Keluar dari Perahumu

Ringkasan khotbah Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Sydney, Australia tanggal 21 September 2008
oleh: Pdt. Budy Setiawan, M.Div.

Nats: Mat. 14:22-32

Kita membaca bagian menarik di mana murid-murid Yesus naik ke atas perahu dan mereka ketakutan karena diombang-ambingkan gelombang angin sakal yang begitu besar. Mereka tidak mampu mengatasinya. Tetapi kemudian Tuhan Yesus datang berjalan di atas air, mereka juga ketakutan karena mengira Dia adalah hantu. Kemudian kita membaca pengalaman Petrus berjalan di atas air. Petrus akhirnya hampir tenggelam dan berseru meminta Tuhan menolong dia. Dan waktu Petrus kemudian berjalan di atas air dia merasakan tiupan angin dan gelombang keras, dia ketakutan dan mulai tenggelam.

Di dalam hidup kita sebenarnya saya percaya ada banyak sekali ketakutan dan kekuatiran. Ini adalah hal yang manusiawi. Kita hidup di tengah-tengah dunia yang demikian tidak pasti, ada banyak kesulitan dan tantangan dan pergumulan. Salah satu bank yang terbesar di Amerika, Lehman Brothers, collapse, siapa yang menyangka? Banyak orang yang main saham bankrupt belakangan ini. Kita menghadapi banyak ketakutan akan hari depan, kekuatiran apakah kita cukup punya uang untuk hari depan anak-anak. Ketakutan karena tidak punya pacar, umur sudah makin tua makin bertambah tetapi masih belum dapat-dapat. Orang tua mulai kuatir punya anak-anak demikian. Yang sudah punya, takut ditinggal pacar. Sudah menikah ada ketakutan lagi, dsb.

Kita belajar di bagian ini ketika murid-murid ketakutan dan berseru “Itu hantu!” Tuhan Yesus berkata, “Tenanglah, Aku ini, jangan takut.” Ini poin pertama yang akan kita renungkan. Di dalam seluruh Alkitab kita ada 365 kali kata “don’t be afraid, jangan takut, jangan kuatir…” Ini memperlihatkan satu emosi yang manusia terus bisa alami, tetapi ini mengingatkan kita janji Tuhan untuk setiap hari jangan takut. Bagaimana kita boleh mengatasi ketakutan di dalam hidup kita, sesungguhnya kalimat Tuhan Yesus ini “take heart, do not be afraid, this is Me..” Kalimat “this is Me” dalam bahasa Yunaninya “Ego eimi” artinya “I AM”, inilah Aku. Kata ini sangat menarik, khususnya kalau saudara membaca Injil Yohanes, dia memakai istilah “Ego eimi” ini berkali-kali untuk menunjukkan siapakah Kristus sesungguhnya. “Akulah Roti Hidup,” “Akulah Gembala yang baik,” “Akulah Pintu,” “Akulah Kebangkitan dan Hidup,” “Akulah Pokok Anggur yang benar,” dsb. Semuanya memakai kata “Ego eimi.” Inilah yang akan kita pikir dan renungkan di dalam hidup kita di dalam menghadapi segala kesulitan di dalam dunia ini.

Seperti murid-murid yang menghadapi gelombang besar, angin sakal, ini seperti sesuatu yang mengerikan bagi mereka. Meskipun mereka adalah nelayan, ini adalah pengalaman yang menakutkan. Mereka berjuang menghadapinya dan mereka tidak mampu dan sudah sampai kelelahan dan tidak punya kekuatan untuk mengatasi gelombang itu. Lalu waktu mereka melihat Yesus berjalan di atas air, mereka mendengar Tuhan Yesus berkata, “Tenanglah, Aku ini, jangan takut.” Itu menjadi kekuatan bagi kita untuk boleh mengerti dan mengenal siapakah Kristus sesungguhnya. Ini menjadi perenungan pengenalan hidup kita, di mana kita perlu berjuang, bergumul, berseru dan mengenal Dia secara pribadi di dalam kehidupan kita, mengenal siapakah Kristus. Perkataan Tuhan itu begitu berkuasa dan sebetulnya mirip dengan apa yang Tuhan Allah katakan kepada Musa ketika Musa melihat semak belukar yang tidak terbakar. Allah mengutus Musa untuk memimpin bangsa-Nya yang di dalam perbudakan untuk pergi dari Mesir, lepas dari tangan Firaun. Musa bertanya, “Siapakah Engkau?” Tuhan Allah mengatakan, “I AM THAT I AM, Aku adalah Aku,” sama seperti Tuhan Yesus berkata, “Ego eimi” dalam bagian ini ketika Dia ingin menenangkan para murid yang ketakutan. Ketika Tuhan Yesus berkata “Aku adalah Aku,” ini menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang sesungguhnya, Allah yang datang ke dalam dunia menjadi manusia. Seluruh kepenuhan Allah ada di dalam diri-Nya ketika Dia menyatakan “Ego eimi.” Kalimat ini hanya boleh dipakai oleh Allah. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan Dia. Ini adalah penyataan yang puncak kepada manusia. Karena Tuhan tidak bisa dijelaskan dengan apa pun, Tuhan menyatakan kepada kita hal-hal yang kita bisa mengerti, meskipun tidak ada yang bisa menjelaskan secara penuh berapa besar, berapa agung, berapa mulia, berapa tak terbatasnya Allah kita itu. Ketika Tuhan berkata, “Aku adalah Aku,” itu adalah pernyataan yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun, tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata yang bisa dimengerti oleh manusia, tidak bisa dibandingkan dengan apa pun di dalam pikiran manusia, di dalam ciptaan yang terbatas. Itulah kata yang Tuhan Yesus pakai di dalam bagian ini yang boleh mengingatkan kita juga bahwa di dalam segala ketakutan dan kesulitan yang kita hadapi, kita perlu datang kepada Dia, perlu mengenal siapa Dia yang sesungguhnya, berapa besarnya Dia, berapa agungnya Dia. Kadang-kadang kita merasa kesulitan hidup kita terlalu besar dan kita merasa Tuhan begitu kecil.

Dalam satu buku dari David Wells, “Courage to be Protestant,” dia menganalisa dengan tajam sekali bagaimana hidup manusia di dalam zaman Post Modern ini sudah betul-betul menjadi sentral dari segala sesuatu. Manusia bukan saja otonomi atas dirinya sendiri, tetapi manusia menjadi pusat dari segala sesuatu di dalam dunia ini. Segala sesuatu dilihat dari kepentingan diri dan dari apa yang diinginkan oleh diri, dan akhirnya akan merembet ke gereja-gereja di tengah dunia ini. Melalui analisa dia, kita diingatkan waktu manusia menjadi pusat, manusia menjadi utama, manusia menjadi hukum atas dirinya sendiri, maka Tuhan dibuang dan ditinggalkan. Seberapa kita mengenal akan Kristus? Ini adalah pertanyaan bagi kita masing-masing yang harus dijawab di hadapan Tuhan, “menurut kamu siapakah Aku ini?” Dan waktu kita menjawab siapakah Kristus sesungguh-sungguhnya, bukan hanya mengerti secara teori, tetapi itu merefleksikan hati dan iman kita, betulkah kita percaya Kristus yang sedemikian besar dan agung. Dan jawaban kita menentukan berapa besar, berapa tinggi, berapa agung kerohanian kita, siapakah Kristus bagi hidup kita? Hari ini kita diingatkan melalui segala kesulitan yang kita hadapi, khususnya di dalam kesulitan itu kita diuji sampai kepada iman kepercayaan kita yang paling dasar siapakah Kristus sesungguhnya di dalam hidup kita. Karena itu kita perlu mengenal Dia, bergaul dengan-Nya, membaca firman-Nya, merenungkannya dan bersekutu dengan saudara-saudara seiman dan di dalamnya kita mengenal Kristus. Dan bukan lagi natural style kita yang hidup tetapi Kristus yang hidup di dalam diri setiap orang yang percaya.

Yang kedua, kita melihat respons Petrus ketika dia meminta Tuhan menyuruh dia berjalan di atas air seperti Yesus. “Tuhan, jika Engkau itu, suruhlah aku berjalan di atas air,” ini bukan menyatakan keraguan dia ataupun seperti Iblis waktu mencobai Yesus di padang gurun. Iblis tidak percaya, Iblis meragukan dan sesungguhnya Iblis sedang menguji ke Allah-an Yesus, sehingga Yesus tidak menjawab dia. Berbeda dengan Petrus yang meminta dengan iman, dia tidak akan keluar dari perahu itu kalau Tuhan tidak menyuruh dia. Jelas dia belum mengenal Tuhan Yesus sepenuhnya, tetapi dia mau percaya dan taat kepada-Nya. Waktu Petrus akhirnya turun dari perahunya, itu bukan suatu tindakan yang nekad. Kalau kita berada di posisi Petrus mungkin kita tidak berani melakukan hal itu. Bukan hanya angin sakal dan ombak gelombang itu saja, tetapi sekarang Petrus berjalan di atas air yang sedang bergelombang itu. Itu adalah satu permintaan yang begitu besar. Yesus menyetujui permintaannya dan dia mulai berjalan di atas air.

Ketika Petrus berkata, “Jika Engkau itu, suruhlah aku berjalan di atas air,” ini bukan tindakan nekad. Ini bukan juga satu extreme sport, tetapi ini adalah suatu extreme discipleship. Waktu Petrus kemudian turun dan berjalan, ini adalah pengalaman yang begitu luar biasa, tetapi kemudian dia mulai merasakan tiupan angin dan mulai merasa takut. Dia mulai tenggelam, karena ketakutan dan tidak ada imannya. Hidup kita akan tenggelam ketika kita mulai kehilangan iman, ketika kita mulai kecewa, dsb karena kita tidak lagi fokus kepada Kristus. Petrus mulai merasakan tiupan angin dan mulai merasakan gelombang, dan dia mulai merasa takut. Matanya tidak lagi fokus kepada Tuhan, matanya tidak lagi memandang kepada Kristus. Dia hanya memandang kepada kesulitan dan pergumulan yang mungkin begitu real dan begitu besar.

Ini menjadi satu peringatan bagi kita, kita mungkin pernah mengalami seperti Petrus. Kita ketakutan, kita kehilangan iman, kita tidak lagi percaya dan memegang janji Tuhan. Kita tidak lagi merenungkan janji Tuhan yang begitu banyak dan begitu besar dan begitu indah, yang mencakup seluruh aspek dari hidup kita. Kita boleh pegang janji itu di dalam segala kesulitan apa pun yang kita hadapi. Tetapi begitu kita mulai bergeser dari fokus yang seharusnya kepada Tuhan dan kehendak-Nya dan mulai melihat kesulitan, pergumulan dan keputus-asaan kita tidak lagi mengerti apa yang Tuhan kehendaki dan apa yang menjadi visi yang Tuhan berikan kepada kita dan kita mulai takut dan mulai tenggelam. Kalau kita mulai tenggelam, teriakan Petrus juga menjadi pelajaran bagi kita. Ketika dia mulai tenggelam, dia berseru, “Tuhan, tolonglah aku!” Itu adalah seruan dari anak-anak Tuhan yang sejati, yang memiliki iman, yang walaupun imannya diuji, imannya mengalami goncangan, imannya tidak stabil, tetapi di dalam kejatuhan dan kemunduran imannya, seperti Petrus kembali berseru kepada Tuhan. Teriakan yang sungguh, kebutuhan yang sungguh akan Tuhan, maka Tuhan tidak memandang hina akan teriakan itu. Teriakan itu, permintaan itu, sungguh keluar dari hati yang membutuhkan Tuhan. Meskipun kadang-kadang pertolongan Tuhan itu tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita ingin Tuhan menjawab dengan cepat waktu kita berseru kepada-Nya. Banyak sekali persoalan di dalam hidup kita, realitanya Tuhan sedang terus membentuk kita untuk berseru terus kepada Dia. Dia mengasihi kita dengan begitu besar.

Suatu kali ada seorang bapak sedang menikmati satu kebaktian yang begitu indah, dia merasakan hadirat Tuhan begitu nyata di dalam kebaktian itu, tetapi kemudian dia diinterupsi oleh satu panggilan urgent buat dia. Ternyata istrinya menelpon dan mengabarkan bahwa anaknya yang berumur 9 bulan meninggal dengan tiba-tiba, mungkin terkena SIDS (Sudden Infant Death Syndrome). Dengan sedih dan kecewa dia pulang ke rumahnya setelah mendengar berita itu. Di dalam perjalanan kereta api, dia melihat seorang pria sedang membaca Alkitab dan didebat oleh beberapa orang anak muda. Bapak ini mendengar bagaimana anak-anak muda itu mencemooh Tuhan. “Kalau Tuhan itu benar-benar mengasihi dunia ini, kenapa begitu banyak kesulitan dan penderitaan di dalam dunia ini?” Pria ini mencoba menjelaskan tetapi anak-anak muda itu terus menghinanya. Bapak yang baru saja kehilangan bayinya kemudian menghampiri mereka dan berkata, “Aku tahu jawabannya, Tuhan begitu mengasihi kita karena Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal untuk mati menebus dosa kita.” Mendengar jawaban ini, anak-anak muda itu makin mencemooh dan mengatakan itu adalah jawaban yang abstrak dan tidak real. Bapak itu mengatakan, “Aku tahu apa artinya menderita, aku tahu apa artinya sedih, aku tahu apa artinya kehilangan anak, karena aku baru saja di dalam perjalanan pulang melihat anakku yang baru meninggal dunia. Aku baru tahu berapa besarnya kasih Tuhan kepadaku, karena Dia mengutus Anak-Nya yang tunggal, Anak-Nya yang terkasih untuk mati menebus dosaku. Di situ aku baru mengerti betapa artinya kasih Tuhan.” Kita sekali lagi boleh belajar di dalam bagian ini, iman yang terus memandang kepada Tuhan, iman yang melihat kepada kebesaran dan kasih Tuhan di dalam hidup kita. Waktu kita jatuhpun kita boleh berseru, “Tuhan, tolonglah aku.” Dia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang memberikanNya untuk mati bagi kita, bukankah Dia akan memberikan segala sesuatu bagi kita? Bukankah Dia sudah memberikan yang terbaik kepada kita, apa lagi yang Dia akan tahankan buat kita? Dia pasti memegang, memelihara, menjaga dan memimpin kita. Kita boleh berseru dan mengenal Dia dengan benar dan tunduk kepada Dia Allah yang berdaulat. Kita terus pegang janji firman Tuhan itu yang menguatkan kita.

Yang ketiga, bagian ini membuat kita belajar dari kesalahan Petrus yang kemudian Tuhan tegur, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Ini menjadi pelajaran bagi kita untuk boleh belajar dari kesalahan Petrus walaupun dia mengalami perjalanan iman yang luar biasa, tetapi dia masih bimbang, belum percaya, tidak fokus seluruhnya kepada Tuhan dan kehendaknya sehingga dia mulai tenggelam. Petrus awalnya bagus, dia beriman dan percaya Tuhan tetapi kemudian dia mulai gagal dan kemudian Tuhan membentuk hidup dia. Tuhan menegur dia sebagai orang yang kurang percaya, orang yang bimbang. Betul, Petrus gagal, betul Petrus ditegur Tuhan, tetapi sebenarnya ada 11 murid yang lain yang sebenarnya punya bigger failure sedang duduk di dalam perahu. Petrus gagal ketika dia mulai bergeser dari fokus imannya kepada Tuhan, tetapi ada 11 orang lain yang berada di dalam perahu itu yang seolah-olah kelihatannya tidak gagal, mereka seolah-olah imannya OK, mereka merasa tidak ada masalah dengan imannya. Mungkin Petrus malu sekali di dalam kegagalannya, tetapi 11 orang lain yang tinggal di dalam perahu menyaksikan itu semua, tetapi mereka tidak pernah turun dan sesungguhnya orang-orang yang lebih gagal. Mereka gagal diam-diam, mereka gagal karena mereka tidak mau melakukan apa-apa. Tuhan Yesus menyuruh mereka ke seberang danau untuk membawa mereka di dalam perjalanan iman yang lebih dalam lagi, tetapi mereka diam-diam. Petrus sudah gagal, tetapi mereka lebih gagal karena mereka tidak mengalami segala pembentukan sedangkan Petrus belajar hal yang sangat penting di dalam bagian ini.

Ini sesungguhnya mirip seperti orang yang memiliki satu talenta di dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Yang punya lima talenta dan dua talenta mengerjakannya dengan setia, tetapi yang punya satu talenta menguburkan talenta itu dan bahkan menuduh tuannya sebagai seorang yang jahat, yang menuai di tempat dia tidak menabur. Dia tidak mengerjakan apa-apa, dia hanya menggali tanah dan menyimpan talenta itu. Dia tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Dia tidak seperti orang yang memiliki lima dan dua talenta yang mengerjakan dengan setia. Meski ada resiko, ada kemungkinan gagal, tetapi mereka mengerjakan dengan setia. Karena yang punya satu talenta play safe dan pengenalannya akan Tuhan salah sekali, dia tidak melakukan apa-apa, melainkan mengubur talenta itu. Memang talentanya tidak hilang, tetapi dia tidak kembangkan dan pertanggung-jawabkan di hadapan Tuhan. Maka Tuhan mengatakan, “Engkau hamba yang jahat dan malas…” dan talenta yang ada padanya diambil dan diberikan kepada yang punya lima talenta. Engkau sudah Kuberi kepercayaan kepadamu tetapi engkau tidak setia.

Dari poin terakhir ini kita belajar bahwa memang Petrus gagal, tetapi sebenarnya murid-murid yang lain itu lebih gagal daripada dia, karena mereka mencari jalan aman, mereka tidak berjuang, mereka tidak mau ambil resiko. Ironisnya mereka merasa OK dan merasa tidak ada apa-apa, padahal mereka gagal karena mereka tidak keluar dari perahu itu. Mereka gagal tetapi tidak melihat kegagalannya, mereka diam-diam gagal.

Seorang bernama Larry Laudan, seorang ahli yang sepuluh tahun belajar mengenai Risk Management, mengeluarkan satu buku mengenai 19 prinsip tentang Risk Management, saya mengutip salah satunya yaitu “everything is risky.” Segala sesuatu ada resikonya, apa pun yang engkau kerjakan, engkau keluar dari perahu ada resiko tenggelam, kalau engkau tinggal di dalam perahu bukan tidak ada resiko, tetapi mungkin ada resiko yang lebih besar. Kita mau mencari absolute safety di tengah dunia ini, kita tidak bisa tinggal di dalam dunia ini karena tidak ada yang tidak beresiko. Kita pikir tinggal di Australia salah satu tempat yang paling aman, yang lari dari kerusuhan berpikir seperti itu, padahal tidak ada yang namanya tempat yang aman di dunia ini.

Ada resiko waktu keluar dari perahu, tetapi sebaliknya ada resiko yang lebih besar kalau kita tidak keluar dari perahu. Kita mungkin mati karena bosan, mati karena kemandekan, mati karena stagnant. Hidup kita melalui contoh Petrus dan murid-murid yang lain, kiranya boleh kita pikir dan renungkan dan saya mendorong saudara untuk lebih aktif dan lebih sungguh berjuang di tengah dunia ini. Ada resiko, ada kesulitan, ada air mata. Belajar melakukan apa yang Tuhan kehendaki meskipun mungkin gagal. Waktu kita beriman, waktu kita melangkah seperti Petrus berjalan, paling tidak dia mengalami dua hal, Petrus mengalami, Petrus mengerti, Petrus bertumbuh di dalam imannya. Waktu dia tenggelam, Tuhan menolong dia, dia mendapat dua hal penting di dalam hidupnya yang tidak didapat oleh 11 murid yang lain di dalam perahu. Hanya Petrus yang mengerti keheranan, sukacita dan kekaguman berjalan di atas air seturut perintah Tuhan. Dan kedua, ada pengalaman yang intim waktu Tuhan menarik dia keluar dari air. Dia mengalami pertolongan Tuhan pada saat itu, itulah iman dan itulah pertolongan Tuhan yang tidak pernah dialami oleh 11 murid yang lain. Kita perlu belajar melakukan apa yang sesungguhnya menurut pikiran manusia tidak mampu tetapi kalau itu Tuhan kehendaki maka Tuhan akan pimpin kita. Maka kita akan melihat kemuliaan Tuhan, keheranan, kebesaran Tuhan boleh dinyatakan. Di saat-saat kita lemah, di saat-saat kita tidak berdaya, di saat-saat kita tidak mampu, waktu kita berseru kepada Tuhan, kita melihat keindahan Tuhan dan anugerah Tuhan yang memberi kekuatan.(kz)



Sumber:
http://www.griisydney.org/ring... n-khotbah/2008/2008/09/21/keluar-dari-perahumu/

No comments: