Religius Demokrat

Religius Demokrat

Adakah tempat bagi Pancasila di tengah-tengah kebangkitan agama?

Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kebangkitan kembali agama. Sesuatu yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Pada April 1966, majalah TIME menurunkan laporan utama Is God Dead? Pada awal milenium ini, The Economist dengan percaya diri menulis obituari tentang Tuhan. Tapi, peristiwa 11/9 mengubah itu semua!

Kini, kita menyaksikan dunia yang sedang berubah. Inilah masa, ketika agama menjadi semakin penting bagi kehidupan banyak orang. Religion strikes back. Lihatlah Nigeria yang kini terbelah antara utara yang Islam dengan selatan yang Kristen. Pantekosta berkembang pesat di Korea Selatan dan Brazil. Negeri Balkan terpecah antara Bosnia dan Kosovo yang Islam dengan Serbia yang menganut Orthodoks dan Kroasia yang Katolik. Partai berbasis Islam AKP kini berkuasa di negeri sekuler Turki. Pendeta Budha di Burma bangkit melawan rejim militer. Di negeri gajah putih, para Biksu menuntut pemerintah menempatkan Buddhisme sebagai agama resmi negara.

Kebangkitan serupa juga terjadi di Indonesia. Gereja-gereja di mal, kini dipenuhi para jemaat. Mesjid-mesjid makin lantang melantunkan azan dan ceramah. Organisasi massa dan partai berbasis agama tumbuh subur memanfaatkan ruang demokrasi.

Adakah tempat bagi Pancasila di tengah masyarakat yang sedang berubah ini?

Pada 1 Juni kita memperingati hari lahir Pancasila. Dulu, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai kontrak sosial, untuk mengikat seluruh kelompok yang mendukung perjuangan. Sila pertama adalah upaya merangkul kelompok agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab dipakai untuk mengikat kaum humanis. Persatuan Indonesia ditujukan bagi para nasionalis. Kaum demokrat diakomodasi lewat sila keempat. Sementara kelompok sosialis diberi kompensasi sila kelima.

Setelah 63 tahun kelahirannya, Pancasila menghadapi tantangan baru. Kita melihat kecenderungan menguatnya politik identitas seiring kebangkitan agama. Kini mulai muncul suara yang menginginkan agar negara diatur berdasarkan agama. Di tingkat pusat, sejumlah fraksi di parlemen sempat mengusulkan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta diakomodasi ke dalam konstitusi. Sementara di daerah, bermunculan peraturan bernuansa syariah. Inilah fenomena yang disebut sebagai creeping syariatism, atau syariatisasi yang merayap ke puncak kekuasaan. Pertanyaan berikutnya, seberapa besar dukungan terhadap ide ini?

Riset Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, dukungan publik kepada Pancasila sebenarnya masih sangat besar. Sebanyak 83% masyarakat menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar masih cocok bagi Indonesia. Bandingkan dengan 5,3% suara yang menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar kurang cocok dan harus diganti. Artinya dari kurang lebih 150 juta populasi masyarakat dewasa, sekitar 124,5 juta mendukung Pancasila. Sebaliknya yang tidak menginginkan hanya sekitar 7,95 juta orang. Secara sederhana, penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran konstitusional masyarakat kita masih sangat tinggi.

Penelitian Saiful Mujani dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM (2001), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang semakin religius. Tapi di sisi lain, penerimaan terhadap nilai-nilai demokrasi juga besar. Temuan ini, seolah mematahkan klaim Samuel P. Huntington yang menganggap kesalehan berbanding terbalik dengan sikap demokratis.

Semangat keimanan umat Islam di Indonesia diterjemahkan ke dalam kegiatan kolektif, antara lain dengan berpartisipasi dalam organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau Majelis Taklim. Tanpa sengaja, aktifitas sosial ini membuat mereka menjadi lebih terbuka dan terbiasa melihat keberagaman. Dalam istilah anak muda, orang yang lebih gaul, akan lebih terbuka melihat perbedaan. Inilah generasi baru yang disebut sebagai kaum religius demokrat. Pada merekalah, masa depan Pancasila dan keberagaman kita akan dipertaruhkan.

Selamat Hari Pancasila.


Andy Budiman
Asisten Produser Program "Topik Minggu Ini"