Sakit Soekarno, Soeharto, dan Bangsa Ini

Sakit Soekarno, Soeharto, dan Bangsa Ini
Endang Suryadinata
Setiap orang pernah sakit. Tak ada orang yang bisa lolos, termasuk mereka yang pandai menjaga kesehatan sekalipun, kadang bisa sakit. Bahkan sekuat dan sehebat apa pun penguasa dunia ini, hidupnya juga bisa terancam sakit. Tak terkecuali dua presiden negeri ini, Soekarno dan Soeharto.
Kita mulai dari Soekarno. Presiden Pertama RI Soekarno positif mengidap gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina pada 1961 dan 1964. Takut ginjal kirinya diangkat, seperti disarankan Prof Dr K Fellinger dari Fakultas Kedokteran Wina, Bung Karno lebih menyukai obat tradisional China atau melakukan akupunktur. Selama menjadi Presiden, layanan kesehatan untuk mengatasi sakit Bung Karno masih baik-baik dan proporsional.
Namun, setelah peristiwa kudeta merangkak, yakni Supersemar 1966, dan secara perlahan tetapi pasti kekuasannya "dipreteli", layanan kesehatan kepada Bung Karno bisa dikatakan amat tidak memadai, bahkan sangat minim. Bayangkan, untuk urusan sakit gigi saja, Bung Karno harus diawasi ketat, padahal dia masih menjabat sebagai presiden hingga Maret 1967.
Kisah itu boleh jadi pernah kita baca dari buku yang ditulis drg Oei Hong Kian, dokter gigi pribadi Bung Karno, seperti pernah ditulis majalah Intisari.
Kisahnya terjadi pada Januari 1967, saat drg Oei Hong Kian diminta ke Istana Negara karena Bung Karno sakit gigi. Karena peralatan gigi di Istana sudah amat kuno, terpaksa alat-alat Dr Oei diangkut ke Istana. Pasalnya, saran drg Oei Hong Kian agar Bung Karno dirawat di tempat praktiknya tidak diterima.
Lebih parah lagi, ketika Bung Karno harus terusir dari istana, pasca-Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden pada Maret 1967, secara resmi Bung Karno menjalani karantina atau tahanan rumah di Bogor. Sejak saat itu, layanan untuk mengatasi sakit Bung Karno bisa dikatakan kurang bagus. Dunia luar, bahkan keluarga dekat Bung Karno, pun tidak tahu kondisi Bung Karno yang sebenarnya. Yang sedikit kita tahu, menurut pengakuan Mahar Mardjono, saat Bung Karno sakit, obat yang diresepkan hanya disimpan di laci karena ada pesan demikian.
Tidak heran jika kemudian menyebar kasak-kusuk Soekarno ditelantarkan atau dibiarkan menderita sakit tanpa penanganan medis memadai. Dari ucapan Mahar Mardjono kita tahu, ternyata dokter di Indonesia masih belum bisa independen karena masih bisa ditekan oleh kekuatan politik sehingga standar pelayanan medis yang sepantasnya tidak diberikan kepada pasien. Tidak heran di saat-saat akhir hidupnya, fisik Bung Karno tampak sangat memprihatinkan.
Akhirnya sosok kelahiran Blitar, 6 Juni 1901, itu wafat dalam kesepian pada 20 Juni 1970, tanpa ada liputan semarak media. Kenyataan pahit akan sakitnya Bung Karno selama ini ditutupi, padahal seharusnya para saksi sejarah berani berbicara untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.
Pelayanan Soeharto
Pelayanan terhadap Soekarno berbeda sekali dengan pelayanan medis untuk Soeharto pascalengsernya pada 21 Mei 1998. Tim dokter langsung dibentuk, bahkan berasal dari dokter-dokter terbaik negeri ini. Bahkan, ketika baru-baru ini ada yang tak beres dengan usus Pak Harto, operasi dengan tenaga serta alat-alat medis tercanggih pun dilakukan. Para pejabat negara atau tamu-tamu lain berdatangan membesuk. Kita gembira melihat mantan orang kuat Orba itu sembuh, seperti diberitakan Kompas (9/5).
Jadi, pelayanan medis kepada para mantan presiden seharusnya seperti yang diberikan kepada Soeharto. Juga dengan liputan media yang luas sehingga rakyat tahu akan kondisi mantan presidennya. Tidak perlu ada sejarah yang ditutupi. Kita tidak perlu dendam pada Soeharto, tetapi proses hukum terhadapnya perlu dilakukan demi kejelasan sejarah. Setelah proses hukum selesai, kita semua harus rela memaafkan Soeharto, seperti disarankan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Otokritik
Jika menyimak sakit Bung Karno, kemudian sakit Soeharto, ada sesuatu yang membuat kita harus berani melakukan otokritik. Ternyata, jujur harus diakui, kita sering diliputi ketakutan menatap sejarah para pemimpin kita, yang di dalamnya juga terangkum sejarah masa lalu kita sebagai bangsa. Sikap demikian jelas tidak menunjukkan kematangan sama sekali.
Akibatnya, seperti dikatakan Amien Rais di berbagai kesempatan, kita sebenarnya merupakan bangsa yang sakit. Meski berbagai diagnosis sudah dilakukan, di antaranya meminta bantuan IMF dan Bank Dunia, penyakitnya belum sembuh, bahkan kian parah.
Yang lebih menyedihkan, kita juga menjadi bangsa besar yang amat minim dengan rasa percaya diri. Kita sering dihinggapi rasa minder, boleh jadi karena utang kita yang 150 miliar dollar AS. Kita berkewajiban agar bisa sembuh dari sakit dan kembali menggapai kejayaan seperti di era Majapahit. Bagaimana caranya?
Tentu ada banyak jawaban. Tetapi, dari perspektif sejarah, kita perlu menjadi bangsa yang berani menatap masa lalu. Misalnya, hingga kini masih banyak kasus dari masa lalu yang coba ditutupi, mulai dari Tragedi 1965 hingga Tragedi Mei 1998. Ada jutaan korban atau anak cucu korban yang masih terstigma oleh kasus ini atau itu.
Konyolnya, pemerintah sendiri takut menghadapi kenyataan sejarah. Ini bisa dibaca dari terbengkalainya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri, 6 Oktober 2004. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnya terbentuk

6 April 2005 belum bisa dibentuk di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 22/4). Konyolnya, banyak orang meremehkan rekonsiliasi. Untuk apa? tanya mereka.
Padahal, meremehkan rekonsiliasi sama dengan meremehkan masa lalu atau mengabaikan sejarah sendiri. Akibatnya, kita tetap menjadi bangsa yang gagal. Bukan bangsa yang unggul, seperti diharapkan Susilo Bambang Yudhoyono
.
Tocqueville (1805-1859) mengingatkan kita, "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut".

Endang Suryadinata Peminat sejarah Indonesia- Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

No comments: