KPK dan Korupsi

Tidak bisa perangi korupsi kalau 'kurang kaki'

Antasari Azhar berdiri di belakang podium pada siang pada Mei. Kedua tangannya sesekali membetulkan mikrofon. Hampir 30 menit dia bercerita soal korupsi. Dari penyebab, pengaruh hingga upaya pemberantasan praktik jahat tersebut. Dia menilai korupsi sudah mengakar. Mendarah daging.

"Juga menyebabkan kemiskinan. Uang yang diambil seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat," katanya.

Antasari adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) generasi kedua. Legislator di Senayan memilihnya untuk memimpin lembaga itu pada 2007-2011. Dia menggantikan Taufiequrachman Ruki, komandan pertama KPK periode 2003-2007. Ruki dulu berkarier di kepolisian, Antasari di Kejaksaan Agung (Kejagung).

Ketika itu Antasari membeberkan buruknya praktik korupsi kepada mahasiswa dan dosen salah satu kampus di kawasan Jakarta Timur.

Dia memakai data Transparency International (TI), organisasi sipil internasional yang melawan praktik korupsi. Indonesia punya skor dua, dari nilai 10 sebagai angka tertinggi. Level ini tak banyak berubah sejak tiga tahun belakangan. Menurut Antasari, praktik koruptif masih tersebar di lembaga pemerintahan yang melayani warga negara.

KPK generasi kedua memang mulai menyoroti buruknya pelayanan publik. Survei yang dilakukan KPK tahun lalu menunjukkan rendahnya skor yang dimiliki lembaga pemerintah dalam urusan ini. Masyarakat, dalam survei itu, justru menyatakan uang pelicin dapat memperlancar urusan. Memotong birokrasi. Mengurus perizinan.

Antasari memang mulai masuk ke wilayah yang belum tersentuh KPK jilid satu: dugaan suap.

Selama dipimpin Ruki, KPK lebih banyak menyoroti penggelembungan dana di anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) oleh para pemimpinnya. Mulai dari mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh sampai mantan orang nomer satu di Kalimantan Selatan, Sjahril Darham.

Namun, untuk kasus suap? Hasilnya relatif tidak maksimal.

Bisa saja ini yang membuat Antasari bergerak. Penggrebekan pun digelar.

Dari anggota DPR Al Amin Nur Nasution dan Bulyan Royan, sampai jaksa Urip Tri Gunawan, jaksa yang menangani perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Semuanya tertangkap basah.

Kejagung sendiri tertampar mukanya. Penangkapan Urip pada Maret silam, justru menerangkan buruknya kinerja lembaga penegak hukum itu. Urip adalah Ketua Tim Penyelidik BLBI, yang tertangkap tangan menerima uang US$660.000 dari Artalyta Suryani, kerabat Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), yang tersandung kasus besar BLBI.

Kritik bermunculan. Juga desakan mundur terhadap Jaksa Agung, Hendarman Supandji.

Alasannya, reformasi di lembaga itu gagal. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Hendarman seharusnya mengetahui orang-orang yang akan ditempatkannya. Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dicopot dari jabatannya juga karena Artalyta. Kemas diketahui menjalin kontak dengannya terkait penanganan perkara BLBI. Kasus Kemas-Artalyta-Urip mungkin saja membenarkan desas-desus buruk selama ini di Kejagung dalam menangani perkara. "Hendarman gagal melakukan pembenahan," demikian Teten Masduki, Koordinator ICW.

Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih memercayai Hendarman. Dia tak mencopotnya. Dalam Pidato Kenegaraan kemarin, Yudhoyono menyatakan pemberantasan korupsi merupakan prioritas pemerintah dan tanpa pandang bulu. Termasuk penegak hukum.

Kasus BLBI adalah kasus besar yang hingga hari ini belum mencapai kata selesai. Ini bermula dari pinjaman bank sentral kepada bank-bank akibat kesulitan likuiditas pada 1997. Namun, belakangan diketahui terdapat indikasi penyimpangan oleh pengguna pinjaman tersebut. Tertangkapnya Urip, justru menunjukkan ketidakpastian penanganan perkara itu, sekaligus merosotkan kredibilitas Kejagung.

Ambil alih

Kritik tak hanya sampai ke Gedung Bundar, tapi juga diarahkan ke KPK. Denny Indrayana, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, mendesak agar lembaga itu mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung. Indikasinya jelas: dugaan suap dan buruknya penanganan perkara. Menurut dia, KPK juga dapat mengambil kasus sebelum lembaga itu lahir pada 2002 silam. "Tidak ada dalih lagi KPK untuk tak mengambil alih kasus itu."

KPK tak jua beranjak. Belum lagi rampung satu urusan, kekhawatiran lainnya mencuat.

Tenggang yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hampir saja habis. Pada 19 Desember 2006, MK menyatakan pengadilan korupsi bertentangan dengan UUD 1945 karena tak diatur oleh undang-undang tersendiri. MK memberi waktu tiga tahun.

Firmansyah Arifin, Koordinator Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, menegaskan jika undang-undang tak segera disahkan tahun ini, Pengadilan Korupsi berpotensi dibekukan. "Tahun depan adalah tahun pemilu, para politisi akan lebih repot bagaimana memenangkan partai dan calon presidennya," ujarnya.

Pada Agustus, pemerintah baru saja menyerahkan draf undang-undang pengadilan korupsi ke parlemen. Ketua DPR RI Agung Laksono berjanji akan menindaklanjuti rancangan undang-undang tersebut. Peraturan soal Pengadilan Korupsi menjadi sangat penting dalam pemberantasan korupsi.

Mari melihat mengapa demikian.

Terbongkarnya dugaan nepotisme antara Artalyta-Kemas-Urip adalah salah satu hal yang ditunjukkan Pengadilan Korupsi. Akhirnya, Kemas dicopot, Urip dan Artalyta diadili. Demikian juga kasus Al Amin Nur Nasution.

Belum lagi kasus aliran dana suap BI. Selama ini, tak ada orang yang divonis bebas ketika duduk sebagai terdakwa sejak didirikan. Lihat saja kasus Mulyana Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2004. Atau Nazaruddin Sjamsuddin, bos Mulyana di KPU. Mereka semuanya divonis bersalah. Pengadilan Korupsi dianggap pengadilan yang mampu menghukum koruptor.

Tak hanya di wilayah pusat, KPK juga bertugas mengawasi kasus-kasus yang ditangani Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi hingga kepolisian di daerah. Istilah Antasari , KPK saat ini menjadi 'pelatuk' dalam pemberantasan korupsi. Namun, hal itu akan terhambat jika Pengadilan Tipikor ditiadakan. Semuanya kini, bergantung pada parlemen-yang kini juga menjadi bidikan KPK-untuk menyelesaikan undang-undangnya.

Pengadilan umum diduga masih rawan intervensi, terutama dengan uang dan kekuasaan.

"Percuma KPK menangkap basah orang," ujar Firmansyah. "Jika tak ada Pengadilan Korupsi, pemberantasan korupsi akan kehilangan satu kaki."

Oleh Anugerah Perkasa
Wartawan Bisnis Indonesia

No comments: