Aborsi Bukan Semata Persoalan Moral

Sebanyak 2,5 juta orang melakukan aborsi di Indonesia pada 2008. Sebagian praktik aborsi masih dilakukan oleh dukun.

Tingkat aborsi di Indonesia ditengarai masih tinggi. Tidak sedikit perempuan mengambil jalan pintas menggugurkan kandungan karena alasan moral: takut dicemooh masyarakat dan dimarahi anggota keluarga. Akibatnya, pelaku acapkali mengabaikan pertimbangan medis dan hukum ketika melakukan aborsi.

“Banyak perempuan mengambil langkah pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya, karena takut dicemooh oleh keluarga dan masyarakat,” ujar Rena Hardiany. Pernyataan Direktur Kalyanamitra itu disampaikan menjelang penyelenggaraan ‘Seminar Nasional Aborsi: Menagih Tanggung Jawab Negara’ di Jakarta (28/8).

Pemerintah memang tak bisa lepas tangan membiarkan praktik aborsi illegal dan tidak medis berlangsung setiap tahun. Bayangkan, dalam catatan Kalyanamitra, sepanjang 2008 tak kurang dari 2,5 juta orang melakukan aborsi di Indonesia. Kematian kaum hawa akibat praktik aborsi diyakini terus meningkat. Maklum, 20-60 persen dari jumlah tadi termasuk aborsi yang disengaja. Penelitian di 10 kota besar dan 6 kabupaten menemukan fakta bahwa dari sekitar 2 juta kasus aborsi, separuh diantaranya terjadi di perkotaan. Dari satu juta aborsi di perkotaan, sebanyak 70 % dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan, selebihnya dilakukan dukun. ”Diasumsikan angka-angka tersebut akan meningkat jika pemerintah tidak serius membuat aturan yang jelas dan tegas,” jelas Rena.

Data lain terlihat pada penelitian World Health Organization (WHO). Badan PBB yang mengurusi kesehatan ini mencatat 15 hingga 50 persen kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 29 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia.

Aborsi dilakukan diam-diam karena berbagai alasan, terutama moral. Namun, menurut dokter Kartono Muhamad, kasus aborsi tidak sesederhana itu, dan jangan hanya bisa dilihat dari segi moralitas. “Banyak orang melihat aborsi hanya dari segi moralitas dan politik. Hanya sedikit yang melihat bahwa aborsi lebih merupakan masalah kesehatan, khususnya kesehatan perempuan,” kata mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia itu.



Celakanya, pengertian moralitas aborsi lebih bersifat subjektif dan tergantung kepada penafsiran masing-masing orang. “Tetapi model penafsiran moral yang subjektif ini sering dijadikan alat pemaksa politis kepada pemerintah sehingga pemerintah tidak tegas,” katanya dengan nada prihatin.



Aktivis perempuan Debra Yatim menimpali, aborsi lebih berkaitan dengan kesehatan perempuan, yakni kesehatan reproduksi. Jika para pemangku kepentingan tidak serius, jumlah korban akan terus bertambah. Persoalan moralitas sebaiknya diserahkan kepada tokoh agama. Pembatasan aborsi hanya karena alasan medis dan perkosaan (hukum) diyakini Debra tidak akan efektif menurunkan angka kematian ibu. “Persoalannya bukan pada boleh atau tidaknya aborsi, namun bagaimana negara wajib memberikan layanan kesehatan reproduksi yang layak,” tegasnya.



Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sebenarnya sudah menyinggung soal aborsi. Namun menurut Rena dan Debra, aturan dalam pasal 15 ayat (1) Undang-Undang ini masih kurang jelas dan bisa multitafsir. Rena berharap Pemerintah dan DPR segera merealisasikan pembahasan revisi Undang-Undang Kesehatan. Pasal 15 ayat (1) menyebutkan: Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk penyelamatan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.



Bagian penjelasan pasal ini menandaskan bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, agama, kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin dapat diambil tindakan medis tertentu. “Apa yang dimaksud dengan tindakan medis tidak jelas dalam aturan ini,” kata Rena.



Pasal 16 Kovenan ECOSOC menyebutkan bahwa negara harus komitmen melindungi hak tiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental. Komite CEDAW juga merekomendasikan kewajiban negara memberikan prioritas pada pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan melalui program keluarga berencana dan pendidikan seks. Selain itu mengurangi tingkat kematian ibu mellaui pelayanan ibu yang aman dengan mengubah perundang-undangan yang menentukan aborsi sebagai tindak pidana.



Perlindungan hukum haruslah memberi batasan kapan diperbolehkannya tindakan aborsi dengan standar layanan dan kompetensi petugas medik yang ditetapkan peraturan. Dengan aturan demikian, maka aborsi tidak bisa dilakukan sembarangan maupun dikomersialisasikan pihak manapun. Ketatnya persyaratan dan prosedur aborsi harus disertai dengan program konseling, diseminasi informasi dan edukasi tentang kesehatan reproduksi perempuan.

No comments: