125 Tahun Gereja Kristen Jawi Wetan

125 Tahun Gereja Kristen Jawi Wetan


Bagi jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), perayaan Natal tahun ini punya makna khusus. Sebab, mereka baru saja merayakan 75 tahun Majelis Agung GKJW sekaligus 125 tahun berdirinya gereja perdana di Mojowarno, Kabupaten Jombang.

BERBEDA dengan gereja-gereja di kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, suasana kebaktian di GKJW Mojowarno, sangat sederhana. Tak ada praise and worship yang hiruk-pikuk layaknya kebaktian versi 'gereja-gereja baru' di kota-kota besar. Kidung pujian dilantunkan dalam bahasa Jawa halus.

Tak hanya itu. Jemaat GKJW Mojowarno selalu datang ke gereja dengan busana sederhana. Pakaian adat Jawa lazim dipakai saat kebaktian-kebaktian raya seperti Natal, Paskah, atau pesta persembahan (unduh-unduh). Para perempuan berusia lanjut pakai kebaya, sedangkan laki-laki pakai songkok. Tak sedikit pria yang pakai sarung layaknya warga muslim pedesaan yang salat berjemaah.

Khotbah pendeta dalam bahasa Jawa kromo. Nada suaranya tenang, tidak menggebu-gebu, apalagi berteriak-teriak sampai suaranya serak. "GKJW itu memang gereja ndeso, gereja agraris. Hampir semua jemaatnya memang berlatar belakang pedesaan, anak petani," jelas Pendeta Gunawan Yuli MTh, pengurus majelis agung GKJW, kepada saya, Sabtu (23/12/2006).

Bangunan GKJW Mojowarno, Jombang, diresmikan pada 3 Maret 1881 atau jauh sebelum Indonesia merdeka. Proses penggarapan dimulai pada 1879, atau dua tahun sebelumnya. Karena itulah, GKJW Mojowarno sampai sekarang dianggap sebagai gereja Kristen Protestan pertama di Jawa Timur.

"Tapi pada tahun 1843 jemaatnya sudah ada," papar Gunawan Yuli, yang kemarin mengikuti acara pertemuan lintas agama di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang.

Berbeda dengan gereja-gereja lain di Indonesia yang didirikan oleh misionaris Barat, GKJW Mojowarno justru dirintis oleh pribumi asli. Namanya Kasan Jariyo, berasal dari Madura. Ayah Kasan, sebagaimana warga Madura umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat. Sebagai penggembala ternak, Kasan senang ternyata gemar main judi. Sempat menikah di usia muda, pernikahan Kasan hanya bertahan dua bulan.

Dia kemudian merantau dan menjadi pedagang kapas yang sukses. Lalu, menikah lagi dengan perempuan pilihannya sendiri. Namun, karena kegemaran berjudinya kambuh lagi, si Kasan jatuh miskin. Singkat cerita, Kasan akhirnya bertemu dengan Meneer Coolen, evangelis asal Rusia dan beribu Jawa, yang sedang membuka hutan di Ngoro, Jombang. Kasan kemudian memeluk agama Kristen dan berubah nama menjadi Paulus Tosari.

"Jadi, Paulus Tosari yang selalu disebut-sebut di lingkungan GKJW itu, ya, Pak Kasan itu. Dia benar-benar orang awam, bukan pendeta, tetapi justru menjadi pendiri jemaat perdana GKJW. Kami, sebagai orang GJKW, tidak akan pernah melupakan jasa beliau," tutur Gunawan Yuli.

Di balik kesederhanaannya, Paulus Tosari meninggalkan sebuah warisan berharga yang bisa dinikmati sampai kini, yakni kitab Serat Rasa Sejati. Sedikitnya 23 syair dalam bahasa Jawa disusun dalam asmaradana, kinanthi, pucung, pangkur, maskumambang, mijil, gambuh, dandanggula, megatruh, hingga sinom. Tembang-tembang Jawa yang sangat indah.

Menurut Pendeta Gunawan Yuli, Serat Rasa Sejati ini merupakan upaya Paulus Tosari, alias Kasan Jariyo, untuk menghayati iman kristianinya sebagai orang Jawa. Sebab, saat itu (Kasan lahir pada 1813) Kristen identik dengan agamanya orang Belanda, agamane londo. Praktis, gereja-gereja megah yang dibangun di pusat kota hanya untuk orang Belanda yang nota bene penjajah bangsa Indonesia.

Karena itu, di mata Gunawan Yuli, apa yang dilakukan Kasan Jariyo sejak menjadi pemimpin jemaat pada 1848 di Mojowarno, Jombang, sebagai tindakan yang luar biasa. Kasan melakukan inkulturasi budaya dan iman kristiani.

"Jadi, budaya sebagai penghayatan iman. Itulah hikmah yang kami petik saat memperingati 75 tahun majelis agung GKJW dan 125 keberadaan bangunan gereja GKJW di Mojowarno," papar Gunawan.

Kini, setelah satu abad berlalu, GKJW yang tadinya hanya punya satu gereja di Mojowarno, telah berkembang menjadi 150 gereja di seluruh Jawa Timur. Namun, di sisi lain, GKJW menjadi gereja mapan dan tua. Perubahan zaman, globalisasi, gaya hidup, membuat gereja protestan perdana di Jawa Timur itu mulai 'ditinggalkan' anak-anak muda. Kalau dulu jemaat GKJW pernah mencapai 250 ribu, surut menjadi 134 ribuan.

"Orang tua saya GKJW, tapi saya sendiri sempat di GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, red), kemudian sekarang di gereja lain. Suasana di GKJW terlalu kalem, tenang. Sementara saya ini kan dinamis," ujar Suprapto, warga Surabaya.

Gunawan Yuli, pendeta senior GKJW, mengakui tantangan globalisasi yang memang tak bisa dielakkan siapa pun. Karena itu, GKJW melakukan sejumlah perubahan dan penyesuaian untuk menjawab tanda-tanda zaman yang berbeda. Contoh kecil soal liturgi. GKJW tak lagi 100 persen menggunakan bahasa Jawa. "Tugas berat lain adalah mengatasi kemiskinan. Sebab, mayoritas jemaat kami berada di desa," tutur Gunawan.

Dimuat di Radar Surabaya edisi 24 Desember 2006