpin dunia menjanjikan fasilitas-fasilitas yang nantinya akan dinikmati setelah terpilih menjadi pemimpin, walaupun dalam kenyataannya janji tinggal janji.

Yesus memberikan syarat-syarat mendasar bagi setiap Pengikut-Nya. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi apabila ingin menjadi murid yang diperkenan-Nya. Pada ayat 26 “Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Penyataan ini memberi pengertian bahwa ikut Tuhan harus disertai dengan pengorbanan, termasuk nyawa kita sekalipun.

Di dalam Matius 22:37-39 Yesus menegaskan “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwami, segenap akal budimu.” Inilah prinsip iman yang tidak bisa ditawar-tawar. Ikut Tuhan harus siap baik dalam keadaan suka maupun duka.

Dalam abad I Rasul Paulus berkata “Cross is my glory,” kemudian pada abad XIX Fanny J. Crosby mengulangi perkataan yang sama “Cross is my glory.” Para pendahulu kita ini menderita bukan karena melakukan suatu tindakan kriminal yang naif, tetapi menderita karena berjuang demi iman serta mempertahankan makna salib Kristus sebagai puncak pengorbananNnya bagi manusia yang berdosa.


Kedua, ikut Yesus harus punya dasar dan alasan yang kuat
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri “mengapa saya memilih menjadi murid Tuhan atau anak Tuhan? Mengapa saya memilih menjadi Kristen? Padahal, banyak agama yang secara hukum diberi kesempatan berkembang di negeri ini? Perlu dipikirkan! Anak-anak Tuhan dalam gereja awal mwngalami tantangan bahkan penganiayaan, tetapi justru mereka setia ikut Tuhan karena mareka punya landasan dan alasan yang kokoh untuk mengikut Tuhan.

Polikarpus seorang anak Tuhan yang sungguh-sungguh cinta Tuhan, dia ditangkap oleh pemerintah Romawi, kemudian diancam untuk dibunuh. Kepadanya ditanyakan : “Polikarpus, apakah enkau masih mau ikut Yesus? Kalau engkau tetap ikut Dia, saat ini pasti engkau tidak akan selamat. Tetapi jika engkau menyangkalNya engkau pasti akan selamat dari ancaman kematian.”

Dengan serius dan tegas Polikarpus menjawab: “pada usia sembilan tahun aku telah mengenal kasih-Nya, sekarang aku telah berusia delapan puluh empat tahun, aku tidak pernah disakiti-Nya, bagaimana mungkin aku menyangkal Dia?”

Polikarpus memiliki alasan yang kuat untuk mengikut Yesus. Ayat 28-33 di atas, Yesus memberikan suatu gambaran tentang seseorang yang akan mendirikan suatu menara, atau raja yang akan berperang. Seorang perancang bangunan agar hasil yang dicapai maksimal, terlebih dahulu harus duduk diam untuk memikirkan dan mempertimbangkan apa saja yang akan dilakukannya agar bangunan itu jadi dan hasilnya tidak memalukan. Demikian juga seorang raja yang akan maju berperang harus memikirkan kekuatan dan kelemahan prajurit yang dimilikinya, kalau tidak, lebih baik berdamai saja dengan lawannya.
Contoh ini memberikan inspirasi bahwa kalau mau ikut Tuhan pertimbangkan baik-baik bahwa ada pengorbanan, ada resiko tinggi yang mungkin akan ditanggung setiap orang uang mengambil keputusan untuk ikut Tuhan.

Sejarah gereja telah mencatat pengorbanan dan penderitaan yang dialami orang Kristen sepanjang zaman. Yesus tidak pernah berkata: “If You Follow Me Everithing is going well.” Kitab Suci mencatat dengan jujur ikut Tuhan juga harus bersedia menderita. Di dalam Lukas pasal 9, Yesaya memberikan teladan tentang pribadi-Nya sendiri. Khususnya ayat 58 menuliskan demikian: “Yesus berkata kepadanya: serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya.”


Ketiga, ikut Yesus harus menjadi pembawa misi
Allah punya misi yang tidak pernah berubah sepanjang abad untuk dunia ini. Misi itu dalam rangka penyelamatan dunia yang berdosa. Lalu misi tersebut diberi tanggung jawab oleh Alah kepada setiap generasi sepanjang zaman. Allah bukan tidak mampu melakanakannya sendiri, tetapi Allah ingin melibatkan manusia karena manusia adalah Peta dan Rupa Allah (Imago Dei). Allah sangat menghargai manusia karena itu setiap generasi diberi tanggung jawab untuk melayani zamannya. Rev. Dr. Stephen Tong menyebut misi untuk setiap generasi dengan istilah “Serve Your Time.”

Generasi yang hidup di abad XXI bertanggung jawab melayani manusia yang hidup di abad yang bersangkutan. Dari generasi ke generasi Allah memberi tanggung jawab mengambil bagian dalam rencana-Nya yang agung.

Ayat 34, Yesus memberi tanggung jawab kepada para murid-Nya dan kepada setiap generasi, untuk melakukan sesuatu yakni panggilan suci. Panggilan suci tersebut adalah untuk menjadi “garam” bagi dunia. Garam adalah kebutuhan manusia yang penting. Garam termasuk kebutuhan primer dalam hal masakan. Masakan yang tidak ada garamnya pasti tidak enak, meskipun semua bumbu yang lainnya lengkap. Pekerjaan garam memang tidak kelihatan, bahkan kesannya garam itu diam tetapi khasiatnya sangat terasa. Masakan tanpa garam hambar dan pasti tidak punya rasa. Bisa dipastikan sangat sedikit ada orang yang ingin mencicipinya.

Menjadi terang bagi generasi kita adalah kerinduan Allah yang terdalam agar banyak orangg yang percaya dan menerima-Nya sebagai Tuhan dan juruselamat. Dunia ini akan binasa apabila tidak ada terang yang terus-menerus memancari kegelapan hati manusia.
Siapakah terang itu? Alkitab menjelaskan Kristuslah terang. Hanya Kristus yang mampu menerangi kegelapan hati nurani manusia yang setiap saat selalu bengkok dan melawan Allah.

Manusia semakin sombong dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih. Manusia sombong dan berkata “Science is my god.” Benarkah? Ternyata, sejarah mencatat bahwa ilmu pengetahuan tidak mampu menyelamatkan manusia. Ilmu pengetahuan tidak mampu memberi solusi bagi peroalan manusia yang mendasar yakni dosa. Dosa tidak mampu diatasi oleh kemajuan teknologi mutakhir apapun. Penyelesaian masalah dosa hanya ketika seseorang datang kepada Kristus mengakui-Nya sebagai Tuhan secara pribadi. Di sinilah panggilan pelayanan Kristen.


Sumber:
Artikel di situs Gereja Utusan Pentakosta di Indonesia (GUPdI).

No comments: