Jamsostek Potensi Rugi Rp 5,4 Triliun

Merosotnya harga saham di lantai bursa terus memakan korban. Kali ini perusahaan asuransi tenaga kerja BUMN PT Jamsostek (Persero) yang mengaku menelan kerugian hingga triliunan rupiah. Akibat portofolio sahamnya anjlok, Jamsostek memperkirakan menderita potential loss senilai Rp 5,4 triliun.

Dirut Jamsostek Hotbonar Sinaga mengatakan, angka Rp 5,4 triliun itu dihitung berdasar selisih saat indeks harga saham mencapai titik tertinggi di level 2.830,26 hingga level terendah saat transaksi bursa dihentikan. ''Itu penurunan nilai investasi,'' ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN kemarin (8/10).

Dari Rp 62 triliun dana yang dikelola Jamsostek, menurut dia, portofolio investasi terbesar masih dialokasikan pada obligasi 46 persen, deposito 30 persen, dan saham 20 persen. Meski hanya 20 persen, investasi di pasar saham tetap signifikan, yakni sekitar Rp 12,4 triliun. ''Nilai investasi inilah yang tergerus akibat anjloknya harga saham.''

Kondisi pasar yang terpuruk, lanjutnya, juga memengaruhi proyeksi laba bersih Jamsostek tahun ini. Menurut dia, realisasi laba perseroan diprediksi hanya tercapai 98 persen dari target Rp 1,117 triliun. ''Tapi tetap di atas Rp 1 triliun,'' katanya. Terpuruknya pasar saham seperti saat ini membuat manajemen lebih prudent (hati-hati) dan bijaksana dalam mengelola investasi.

Sejauh ini, portofolio investasi Jamsostek masih didominasi pendapatan tetap, yaitu deposito dan obligasi. Saat ini, Jamsostek memiliki deposito Rp 20 triliun yang tersebar di sejumlah bank. Seperti di BRI sekitar Rp 3 triliun, BNI Rp 2,7 triliun, dan Bank Mandiri kurang dari Rp 1 triliun. Selebihnya tersebar di BTN, Bank Ekspor Indonesia, dan sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD).

''Karena itu, kami memutuskan untuk berhenti menambah penempatan dana pada saham. Dalam kondisi seperti sekarang ini, lebih aman ditempatkan di deposito,'' jelasnya.

Dari mancanegara, bank sentral seluruh dunia melakukan langkah darurat untuk menyelamatkan bursa global dari kebangkrutan. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) dan Europe Central Bank (ECB) kemarin memangkas suku bunga untuk membasahi likuiditas di pasar finansial yang masih kekeringan. Langkah serupa juga dilakukan beberapa bank sentral lainnya.

Yakni Bank of England, Bank of Canada, Bank Sentral Swedia, dan Bank Sentral Swiss. Mereka rata-rata memangkas suku bunga 50 basis poin (bps) atau 0,5 persen. The Fed menurunkan suku bunga dari 2 persen menjadi 1,5 persen. BoE dari 5 persen menjadi 4,5 persen, sedangkan ECB dari 4,15 persen menjadi 3,75 persen.

Dari Asia, Bank Sentral Tiongkok menurunkan suku bunga pinjaman berjangka satu tahun sebesar 0,27 persen. Sedangkan Bank of Japan, meski tidak berpartisipasi dalam pemangkasan suku bunga, menyatakan mendukung langkah yang diambil bank-bank sentral Eropa dan Amerika. ''Pemotongan suku bunga sangat penting untuk menginjeksi dan merekapitalisasi perbankan yang sangat butuh dana,'' kata Marc Chandler, global head of currency strategy Brown Brothers Harriman, perusahaan konsultan finansial, seperti dikutip dari Associated Press kemarin (8/10).

Keputusan yang diambil secara mendadak itu menyusul anjloknya bursa-bursa saham Asia dan Eropa. Indeks Nikkei 225 melorot hampir 10 persen dan merupakan yang terburuk dalam dua puluh tahun terakhir. Sedangkan indeks Dow Jones di Bursa Efek New York (NYSE) -meski sempat terangkat 2 persen pada sesi pembukaan tadi malam- kembali melemah.

Saat ini, AS menghadapi penurunan harga saham terbesar mendekati masa Depresi Besar (Great Depression) pada 1929-1930. Kala itu juga terjadi kepanikan di mana semua investor melepas sahamnya. Menurut Wikipedia, hingga akhir 1954, bursa tidak pernah kembali seperti sebelum 1929. Ekonom Richard M. Salsman menyebut, siapa pun yang membeli saham pada pertengahan 1929 dan menyimpannya, mereka akan melewati masa tua tanpa pernah melihat harga sahamnya kembali. (owi/sof/ok

No comments: