Meritokrasi, Mao, Marx, dan "Market",Christianto Wibisono

SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------

Meritokrasi, Mao, Marx, dan "Market"

THE GLOBAL NEXUS

Christianto Wibisono

eminar "Anti- sipasi Krisis Global Bagi Indonesia" oleh Reformed Center for Religion and Society (RCRS) berlangsung sukses meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani berhalangan karena sibuk, dan diganti oleh DR Chatib Basri. Keduanya baru pulang menjual Surat Utang Negara (SUN) di New York yang oversubscribed US$ 6,6 miliar dan orang asing se- olah lebih optimistis dan lebih "bullish" terhadap Indonesia ketimbang orang Indonesia sendiri. Harga minyak global memang sangat dipengaruhi oleh masuknya unsur spekulatif di samping faktor supply dan demand.

Indonesia tidak mungkin mengubah faktor eksternal global itu, dan hanya bisa menerima dampaknya dengan langkah antisipatif, menurut Sri Mulyani dalam jumpa pers baru-baru ini.

DR Stephen Tong dalam keynote speech-nya menegaskan bahwa hukum besi moral tidak bisa dilanggar, tanpa konsekuensi bagi manusia yang melakukan tindakan bertentangan dengan moral dan etika luhur agama. Dunia sedang dilanda sekularisme yang memojokkan agama ke pinggiran atau fundamentalisme berdasar diskriminasi agama dan konflik peradaban. Krisis global merupakan fusi krisis Tiga-F, food, fuel and financial memaksa manusia berintrospeksi tentang masalah mendasar dunia dan umat manusia.

Chatib Basri menguraikan bila BBM tidak naik maka defisit anggaran akan mencapai Rp 265 triliun dan Indonesia sulit menjual SUN jika pasar mengetahui bahwa US$ 2,5 miliar hanya akan dibakar jadi asap knalpot. Masalah BBM adalah force majeur dunia walaupun diakui birokrasi tidak memberi insentif untuk maskapai minyak hingga produksi turun. Sekarang pajak eksplorasi migas sebelum migas di- ketemukan dan berproduksi dihapus.

Mengenai krisis pangan, jika seluruh negara penghasil pangan melarang ekspor, maka pasti krisis dan inflasi global akan melejit. Vietnam sekarang sedang ter- desak untuk mendevaluasi mata uangnya.

James Riady memperoleh pertanyaan menggelitik bagaimana menerapkan iman agama dalam kehidup- an sehari-hari ketika bertransaksi dengan rekan bisnis. Benyamin Intan mempertanyakan apakah bank syariah merupakan lembaga ekonomi atau lembaga agama. Stephen Tong mengejutkan pendengar ketika mengatakan bahwa Mao Zedong adalah "bandit" besar yang membajak Tiongkok dengan ideologi komunisme Marxisme hingga membuat RRT terpuruk jadi negara termiskin sedunia dalam waktu 40 tahun (1949-1989). Ini suatu simplifikasi sebab Mao sudah meninggal ketika Tembok Berlin runtuh dan tank militer menggilas demonstran di Tiananmen atas perintah Deng Xiaoping dan Li Peng.

Dalam konflik itu, Zhao Ziyang tergusur menjadi tapol sampai meninggal. Di bidang ekonomi, Deng Xiaoping meninggalkan Marxisme, tapi tetap mempertahankan sistem politik otoriter, mirip Soehartoisme Orde Baru. Deng menjawab pertanyaan kenapa RRT membuang Marxisme diganti pasar bebas, bahwa pasar itu sudah ada sebelum Karl Marx lahir.

Karl Marx membajak pasar untuk disandera oleh diktator proletariat mengatas namakan buruh. Akibatnya, semua orang tidak terangsang berproduksi karena harus kerja bakti untuk partai komunis yang korup. Maka, buruh Polandia berontak dan mempelopori penggulingan komunisme dengan dukungan moral dari Paus Johanes Paulus II yang berasal dari Polandia.


Krisis Global

Kenapa Tuhan membiarkan komunisme diuji coba 70 tahun di Uni Soviet, 40 tahun di Eropa Timur, Tiongkok dan makan korban puluhan juta orang Rusia, serta Tionghoa terbunuh oleh rezim partai komunis, sesama bangsa dan bukan bangsa asing atau penjajah? Kalau yang menganut komunisme itu negara kecil, pasti tidak akan membuat orang bertobat dan menginsafi kesalahan. Tetapi, kalau dua raksasa Uni Soviet dan RRT bangkrut karena komunisme, diharapkan dunia bisa kapok dengan rezim totaliter berbendera populisme. Itulah tesis Hegelian dari Francis Fukuyama bahwa seluruh dunia akan menjadi penganut demokrasi liberal Barat. Ternyata tidak sesederhana itu, sebab muncul konflik benturan peradaban yang diformulasikan oleh Samuel Huntington. Dunia malah kembali pada tribalisme yang mengental setelah ideologi Marxisme bangkrut. Ternyata orang mundur ke basis kultur, dan memicu konflik tiga peradaban Confucius, Islam dan Barat. Ditandai dengan serangan teror WTC 11 September 2001 serta reaksi balasan AS.

Dalam konteks benturan peradaban itulah kita sekarang menghadapi krisis global dengan pemain yang bervariasi antara nation states, perusahaan multinasional, jaringan LSM global, jagat internet, dan sel teroris yang bisa mempecundangi nation states.

Semua konflik itu bisa dikembalikan pada bagaimana mengatur persaingan dengan adil antara manusia sebagai pelaku ekonomi yang harus dan perlu be- kerja. Yang bisa menciptakan ekonomi dinamis menyerap tenaga kerja.

Bagaimana memberi reward kepada yang berprestasi atas dasar meritokrasi, dan ba-gaimana membantu yang tersisih dalam persaingan secara pas. Sebab, jika orang disubsidi atau diberi segala sesuatu gratis dan ditunjang selama menganggur, bisa menimbulkan kemalasan dan mengeksploitasi orang lain bekerja bakti untuk para pemalas.

Formula untuk mengatur produksi dan distribusi itu adalah sistem politik ekonomi hukum yang mengatur keseimbangan dan ke- setaraan kekuasaan atas dasar Trias Politika dengan kesadaran bahwa semua manusia cenderung untuk korup atau menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, harus ada sistem penyeimbang dan pengawasan serta peradilan, penghakiman, penghukuman yang imparsial, adil, netral, jujur dan tidak mudah terbeli oleh uang atau takut kepada kuasa politik. Ini juga harus diimbangi dengan watch dog, pengawal hati nurani masyarakat, media massa, dan LSM yang juga perlu dikontrol.

Eropa Barat dan Amerika Serikat (AS) yang sukses dengan sistem meritokrasi justru sedang bergeser pada proporsional representatif yang mengatur semacam kuota atas dasar kelompok. Sistem yang telah mampu mengentaskan kemiskinan, dan melahirkan kelas menengah sebagai peredam konflik sosial, sekarang menjurus pada kemerosotan. Banyak penerima jaminan sosial Eropa Barat terutama imigran memilih menganggur dan disubsidi oleh negara, ketimbang mencari kerja.

Di AS affirmative action telah melahirkan profesional yang mediocre, karena jabatan diatur atas dasar perwakilan proporsional. Mayoritas bule dibatasi, karena harus mencerminkan warna pelangi etnis Amerika. Ironisnya, ketika representasi etnis dan warna kulit diberlakukan, maka yang akan menguasai mayoritas mahasiswa dan sarjana, bukan kulit hitam atau cokelat (Hispanic) melainkan kulit kuning dari Asia Timur, dan cokelat dari India.

Kemunculan Obama sebagai capres yang dianggap mampu menerobos batas etnis masih diragukan apa bisa menanggulangi backlash golongan kulit putih pria dan wanita pendukung Hillary yang merasa didiskriminasi terbalik. Benarkah Obama terpilih karena meritokrasi atau karena euphoria prioritas pada kulit berwarna yang menerapkan diskriminasi terbalik terhadap kulit putih?

Krisis global masih akan terus berlangsung selama manusia masih memberlakukan sistem yang tidak adil dalam menilai kinerja seseorang atau suatu bangsa. Bukan berdasar merit tapi berdasar warna kulit, etnis, agama, ras baik secara positif untuk mendongkrak yang lemah maupun secara negatif untuk menyisihkan yang kuat. Ini juga berlaku pada tingkat global. Akibatnya bukan manusia atau nation states terbaik yang menjadi panutan, tapi demagog "model Mao" dengan retorika dan ideologi otoriter yang bangkrut atau impoten.


Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 23/6/08