Keluar dari Perahumu

Ringkasan khotbah Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Sydney, Australia tanggal 21 September 2008
oleh: Pdt. Budy Setiawan, M.Div.

Nats: Mat. 14:22-32

Kita membaca bagian menarik di mana murid-murid Yesus naik ke atas perahu dan mereka ketakutan karena diombang-ambingkan gelombang angin sakal yang begitu besar. Mereka tidak mampu mengatasinya. Tetapi kemudian Tuhan Yesus datang berjalan di atas air, mereka juga ketakutan karena mengira Dia adalah hantu. Kemudian kita membaca pengalaman Petrus berjalan di atas air. Petrus akhirnya hampir tenggelam dan berseru meminta Tuhan menolong dia. Dan waktu Petrus kemudian berjalan di atas air dia merasakan tiupan angin dan gelombang keras, dia ketakutan dan mulai tenggelam.

Di dalam hidup kita sebenarnya saya percaya ada banyak sekali ketakutan dan kekuatiran. Ini adalah hal yang manusiawi. Kita hidup di tengah-tengah dunia yang demikian tidak pasti, ada banyak kesulitan dan tantangan dan pergumulan. Salah satu bank yang terbesar di Amerika, Lehman Brothers, collapse, siapa yang menyangka? Banyak orang yang main saham bankrupt belakangan ini. Kita menghadapi banyak ketakutan akan hari depan, kekuatiran apakah kita cukup punya uang untuk hari depan anak-anak. Ketakutan karena tidak punya pacar, umur sudah makin tua makin bertambah tetapi masih belum dapat-dapat. Orang tua mulai kuatir punya anak-anak demikian. Yang sudah punya, takut ditinggal pacar. Sudah menikah ada ketakutan lagi, dsb.

Kita belajar di bagian ini ketika murid-murid ketakutan dan berseru “Itu hantu!” Tuhan Yesus berkata, “Tenanglah, Aku ini, jangan takut.” Ini poin pertama yang akan kita renungkan. Di dalam seluruh Alkitab kita ada 365 kali kata “don’t be afraid, jangan takut, jangan kuatir…” Ini memperlihatkan satu emosi yang manusia terus bisa alami, tetapi ini mengingatkan kita janji Tuhan untuk setiap hari jangan takut. Bagaimana kita boleh mengatasi ketakutan di dalam hidup kita, sesungguhnya kalimat Tuhan Yesus ini “take heart, do not be afraid, this is Me..” Kalimat “this is Me” dalam bahasa Yunaninya “Ego eimi” artinya “I AM”, inilah Aku. Kata ini sangat menarik, khususnya kalau saudara membaca Injil Yohanes, dia memakai istilah “Ego eimi” ini berkali-kali untuk menunjukkan siapakah Kristus sesungguhnya. “Akulah Roti Hidup,” “Akulah Gembala yang baik,” “Akulah Pintu,” “Akulah Kebangkitan dan Hidup,” “Akulah Pokok Anggur yang benar,” dsb. Semuanya memakai kata “Ego eimi.” Inilah yang akan kita pikir dan renungkan di dalam hidup kita di dalam menghadapi segala kesulitan di dalam dunia ini.

Seperti murid-murid yang menghadapi gelombang besar, angin sakal, ini seperti sesuatu yang mengerikan bagi mereka. Meskipun mereka adalah nelayan, ini adalah pengalaman yang menakutkan. Mereka berjuang menghadapinya dan mereka tidak mampu dan sudah sampai kelelahan dan tidak punya kekuatan untuk mengatasi gelombang itu. Lalu waktu mereka melihat Yesus berjalan di atas air, mereka mendengar Tuhan Yesus berkata, “Tenanglah, Aku ini, jangan takut.” Itu menjadi kekuatan bagi kita untuk boleh mengerti dan mengenal siapakah Kristus sesungguhnya. Ini menjadi perenungan pengenalan hidup kita, di mana kita perlu berjuang, bergumul, berseru dan mengenal Dia secara pribadi di dalam kehidupan kita, mengenal siapakah Kristus. Perkataan Tuhan itu begitu berkuasa dan sebetulnya mirip dengan apa yang Tuhan Allah katakan kepada Musa ketika Musa melihat semak belukar yang tidak terbakar. Allah mengutus Musa untuk memimpin bangsa-Nya yang di dalam perbudakan untuk pergi dari Mesir, lepas dari tangan Firaun. Musa bertanya, “Siapakah Engkau?” Tuhan Allah mengatakan, “I AM THAT I AM, Aku adalah Aku,” sama seperti Tuhan Yesus berkata, “Ego eimi” dalam bagian ini ketika Dia ingin menenangkan para murid yang ketakutan. Ketika Tuhan Yesus berkata “Aku adalah Aku,” ini menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang sesungguhnya, Allah yang datang ke dalam dunia menjadi manusia. Seluruh kepenuhan Allah ada di dalam diri-Nya ketika Dia menyatakan “Ego eimi.” Kalimat ini hanya boleh dipakai oleh Allah. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan Dia. Ini adalah penyataan yang puncak kepada manusia. Karena Tuhan tidak bisa dijelaskan dengan apa pun, Tuhan menyatakan kepada kita hal-hal yang kita bisa mengerti, meskipun tidak ada yang bisa menjelaskan secara penuh berapa besar, berapa agung, berapa mulia, berapa tak terbatasnya Allah kita itu. Ketika Tuhan berkata, “Aku adalah Aku,” itu adalah pernyataan yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun, tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata yang bisa dimengerti oleh manusia, tidak bisa dibandingkan dengan apa pun di dalam pikiran manusia, di dalam ciptaan yang terbatas. Itulah kata yang Tuhan Yesus pakai di dalam bagian ini yang boleh mengingatkan kita juga bahwa di dalam segala ketakutan dan kesulitan yang kita hadapi, kita perlu datang kepada Dia, perlu mengenal siapa Dia yang sesungguhnya, berapa besarnya Dia, berapa agungnya Dia. Kadang-kadang kita merasa kesulitan hidup kita terlalu besar dan kita merasa Tuhan begitu kecil.

Dalam satu buku dari David Wells, “Courage to be Protestant,” dia menganalisa dengan tajam sekali bagaimana hidup manusia di dalam zaman Post Modern ini sudah betul-betul menjadi sentral dari segala sesuatu. Manusia bukan saja otonomi atas dirinya sendiri, tetapi manusia menjadi pusat dari segala sesuatu di dalam dunia ini. Segala sesuatu dilihat dari kepentingan diri dan dari apa yang diinginkan oleh diri, dan akhirnya akan merembet ke gereja-gereja di tengah dunia ini. Melalui analisa dia, kita diingatkan waktu manusia menjadi pusat, manusia menjadi utama, manusia menjadi hukum atas dirinya sendiri, maka Tuhan dibuang dan ditinggalkan. Seberapa kita mengenal akan Kristus? Ini adalah pertanyaan bagi kita masing-masing yang harus dijawab di hadapan Tuhan, “menurut kamu siapakah Aku ini?” Dan waktu kita menjawab siapakah Kristus sesungguh-sungguhnya, bukan hanya mengerti secara teori, tetapi itu merefleksikan hati dan iman kita, betulkah kita percaya Kristus yang sedemikian besar dan agung. Dan jawaban kita menentukan berapa besar, berapa tinggi, berapa agung kerohanian kita, siapakah Kristus bagi hidup kita? Hari ini kita diingatkan melalui segala kesulitan yang kita hadapi, khususnya di dalam kesulitan itu kita diuji sampai kepada iman kepercayaan kita yang paling dasar siapakah Kristus sesungguhnya di dalam hidup kita. Karena itu kita perlu mengenal Dia, bergaul dengan-Nya, membaca firman-Nya, merenungkannya dan bersekutu dengan saudara-saudara seiman dan di dalamnya kita mengenal Kristus. Dan bukan lagi natural style kita yang hidup tetapi Kristus yang hidup di dalam diri setiap orang yang percaya.

Yang kedua, kita melihat respons Petrus ketika dia meminta Tuhan menyuruh dia berjalan di atas air seperti Yesus. “Tuhan, jika Engkau itu, suruhlah aku berjalan di atas air,” ini bukan menyatakan keraguan dia ataupun seperti Iblis waktu mencobai Yesus di padang gurun. Iblis tidak percaya, Iblis meragukan dan sesungguhnya Iblis sedang menguji ke Allah-an Yesus, sehingga Yesus tidak menjawab dia. Berbeda dengan Petrus yang meminta dengan iman, dia tidak akan keluar dari perahu itu kalau Tuhan tidak menyuruh dia. Jelas dia belum mengenal Tuhan Yesus sepenuhnya, tetapi dia mau percaya dan taat kepada-Nya. Waktu Petrus akhirnya turun dari perahunya, itu bukan suatu tindakan yang nekad. Kalau kita berada di posisi Petrus mungkin kita tidak berani melakukan hal itu. Bukan hanya angin sakal dan ombak gelombang itu saja, tetapi sekarang Petrus berjalan di atas air yang sedang bergelombang itu. Itu adalah satu permintaan yang begitu besar. Yesus menyetujui permintaannya dan dia mulai berjalan di atas air.

Ketika Petrus berkata, “Jika Engkau itu, suruhlah aku berjalan di atas air,” ini bukan tindakan nekad. Ini bukan juga satu extreme sport, tetapi ini adalah suatu extreme discipleship. Waktu Petrus kemudian turun dan berjalan, ini adalah pengalaman yang begitu luar biasa, tetapi kemudian dia mulai merasakan tiupan angin dan mulai merasa takut. Dia mulai tenggelam, karena ketakutan dan tidak ada imannya. Hidup kita akan tenggelam ketika kita mulai kehilangan iman, ketika kita mulai kecewa, dsb karena kita tidak lagi fokus kepada Kristus. Petrus mulai merasakan tiupan angin dan mulai merasakan gelombang, dan dia mulai merasa takut. Matanya tidak lagi fokus kepada Tuhan, matanya tidak lagi memandang kepada Kristus. Dia hanya memandang kepada kesulitan dan pergumulan yang mungkin begitu real dan begitu besar.

Ini menjadi satu peringatan bagi kita, kita mungkin pernah mengalami seperti Petrus. Kita ketakutan, kita kehilangan iman, kita tidak lagi percaya dan memegang janji Tuhan. Kita tidak lagi merenungkan janji Tuhan yang begitu banyak dan begitu besar dan begitu indah, yang mencakup seluruh aspek dari hidup kita. Kita boleh pegang janji itu di dalam segala kesulitan apa pun yang kita hadapi. Tetapi begitu kita mulai bergeser dari fokus yang seharusnya kepada Tuhan dan kehendak-Nya dan mulai melihat kesulitan, pergumulan dan keputus-asaan kita tidak lagi mengerti apa yang Tuhan kehendaki dan apa yang menjadi visi yang Tuhan berikan kepada kita dan kita mulai takut dan mulai tenggelam. Kalau kita mulai tenggelam, teriakan Petrus juga menjadi pelajaran bagi kita. Ketika dia mulai tenggelam, dia berseru, “Tuhan, tolonglah aku!” Itu adalah seruan dari anak-anak Tuhan yang sejati, yang memiliki iman, yang walaupun imannya diuji, imannya mengalami goncangan, imannya tidak stabil, tetapi di dalam kejatuhan dan kemunduran imannya, seperti Petrus kembali berseru kepada Tuhan. Teriakan yang sungguh, kebutuhan yang sungguh akan Tuhan, maka Tuhan tidak memandang hina akan teriakan itu. Teriakan itu, permintaan itu, sungguh keluar dari hati yang membutuhkan Tuhan. Meskipun kadang-kadang pertolongan Tuhan itu tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita ingin Tuhan menjawab dengan cepat waktu kita berseru kepada-Nya. Banyak sekali persoalan di dalam hidup kita, realitanya Tuhan sedang terus membentuk kita untuk berseru terus kepada Dia. Dia mengasihi kita dengan begitu besar.

Suatu kali ada seorang bapak sedang menikmati satu kebaktian yang begitu indah, dia merasakan hadirat Tuhan begitu nyata di dalam kebaktian itu, tetapi kemudian dia diinterupsi oleh satu panggilan urgent buat dia. Ternyata istrinya menelpon dan mengabarkan bahwa anaknya yang berumur 9 bulan meninggal dengan tiba-tiba, mungkin terkena SIDS (Sudden Infant Death Syndrome). Dengan sedih dan kecewa dia pulang ke rumahnya setelah mendengar berita itu. Di dalam perjalanan kereta api, dia melihat seorang pria sedang membaca Alkitab dan didebat oleh beberapa orang anak muda. Bapak ini mendengar bagaimana anak-anak muda itu mencemooh Tuhan. “Kalau Tuhan itu benar-benar mengasihi dunia ini, kenapa begitu banyak kesulitan dan penderitaan di dalam dunia ini?” Pria ini mencoba menjelaskan tetapi anak-anak muda itu terus menghinanya. Bapak yang baru saja kehilangan bayinya kemudian menghampiri mereka dan berkata, “Aku tahu jawabannya, Tuhan begitu mengasihi kita karena Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal untuk mati menebus dosa kita.” Mendengar jawaban ini, anak-anak muda itu makin mencemooh dan mengatakan itu adalah jawaban yang abstrak dan tidak real. Bapak itu mengatakan, “Aku tahu apa artinya menderita, aku tahu apa artinya sedih, aku tahu apa artinya kehilangan anak, karena aku baru saja di dalam perjalanan pulang melihat anakku yang baru meninggal dunia. Aku baru tahu berapa besarnya kasih Tuhan kepadaku, karena Dia mengutus Anak-Nya yang tunggal, Anak-Nya yang terkasih untuk mati menebus dosaku. Di situ aku baru mengerti betapa artinya kasih Tuhan.” Kita sekali lagi boleh belajar di dalam bagian ini, iman yang terus memandang kepada Tuhan, iman yang melihat kepada kebesaran dan kasih Tuhan di dalam hidup kita. Waktu kita jatuhpun kita boleh berseru, “Tuhan, tolonglah aku.” Dia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang memberikanNya untuk mati bagi kita, bukankah Dia akan memberikan segala sesuatu bagi kita? Bukankah Dia sudah memberikan yang terbaik kepada kita, apa lagi yang Dia akan tahankan buat kita? Dia pasti memegang, memelihara, menjaga dan memimpin kita. Kita boleh berseru dan mengenal Dia dengan benar dan tunduk kepada Dia Allah yang berdaulat. Kita terus pegang janji firman Tuhan itu yang menguatkan kita.

Yang ketiga, bagian ini membuat kita belajar dari kesalahan Petrus yang kemudian Tuhan tegur, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Ini menjadi pelajaran bagi kita untuk boleh belajar dari kesalahan Petrus walaupun dia mengalami perjalanan iman yang luar biasa, tetapi dia masih bimbang, belum percaya, tidak fokus seluruhnya kepada Tuhan dan kehendaknya sehingga dia mulai tenggelam. Petrus awalnya bagus, dia beriman dan percaya Tuhan tetapi kemudian dia mulai gagal dan kemudian Tuhan membentuk hidup dia. Tuhan menegur dia sebagai orang yang kurang percaya, orang yang bimbang. Betul, Petrus gagal, betul Petrus ditegur Tuhan, tetapi sebenarnya ada 11 murid yang lain yang sebenarnya punya bigger failure sedang duduk di dalam perahu. Petrus gagal ketika dia mulai bergeser dari fokus imannya kepada Tuhan, tetapi ada 11 orang lain yang berada di dalam perahu itu yang seolah-olah kelihatannya tidak gagal, mereka seolah-olah imannya OK, mereka merasa tidak ada masalah dengan imannya. Mungkin Petrus malu sekali di dalam kegagalannya, tetapi 11 orang lain yang tinggal di dalam perahu menyaksikan itu semua, tetapi mereka tidak pernah turun dan sesungguhnya orang-orang yang lebih gagal. Mereka gagal diam-diam, mereka gagal karena mereka tidak mau melakukan apa-apa. Tuhan Yesus menyuruh mereka ke seberang danau untuk membawa mereka di dalam perjalanan iman yang lebih dalam lagi, tetapi mereka diam-diam. Petrus sudah gagal, tetapi mereka lebih gagal karena mereka tidak mengalami segala pembentukan sedangkan Petrus belajar hal yang sangat penting di dalam bagian ini.

Ini sesungguhnya mirip seperti orang yang memiliki satu talenta di dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Yang punya lima talenta dan dua talenta mengerjakannya dengan setia, tetapi yang punya satu talenta menguburkan talenta itu dan bahkan menuduh tuannya sebagai seorang yang jahat, yang menuai di tempat dia tidak menabur. Dia tidak mengerjakan apa-apa, dia hanya menggali tanah dan menyimpan talenta itu. Dia tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Dia tidak seperti orang yang memiliki lima dan dua talenta yang mengerjakan dengan setia. Meski ada resiko, ada kemungkinan gagal, tetapi mereka mengerjakan dengan setia. Karena yang punya satu talenta play safe dan pengenalannya akan Tuhan salah sekali, dia tidak melakukan apa-apa, melainkan mengubur talenta itu. Memang talentanya tidak hilang, tetapi dia tidak kembangkan dan pertanggung-jawabkan di hadapan Tuhan. Maka Tuhan mengatakan, “Engkau hamba yang jahat dan malas…” dan talenta yang ada padanya diambil dan diberikan kepada yang punya lima talenta. Engkau sudah Kuberi kepercayaan kepadamu tetapi engkau tidak setia.

Dari poin terakhir ini kita belajar bahwa memang Petrus gagal, tetapi sebenarnya murid-murid yang lain itu lebih gagal daripada dia, karena mereka mencari jalan aman, mereka tidak berjuang, mereka tidak mau ambil resiko. Ironisnya mereka merasa OK dan merasa tidak ada apa-apa, padahal mereka gagal karena mereka tidak keluar dari perahu itu. Mereka gagal tetapi tidak melihat kegagalannya, mereka diam-diam gagal.

Seorang bernama Larry Laudan, seorang ahli yang sepuluh tahun belajar mengenai Risk Management, mengeluarkan satu buku mengenai 19 prinsip tentang Risk Management, saya mengutip salah satunya yaitu “everything is risky.” Segala sesuatu ada resikonya, apa pun yang engkau kerjakan, engkau keluar dari perahu ada resiko tenggelam, kalau engkau tinggal di dalam perahu bukan tidak ada resiko, tetapi mungkin ada resiko yang lebih besar. Kita mau mencari absolute safety di tengah dunia ini, kita tidak bisa tinggal di dalam dunia ini karena tidak ada yang tidak beresiko. Kita pikir tinggal di Australia salah satu tempat yang paling aman, yang lari dari kerusuhan berpikir seperti itu, padahal tidak ada yang namanya tempat yang aman di dunia ini.

Ada resiko waktu keluar dari perahu, tetapi sebaliknya ada resiko yang lebih besar kalau kita tidak keluar dari perahu. Kita mungkin mati karena bosan, mati karena kemandekan, mati karena stagnant. Hidup kita melalui contoh Petrus dan murid-murid yang lain, kiranya boleh kita pikir dan renungkan dan saya mendorong saudara untuk lebih aktif dan lebih sungguh berjuang di tengah dunia ini. Ada resiko, ada kesulitan, ada air mata. Belajar melakukan apa yang Tuhan kehendaki meskipun mungkin gagal. Waktu kita beriman, waktu kita melangkah seperti Petrus berjalan, paling tidak dia mengalami dua hal, Petrus mengalami, Petrus mengerti, Petrus bertumbuh di dalam imannya. Waktu dia tenggelam, Tuhan menolong dia, dia mendapat dua hal penting di dalam hidupnya yang tidak didapat oleh 11 murid yang lain di dalam perahu. Hanya Petrus yang mengerti keheranan, sukacita dan kekaguman berjalan di atas air seturut perintah Tuhan. Dan kedua, ada pengalaman yang intim waktu Tuhan menarik dia keluar dari air. Dia mengalami pertolongan Tuhan pada saat itu, itulah iman dan itulah pertolongan Tuhan yang tidak pernah dialami oleh 11 murid yang lain. Kita perlu belajar melakukan apa yang sesungguhnya menurut pikiran manusia tidak mampu tetapi kalau itu Tuhan kehendaki maka Tuhan akan pimpin kita. Maka kita akan melihat kemuliaan Tuhan, keheranan, kebesaran Tuhan boleh dinyatakan. Di saat-saat kita lemah, di saat-saat kita tidak berdaya, di saat-saat kita tidak mampu, waktu kita berseru kepada Tuhan, kita melihat keindahan Tuhan dan anugerah Tuhan yang memberi kekuatan.(kz)



Sumber:
http://www.griisydney.org/ring... n-khotbah/2008/2008/09/21/keluar-dari-perahumu/

Sejarah pergerakan Pantekosta

D i s u s u n o l e h : I v a n K a r e l K a l i g i s
(Ketua Pemuda GPdI Sejahtera, Bintaro, Jakarta)


Sejarah Pergerakan Pantekosta

Dua buku referensi utama dalam tulisan ini adalah: "The New International Dictionary of Pentacostal & Charismatic Movements" 2002, editor Dr.Stanley Burgess dan "The Century of the Holly Spirit 1901-2001, 100 years of Pentecostal & Charismatic Renewal" 2001, karangan Dr.Vinson Synan. Serta beberapa buku dan artikel lainnya. Sekalipun tulisan ini berupa ringkasan, semoga hal ini dapat memberikan manfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi kita yang berminat kepada study tentang sejarah gereja. Karena sifat tulisan ini adalah sebagai study dan cerita saja maka sendainya ada pernyataan doktrin-doktrin teologi yang muncul dari tokoh-tokoh dalam peristiwa ini, itu merupakan pandangan pribadi mereka saja, namun esensi dan prinsip yang mereka miliki tetap sama yaitu Roh Kudus.

3 Gelombang Kegerakan Pantekosta

1. Klasik Pantekosta (Charles Parham, Seymour).

2. Gerakan Karismatik (Oral Roberts, David du Plessis, Demos Shakarian, Katolik Karismatik).

3. Neo Karismatik, gelombang ini bercorak pada organisasi yang tidak masuk dalam gelombang Pantekosta atau Karismatik namun tetap mempunyai penekanan pada doktrin-doktrin Pantekosta. Yang masuk dalam gelombang ini adalah New Apostolic Churches (Peter Wagner) dan Vineyard Christian Fellowship (John Wimber).

Tulisan ini akan banyak mengarah kepada Klasik Pantekosta karena dari sinilah sumber kegerakan Pantekosta dimulai termasuk untuk Indonesia. Sebelum kita masuk kedalam pembahasan Klasik Pantekosta, ada baiknya kita melihat dulu apa yang terjadi terhadap pengajaran soal Roh Kudus setelah zaman kitab Rasul-Rasul. Sejarah mencatat selama 300 tahun sejak zaman Rasul-Rasul, Teologia tentang pribadi dan pekerjaan Roh Kudus bertumbuh secara lambat. Selain faktor mencuatnya pengajaran tentang Kristologi (yang saat itu mulai dikenal) juga faktor lain adalah: Berhentinya pelayanan kenabian dan ketidakmampuan pelayanan tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan gereja. Hal ini merupakan ekses dan pelanggaran menyangkut nubuat dan proses institusi pelayanan Roh Kudus yang hanya milik pimpinan gereja atau milik martir-martir Kristus.

Faktor penyebab utama yang terjadi di abad ke 2 adalah munculnya pengajaran sesat seperti Gnostik, Montanisme dan Marcionisme.

Gnostik (pengetahuan) adalah suatu faham yang menyatakan bahwa dunia ciptaan ini adalah jahat dan penuh penderitaan, roh dalam manusia lebih mulia dari tubuh manusia dan hal-hal yang sifatnya materi adalah jahat. Keselamatan bukanlah lewat kematian Kristus tapi lewat pengetahuan dan pikiran yang tinggi didalam Roh Kudus. Teks Genosis mengatakan bahwa adalah seorang ibu yang mulia dan Allah adalah Bapanya. Jadi faham tentang "Special Knowledge" atau pengetahuan yang tinggi ini menekan pengajaran yang benar tentang fungsi dan pribadi Roh Kudus.

Montanisme adalah suatu ajaran dari Montanus (sekitar tahun 160-an) yang menyatakan dalam dirinya ada "Roh Penolong" dan dalam pekerjaannya dia dibantu oleh dua orang nabiah (Maximilla dan Priscilla). Mereka bernubuat dan berbicara dalam "Bahasa Roh" (menurut mereka) dan menyatakan bahwa akhir dunia ini sudah hampir sampai dan Tuhan sudah akan datang maka mereka mengatakan jangan kawin lagi, berpuasa banyak, jual harta dan tinggalah di Pepuza (sebuah desa di Asia Kecil) untuk menyambut kedatangan Tuhan. Ajaran ini tentu juga menekan pengajaran Roh Kudus yang benar. Sekte "Kedatangan Tuhan" tanggal 10 November 2003, kelihatannya mempunyai kesamaan dengan ajaran Montanus ini.

Marcionisme adalah ajaran yang dikembangkan oleh Marcion dimana dia membedakan antara Allah P.L dan Allah P.B. Menurut dia Allah P.L adalah jahat dan Allah P.B adalah Allah yang benar. Soal Roh Kudus, Marcion mengidentifikasikannya dengan Kristus.

Tulisan Dari Tokoh-Tokoh Gereja.

Hanya beberapa saja (termasuk ajaran-ajaran mereka) yang disebutkan. Karena pada zaman itu penganiayaan gereja oleh pihak Roma sangat besar dan sulit bagi pimpinan gereja untuk mengadakan pembelaan secara lisan dimuka pimpinan Roma maka pembelaan yang mereka buat adalah secara tulisan dimana hal ini secara tidak langsung mengembangkan doktrin teologi khususnya Roh Kudus.

Iraneaus. (130-202) Dia menyatakan bahwa Kristus dan Roh Kudus adalah Allah juga. Dia juga mengakui akan kontinuitas pekerjaan karunia-karunia Roh Kudus di dalam gerejanya.

Tertullian. (lahir tahun 150) Dialah yang memberikan pengertian yang mulai jelas tentang pribadi dan pekerjaan Roh Kudus. Dia mampu menjelaskan perbedaan pekerjaan Roh Kudus dengan Bapa atau dengan Anak. Menurut dia trinitas itu terpisah dalam pekerjaan tapi satu dalam esensi.15 tahun sejak pertobatannya dia masuk golongan Montanisme.

Origen (lahir tahun 185). Dalam ajarannya dia banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Yunani-Roma dimana dia mempercayai akan adanya tingkatan roh dan Kristus adalah yang tertinggi dari roh-roh itu dan Kristus lebih rendah dari Allah Bapa. Meskipun demikian dia mempercayai akan kesembuhan ilahi dan tanda-tanda mujizat.

Berikut ini adalah pandangan dari beberapa tokoh Gereja Timur (sejak abad ke 4 telah terjadi perpecahan dalam gereja-gereja di Roma yaitu menjadi Gereja Timur dan Gereja Barat, di wilayah timur berkembang Gereja Ortodoks Timur dan di barat berkembang Gereja Roma Katolik dan selanjutnya gereja-gereja reform dan protestan).

John Chrysostom (347-407) Dalam khotbahnya dia banyak menekankan pengaruh Roh Kudus terhadap sikap dan tingkah laku seseorang (buah-buah Roh) dari pada karunia-karunia Roh. Dia menyatakan bahwa karunia-karunia Roh dan bahasa lidah telah berhenti sejak gereja didirikan.

Basil (lahir tahun 330). Dia kadang disebut "Dokter Roh Kudus". Dia menolak ajaran yang menyatakan bahwa Roh Kudus itu adalah ciptaan. Dalam tulisannya dia banyak menghubungkan Roh Kudus dengan gereja.

Artanasius (296-373) Dalam pandangannya Roh Kudus adalah alat dari Anak untuk penciptaan dan penyucian. Dan setiap penolakan akan Roh Kudus sebagai Allah akan meruntuhkan Kristen dan sekaligus menyangkal keselamatan yang disediakan Allah lewat Anaknya.

Sedang tokoh untuk gereja di wilayah barat yang terkenal adalah Ambrosius dan Agustinus. Bagi Ambrosius Roh Kudus memiliki kuasa, terang dan kehidupan. Dia percaya lewat baptisan air, darah dan Roh seseorang dapat diperbaharui. Bagi Agustinus Roh Kudus adalah penuntun buat manusia kedalam kebenaran Kristus dan dia percaya bahwa gereja dilahirkan oleh Roh Kudus pada hari Pentakosta. Sayangnya dia hanya percaya bahwa karunia berbahasa lidah hanya sampai di zaman Rasul-Rasul.

Pandangan dari para Reformator.

Martin Luther (1483-1546). Dia sama dengan Agustinus bahwa bahasa Roh telah berhenti dan mendesak bahwa kesembuhan Illahi harus dinilai dengan terang Firman Allah. Secara umum mujizat tidak diperlukan lagi. Namun demikian dalam perjalanan hidupnya Luther pernah berdoa untuk orang sakit dan orang tersebut sembuh.

Ulrich Zwingli (1484-1531). Dia menyatakan bahwa Roh Kudus harus sejalan dengan firman Allah dan Roh Kudus bukan saja penulis Kitab Suci namun juga interpreter sejati. Zwingli sangat menekankan akan Roh Kudus tanpa perlu memisahkan Roh dan Firman. Bagi dia seorang Kristen tidak perlu menekankan makna hurufiah Alkitab tapi harus libatkan Roh Kudus.

John Calvin (1509-1564) Dia menyatakan bahwa tindakan Bapa dan Anak dicerminkan lewat Roh Kudus. Dan penyucian Roh Kudus hanya untuk orang-orang pilihan saja. Karunia nubuat bagi dia hanyalah sebatas khotbah, karunia bahasa Roh hanya sebatas berbicara dengan bahasa lain didalam rangka penginjilan dan mengartikan bahasa Roh itu adalah sekedar penterjemahan saja. Jadi Calvin sebenarnya masih mempercayai keberadaan Karunia-karunia Roh meskipun dengan pengertian yang berbeda. Calvin disebut "Teolog Roh Kudus" diantara tokoh-tokoh reformer. Sayangnya doktrin tentang penekanan dia mengenai pekerjaan Roh Kudus akhirnya ditumbangkan oleh 2 teolog reformed sendiri (abad 20) B.B.Warfield dan Charles Hodge. B.B.Warfield dalam bukunya Counterfeit Miracles membantah akan kelangsungan mujizat Roh Kudus pada zaman sekarang.

1. Klasik Pantekosta.

Klasik Pantekosta merupakan bagian pertama dari 3 gelombang kegerakan Pantakosta. Pembahasan Klasik Pantekosta terdiri dari 3 bagian yaitu: Dasar dan akar Pantekosta, Charles Parham (Azusa Street Revival) dan Ekspansi Pantekosta ke seluruh dunia.

A. Dasar dan akar kegerakan Pantakosta (Perkembangan sebelum tahun 1900). Dua pendeta/penginjil besar yang berperan besar dalam sumbangsihnya akan kegerakan ini adalah John Wesley dan Edward Irving. Wesley yang hidup diabad ke 18, tokoh Metodis dan gerakan penyucian (Holines Movement) menetapkan landasan dasar tentang apa yang dia sebut sebagai "Second Blessing" (Pengalaman Kedua) atau "Entire Sanctification" atau juga Christian Perfection". Apa yang dia sebut sebagai pengalaman kedua adalah selain kita sudah mengalami keselamatan oleh percaya dan Darah Kristus maka perlu ke tahap selanjutnya yaitu pengalaman penyucian yang menuju ke kesempurnaan.

Radikal Wesleyan yang keluar dari Metodis menyebut pengalaman kedua tersebut sebagai Babtisan Roh Kudus. Datang dari awal abad ke 20 dan merupakan suatu kegerakan yang meliputi juga tanda-tanda mujizat dan karunia-karunia Roh dan menyebutkan diri mereka sebagai "Pentacostals". Selanjutnya Edward Irving (abad 19) seorang pendeta dari Presbyterian Church di London mempimpin sebuah kebaktian pembaharuan Pantekosta di Skotlandia. Dalam laporan (tahun 1830) pelayanannya disebutkan telah terjadi pemulihan Bahasa Roh yaitu yang dialami oleh Mary Campbell. Juga laporan pada 20 April 1830 telah terjadi juga pengalaman Bahasa Roh tersebut berikut mengartikan maknanya oleh dua bersaudara yaitu James dan George McDonald. James berbicara Bahasa Roh dan George mengartikannya. Irving menyebutkan bahasa lidah tersebut sebagai "Standing Sign" dan visible yang merupakan bukti kasih karunia dari Babtisan Roh Kudus.

Selanjutnya pengalaman babtisan Roh Kudus ini juga berkembang ke kelompok "Keswick" (Higher Life) dari D.L. Moody. Moody bercerita bagaimana dua orang wanita dari anggota gereja Metodis yang berdoa baptisan Roh Kudus untuknya. Dalam kebaktian doa tahun 1871 itu dia mengalami kepenuhan Roh Kudus lalu jatuh kelantai dan mengalami kemuliaan Allah. R.A. Torrey salah satu tokoh Keswick mengatakan baptisan Roh Kudus adalah berbeda dan kelanjutan pekerjaan kelahiran baru dan bukan buat Rasul-rasul atau yang hidup pada zaman Rasul-rasul itu tapi buat semua orang yang dipanggil Allah. Pengalaman-pengalaman ini terus berkembang kepada tokoh revival seperti John Fletcher, George Whitefield, Charles Finney, Phobe Palmer dan lainnya. Suatu pengalaman yang dashyat dialami di suatu camp meeting di Kentucky (tahun 1801dimana dihadiri oleh 25,000 umat-umat), kebanyakan dari Presbyterian dan Metodis. Disana banyak yang bertobat dan mengalami manisfestasi seperti " Holly Laugh" dan "Holly Dance".

B. Charles Parham dan Azusa Street Revival. Figur utama lahirnya kegerakan Pantekosta adalah Charles Fox Parham (1873-1929). Ajarannya dipengaruhi oleh tokoh Holines movement yaitu Hardin Irwin (pencetus Third Blessing atau Babtisan Api) dan Frank Sandford, seorang pemimpin misi dan pendiri Holy Ghost & US Bible School. Sejak kecil sering sakit dan banyak istirahat. Di usia 13 tahun ibunya meninggal dan disaat-saat itulah dia di lahirkan kembali lewat pelayanan Brother Lippard dari Congregational House Church. Dia belajar di sekolah Metodis, Southwestern College di Kansas tahun 1889 di bidang medical. Dengan sedikit bekal pendidikan tersebut dia mulai mengenal panggilannya untuk pelayanan, sejak itu rasa sakitnya mulai hilang.

Parham adalah yang pertama memberi kemajuan dalam teologi soal bahasa roh yang merupakan bukti awal seseorang dibabtis Roh Kudus. Ajarannya dikenal sebagai "Bible Evidence" atau "Initial Evidence". Dia juga mengatakan baptisan Roh Kudus merupakan syarat utama seseorang dilepaskan dari masa kesusahan besar (Great Tribulation). Setelah meninggalkan Linwood Methodist Church, Parham menjadi penghotbah independen dan penginjil. Tahun 1898 dia menetap di Topeka Kansas dan mendirikan Bethel Bible School dan Healing Home. Dia juga menerbitkan publikasi berjudul Apostolic Faith. Desember 1900, Parham meminta murid-muridnya di sekolah itu untuk menyelidiki Kitab Suci khususnya tanda utama babtisan Roh Kudus. Sementara 3 hari dia pergi keluar berkhotbah, murid-muridnya berdoa dan berpuasa sambil belajar soal Bahasa Roh itu. Ketika dia pulang dan menemui jawaban dari murid-muridnya maka pada 31 Desember 1900 (malam pergantian tahun) bersama murid-muridnya dia mengadakan kebaktian. Saat itulah salah satu muridnya Agnes N.Ozman meminta dia untuk menumpangkan tangan atasnya untuk mengalami Baptisan Roh.

Mujizat terjadi saat Agnes mulai berbicara dalam bahasa-bahasa lain khusunya bahasa Cina dan ketika Parham meminta dia menuliskan pengalamannya itu, Agnes tidak mampu menuliskannya dalam bahasa Inggris tapi dalam bahasa Cina. Selama kebaktian itu murid-muridnya yang lain berbicara dengan bahasa-bahasa roh yaitu Swedia, Rusia, Bulgaria, Jepang, Prancis, Norwegia, Italia dan Hungaria. Dan Parham mengetahui bahwa tidak satupun dari murid-muridnya yang belajar bahasa tersebut. Dengan ini Parham menyimpulkan bahwa pentingnya misionaris untuk berdoa meminta kepenuhan bahasa roh guna keperluan mereka menghadapi bangsa-bangsa lain yang berlainan bahasa. Setelah kejadian ini Parham mulai mengadakan serangkaian tour penginjilan kurang lebih 4 tahun. Tahun 1905 dia mendirikan sekolah Alkitab di Houston, Texas. Murid-muridnya hanya 25 orang dan salah satunya adalah William J.Seymour.

Seymour dan Azusa Street Revival. William Joseph Seymour (1870-1922), lahir dari keluarga mantan budak, seorang yang gemuk, pendek dan buta di salah satu matanya. Dia menjadi pendeta atas undangan Lucy Farrow di Independen Holines Movement Houston. Kebaktian perdana Seymour di rumah Owen Lee kemudian pindah ke keluarga Richard dan Ruth Asberry di 214 North Bonnie Brae Street di tahun 1906. Saat kebaktian di rumah ini banyak yang mengalami kepenuhan Roh Kudus. Berita tersebut tersebar ke tetangga-tetangga yang ingin melihat apa yang terjadi. Saat mereka berkumpul di luar maka jemaat dari rumah tersebut keluar untuk memberitakan injil dan banyak juga yang dipenuhi Roh Kudus, salah satunya adalah Jennie Moore yang nantinya akan menjadi istri Seymour.

Jennie dalam naungan kuasa Allah bermain piano sambil memuji Tuhan sekalipun dia tidak pernah belajar akan piano. Kejadian pada 9 April 1906 di Bonnie Brae Street menjadi berita besar buat sejarah Pantekosta. Banyak denominasi gereja-gereja lain ikut hadir dalam kebaktian tersebut. Banyak yang berbahasa Roh dan berjatuhan. Akhirnya rumah di Bonnie Brae itu tidak muat untuk mengumpulkan jemaat-jemaat yang hadir. Maka dicarilah tempat yang layak. Didapati bangunan di jalan Azusa, suatu bangunan yang tadinya milik gereja Metodis Episcopal namun tidak digunakan lagi. Maka dimulailah ibadah di gedung tersebut. Kebaktian dipimpin oleh Seymour meliputi nyanyian, capella, kesaksian, doa, altar call buat pertobatan atau baptisan Roh Kudus dan khotbah. Doa orang sakit juga terjadi, banyak yang "Slain in the Spirit", kadang suasana diam atau juga nyanyi dalam Roh.

Kebaktian perdana ini seperti dilaporkan oleh Arthur Osterberg dihadiri lebih kurang 100 orang kebanyakan negro namun juga terdapat warga kulit putih. Kebaktian berkembang pesat dan bisa menjapai 300-350 orang. Koran Los Angeles Times edisi 18 April 1906 menyebutkan ibadah tersebut sebagai "Weird Babel of Tongues" (ucapan yang tidak jelas dan tidak alami). Polisi kadang menutup akan jalan tersebut selama ibadah berjalan dan banyak yang minta ibadah tersebut ditutup karena mengganggu lingkungan dan bahkan tidak diterima oleh gereja-gereja lain dan ada yang dari gereja Pantekosta. Jennie Moore ketika kembali beribadah di gerejanya di First New Testament Church dan berbahasa roh disana akhirnya tidak diterima.

Phineas Bresee dari Pentacostal Church of Nazarene juga menentang ibadah tersebut dan mencapnya sebagai "False Revival". Bresee menurunkan tulisan Pantekosta di nama gerejanya agar tidak dihubung-hubungkan dengan kejadian di Azusa Street. Pemimpin Pentacostal Union Church, bishop Alma White menuduh Azusa revival tersebut sebagai penyembahan setan dan mempratekkan okultisme dan penyelewengan seksual. Sekalipun banyak dikecam, Azusa street revival telah menghadirkan banyak golongan dan tingkatan jemaat mulai dari yang berpendidikan, tidak berpendidikan, kaya, miskin, dari Afrika, Asia, kulit putih, hitam dan warga asing. Frank Bartleman melukiskan kejadian itu sebagai "The color line was washed in the blood".

Bukti menunjukkan dalam ibadah tersebut baik African-American, kulit putih, laki-laki dan perempuan, pendeta, penginjil dan jemaat asing terlibat dalam kepemimpinan ibadah. Sering terjadi warga-warga asing itu bertobat karena beberapa jemaat ketika dipenuhi Roh Kudus berbicara dalam bahasa mereka. Sebenarnya mereka masih dibawah denominasi gereja mereka dan menyebarkan teologi baru Pantekosta tesebut kedalam gereja mereka. Pola dari Azusa Street Mission menghendaki bahwa Roh Kudus tidak hanya memimpin para pimpinan gereja tapi semua orang-orang percaya bebas berbicara selama ibadah itu. Mereka mengajarkan Roh Kudus tidak boleh dibatasi oleh gedung gereja tapi menyebar kedalam bentuk kesaksian baik di jalan ataupun pekerjaan. Selain mengalami Bahasa Roh beberapa laporan menceritakan juga terjadi vision dan fenomena luar biasa yang sebelumnya tidak pernah dipelajari. Sehari ibadah bisa 9x mulai pagi sampai larut malam. Mereka bisa mulai ibadah sendiri tanpa perlu ada pemimpin. Kadang tidak ada program yang harus dijalankan tetapi mereka tidak takut karena Roh Kudus mampu mengendalikan kebaktian itu.

Pengaruh Azusa Street revival. Penginjil seperti Gaston Caswell, Frank Bartleman. Pastor William Pendleton,William Durham dan Joseph Smale merupakan warga kulit putih yang ikut hadir dalam revival itu lalu menyebarkan secara cepat akan kejadian-kejadian di Azusa. Beberapa perkumpulan rohani didirikan seperti: Upper Room Mission dari Elmer Fisher, Eighth & Maple Mision dari Bartleman dan Pendleton, Seventh Street Mission dari William Durham, Full Gospel Assembly dari A.G Osterberg, Apostolic Faith Mission dari James Alexander, Charles Mason dengan gerejanya Church of God.

Mundurnya Azusa Street revival. Mulai tahun 1909 dan 1910 Azusa Street mengalami kemunduran baik kehadiran dan kejadian-kejadiannya. Penyebab-penyebabnya bisa karena dicap sebagai "Sekte dan Ritual". Pengalaman Roh Kudus itu juga menjadikan mereka seperti aritokrasi yaitu mereka mendapatkan "Special Insight" dalam baptisan Roh Kudus dan mendirikan "Tahta" bagi Seymour. Namun masalah terbesar adalah konfilk rasial yang akhirnya mencuat juga. Clara Lum dan Florence Crawford jemaat kulit putih yang menerbitkan majalah buat Azusa Street revival berjudul Apostolic Faith (dimana di tahun 1909 bersikulasi s/d 50,000 copy) memindahkan alamat mereka ke Portland, Oregon. Dengan adanya kejadian-kejadian tersebut maka berita yang muncul dari Azusa mengalami penghambatan. Seymour akhirnya sering mengadakan perjalanan keluar untuk KKRnya. Dengan demikian di tahun 1911 yang hadir kebaktian Azusa hanya beberapa orang kebanyakan mereka adalah warga African-American.

William Durham dan "New" Azusa Street dan ajarannya "Finished Work". Puncak kedua revival setelah Azusa adalah apa yang dipelopori oleh William Durham di Chicago. Durham adalah seorang yang ikut hadir dalam ibadah di Azusa dan dia menyebarkan pengalaman itu di tempatnya. Dia seorang Babtis namun baru pada tahun 1898 dia bertobat karena melihat vision penyaliban Kristus. Durham mengunjungi Azusa thn 1907 dan mengalami babtisan Roh Kudus. Seymour bernubuat baginya bahwa dimanapun Durham berhotbah Roh Kudus akan tercurah.

Sekembalinya di Chicago Durham mulai menyebarkan berita tentang babtisan Roh Kudus itu. Kegerakan itu disebut North Avenue Mission dan dipadati pengunjung. Banyak terjadi manisfestasi kesembuhan dalam pelayanan Durham salah satunya adalah kesaksian Aimme Semple yang disembuhkan dari patah tulang. Tahun 1911 pekerjannya menyebar sampai Los Angeles ke ibadah milik Elmer Fisher yaitu Upper Room Mision. Salah satu pengajarannya adalah "Finished Work". Ajaran ini menolak "Second Blessing"nya Wesley yang mempengaruhi Azusa Street. Menurut dia tidak ada yang namanya pengalaman kedua semua pengalaman dari penyucian, pertobatan dan babtisan Roh adalah selesai dan satu dalam salib Kristus.

Kontroversi masalah "Finished Work" di mulai tahun 1910 ketika Durham menjadi gembala di North Avenue Mission di Chicago. Dia percaya bahwa salib Kristus tidak hanya untuk penghapusan dosa tapi juga untuk penyucian semua orang percaya. Ketika ia pergi ke Azusa saat Seymour tidak ada, sebagian orang mengatakan ini merupakan kelanjutan akan Azusa Street Revival yang kedua. Namun baik Seymour, Cashwell, Mason yang merupakan tokoh revival pertama tidak dapat menerima ajaran "Finished Work" tersebut. Gereja-gereja metodis, Wesleyan sampai dengan Holiness group tetap berpegang kepada "Second Blessing" (seperti diketahui, second blessing mengajarkan bahwa pengalaman pertobatan terpisah dengan pengalaman penyucian atau baptisan Roh Kudus).

Golongan Pantekosta seperti CMA (Christian Missionary Alliance) dari A.B.Simpson menerima ajaran "Finished Work" tersebut karena memang mereka sebelumnya beranggapan demikian. Baptis dan Presbyterian juga menerima ajaran itu. Sejak itu Pantekosta terpecah menjadi dua bagian, satu yang tetap memegang ajaran "Second Blessing" dan kedua yang menerima "Finished Work".

C. Pengaruh Azusa Revival Melanda Dunia. Dimulai dari Amerika Utara. Tahun 1912 ketika misi Azusa masih beroperasi telah terjadi pembentukan organisasi atau gereja-gereja yang berlandaskan pengalaman Azusa Street Revival. Misalnya, James Alexander mendirikan Apostolic Faith Missions. Valenzuella mendirirkan Spanish Apostolic Faith. Charles Mason mendirikan Church Of God. Melalui kegerakan gerejanya Azusa revival cepat melanda Amerika.

Thomas Barrat seorang Metodis Inggris merupakan salah satu tokoh yang dipengaruhi oleh Azusa revival kembali ke Norwegia dan mulai memimpin pergerakan Pantekosta disana. Dia juga pergi ke Palestina dan India untuk mempromosikan gerakan tersebut.

Lewi Pethrus yang mendengar berita Pantekosta dibawah pimpinan Barrat di Norwegia dibaptis Roh Kudus dan mendirikan kegerakan ini di Swedia. Barrat, Pethrus dan Alexander Boddy merupakan tokoh-tokoh yang menyebarkan kegerakan ini di Eropa bagian barat.

Ivan Voronaev merupakan orang Russia yang bertobat dan anaknya Vera sudah mengalami babtisan Roh Kudus.Voronaev merupakan tokoh dimulainya kegerakan Pantekosta di Russia, Ukraine dan Bulgaria. Martin Ryan setelah membaca berita mengenai Azusa Revival menjadi Pantekosta dan pada tahun 1907 menjadi misionaris pertama yang menjangkau Jepang dan Hongkong (tahun 1907).

Alfred dan Lillian Garr merupakan misionaris dari Azusa revival yang menjadi pelopor pertama gerakan Pantekosta di Calcutta India (1907) diikuti oleh McIntosh ke Cina. Selain itu tokoh seperti R.A Jaffray dari C.M.A juga banyak memberikan sumbangsihnya untuk gerakan ini di Asia timur.

Untuk Indonesia tidak asing lagi tokoh seperti Groesbeeks dan Van Klaverens merupakan utusan dari Bethel Temple di Seattle yang digembalakan oleh Rev.W.H.Offiler.

Untuk wilayah Afrika nama John Graham Lake (1870-1935) setelah menerima babtisan Roh Kudus di tahun 1904 meninggalkan pekerjaannya sebagai pengusaha menjadi misionaris Pantekosta buat Afrika.

Untuk wilayah Latin Amerika di layani oleh Luigi Francescon yang merupakan binaan William Durham dimana Durham bernubuat baginya untuk pelayanan di Italia.

Tahun 1909 Francescon pergi ke Argentina dan Brazil untuk mengobarkan api Pantekosta disana. Selain dia tokoh seperti Daniel Berg dan Gunnar Vingren juga mempengaruhi Latin Amerika. Banyak dari misionaris-misionaris tersebut mulai pelayanannya dengan minimnya biaya dan kecukupan pendidikan karena seperti diketahui mereka kebanyakan telah ditolak dari gereja-gereja utama mereka (Mainline Church) dan Pantekosta saat itu merupakan kegerakan yang baru bertumbuh namun semangat dan api Roh Kudus dalam mereka tidak dapat menahan mereka untuk pergi memberitakan berita Pantekosta ke seluruh dunia.

Analisa Perkembangan. Selama beberapa tahun orang-orang Pantekosta banyak dikenal dengan berbagai sebutan seperti Holines kemudian berkembang seperti "Full Gospel", "Pantekosta" dan "Latter Rain", beberapa menyebutkan mereka "Holly Rollers". Selama beberapa dekade setelah pemunculannya gerakan ini selain ditolak oleh gereja-gereja utama (Mainline Church seperti Protestan) juga ditolak oleh lembaga-lembaga keagamaan. Satu alasannya adalah Pantekosta ditanamkan dalam golongan masyarakat kelas bawah. Barrat menyebutkan tidak ada penganiayaan-penganiayaan dalam lingkup organisasi kegerakan di awal abad 20 selain yang terjadi dalam kegerakan Pantekosta ini. Meskipun dengan dilatar belakangi dengan kemiskinan ekonomi mereka telah mampu mengirimkan penginjil-penginjil Pantekosta ke seluruh dunia. Perkembangan gerakan ini tercepat di wilayah dunia ketiga (Afrika dan Asia) dibanding dengan Eropa dan Latin Amerika. Setelah perang dunia ke dua Pentakosta mulai dikenal dikalangan kelas menengah dan mulai masuk ke gereja-gereja utama.

2. Gerakan Karismatik. Pandangan umum. Selama 6 dekade (1901-1960) orang-orang Pantekosta dianggap diluar jalur kekristenan yang umum di AS. Pantekosta dicap sebagai ibadah yang "Ribut", banyak dari mereka dari golongan miskin dan tidak berpendidikan dan diluar jangkauan teologi seperti teologi Protestan. Hal-hal yang modern dan "Social Gospel" tidak dikenal didunia Pantekosta. Pada dekade tersebut baik Protestan dan Katolik sangat berhati-hati akan gerakan Pantekosta ini. Setengah dari abad 20 lalu, Pantekosta ditolak dari aliran-aliran gereja utama itu (mainline churches).

Setelah PD II situasi ini mulai berubah, Pantekosta mulai bergerak jauh dan mulai mendirikan bangunan gereja yang modern serta menarik perhatian publik. Penginjil-penginjil bercorak golongan Pantekosta seperti Oral Roberts, William Branham, Gordon Lindsay dan T.L Osborn mulai mempengaruhi publik dan gereja-gereja utama. Betapa tidak mereka memang mendasari penginjilannya dengan doktrin Pantekosta namun mereka tidak terikat dengan denominasi-denominasi gereja. Saat itu orang-orang Katolik mulai tertarik dengan penginjil T.V, Oral Roberts. Banyak pimpinan gereja Katolik dari N.Y,Chicago dan Philadelphia tertarik dengan penginjilannya Roberts.

Selain itu FGBMFI (Full Gospel Business Man Fellowship International) yang didirikan Demos Shakarian di awal tahun 50an (suatu organisasi yang juga Oral Roberts sering berkhotbah) banyak menjangkau kaum Protestan dan tidak menjadikan mereka denominasi Pantekosta. Jadi cepat atau lambat gerakan Pentakosta mulai menyebar ke gereja-gereja utama. Sebelum tahun 60an banyak pemimpin-pemimpin gereja arus utama itu yang telah berbicara dengan bahasa roh, misalnya Tommy Tyson dari Metodis, Richard Winkler (Episkopal), Harald Bredesen dari Lutheran dan beberapa lagi meskipun mereka mendapat kecaman keras dari gerejanya. Dennis Bennett lah yang pertama kali mempelopori gerakan Karismatik ini. Gerakan ini disebut juga "Neo Pentacostals" atau "New Pentacostal" suatu sebutan dari Donald Gee. Gerakan ini sama dengan Pantekosta hanya saja penekanan kepada bahasa dan karunia-karunia Roh amat kuat dan justru berkembang ke gereja-gereja arus utama.

Dennis Bennet & pemulihan gereja Episkopal. Di November 1959 Dennis Bennet seorang rektor dari St.Mark Episcopal Church di Van Nuys, California berlutut bersama-sama rekan-rekannya dan mulai berbahasa Roh. Pengalaman yang tidak dikenalnya ini telah merubah hidupnya. Di April 1960 Bennett membagi pengalamannya itu diantara rekan-rekannya di gereja Episkopal namun justru dia dapat cemoohan, "Throw out the damned tongues-speaker" begitu kata mereka. Bennet mulai resign dan berita ini diliput oleh majalah Time "Now glossolalia seems to be on its way back in US churches not only in the uninhibited Pentacostal sects, but even among the Episcopalians,....". Sejak itu Bennet mulai dijuluki pemimpin pertama dari denominasi gereja tradisional yang disebut kegerakan Neo Pantekosta (Karismatik).

Di tahun 1956 pastor pertama gereja Episkopal yang menerima baptisan Roh Kudus adalah Richard Winkler. Di tahun 1963 majalah Christianity Today melaporkan ada kira-kira dua ribuan orang Episkopal di selatan California telah berbahasa lidah. Jean Stone pemimpin Blessed Trinity Society yang menerbitkan majalah Trinity (majalah ini berorientasi baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh dengan sasaran gereja-gereja utama) melaporkan bahwa kejadian-kejadian yang dialami oleh Bennet dan kawan-kawan mempunyai perbedaan dengan klasik Pantekosta. Mereka lebih private dan tertib dalam doanya dan sedikit emosional dan mereka adalah orang-orang yang berpendidikan baik. Pada awal tahun 1960 mulailah setiap aliran Protestan seperti Baptis, Lutheran, Mennonites, Methodis dan Presbyterians menerima babtisan Roh Kudus. Disusul mulai 1967-1977 dengan kegerakan di dalam tubuh gereja-gereja Roma Katolik.

Kegerakan Karismatik dalam periode 1960-1967. Periode 1960-1967. Kegerakan Karismatik dalam periode ini juga terjadi pembabtisan Roh Kudus kepada sepasang suami istri yaitu John & Joan Baker pada tahun 1959, mereka dari gereja Episkopal. Berikut adalah kegerakan Karismatik yang melanda gereja-gereja utama (dari golongan protestan).

Gereja Lutheran. Gereja Lutheran mendasarkan ajarannya dengan basis Protestan Reformasi yaitu pembenaran oleh iman dan supremasi Alkitab. Mereka juga memegang ajaran "The Cessation Theory" yang mengajarkan bahwa tanda-tanda mujizat dalam Perjanjian Baru telah berakhir pada zaman Rasul-rasul. Larry Christenson adalah tokoh Lutheran dan pastor di Trinity Lutheran Church yang mengalami baptisan Roh Kudus di awal tahun 1960an. Kemungkinan buku The Healing Light karya Agnes Sanford yang mempengaruhi dia untuk mencari pengalaman dengan Roh Kudus tersebut. Kehadirannya di Foursquare Pentecostal Church di San Pedro dimana dia menyaksikan adanya bahasa-bahasa Roh telah "Merasuk" dalam dirinya. Saat itu ketika penginjil Wayne & Mary Westburg berdoa untuknya tidak terjadi apa-apa, namun pada malamnya ketika dia terjaga dia merasakan lidahnya berbicara dengan kalimat-kalimat lain. Baru pada 4 Agustus 1961 pada kebaktian di Foursquare berikutnya dia baru mengalami babtisan Roh Kudus. Dia menyatakan ini adalah pengalaman yang sangat indah. Selain Larry pendeta-pendeta lain dari gereja Lutheran juga mengalami hal ini seperti Erwin Prange, Herbert Mjorud, Robert Heil, Theodore Jungkuntz dan banyak lagi.

Erwin Prange bersaksi di tahun 1963 sebelum memimpin suatu kelas bahwa saat dia mau dipenuhi Roh Kudus ada semacam suara yang berkata. "Karunia ini untukmu, jangkau dan ambilah". "Saya mulai membuka mulut dan suatu bahasa-bahasa asing masuk dan tubuh saya mulai merasakannya". Ketika dia mulai mengajar di kelas itu dia berbicara kira-kira 10 menit dengan bahasa lain, baik dia dan pendengar-pendengarnya tidak mengerti akan bahasa itu. Pendeta Herbert Mjorud juga mengalami kejadian ini dengan resiko dia dituduh sesat oleh rekan-rekan pendeta lainnya.

Di tahun 1963 ALC (American Lutheran Church) membentuk sebuah komisi yang terdiri dari psikolog, ahli jiwa dan teolog-teolog Perjanjian Baru untuk mengadakan investigasi kepada orang-orang yang berglosolali dalam gerejanya (untuk diketahui bahwa pada Maret 1962 ada kira-kira 70 orang Lutheran di Washington yang telah mengalami babtisan Roh Kudus). Di San Pedro komisi ini mengadakan pemeriksaan kepada Larry dan 32 anggotanya. Meskipun mereka mengatakan dalam bentuk suatu dugaan bahwa fenomena itu adalah "Ketidakstabilan emosi" dan "Hanya singkat" . Laporan ini dipublikasikan dalam buku berjudul Psychology of Speaking in Tongues karya John Kildahl.

Pada tahun 1972 Paul Qualben seorang ahli jiwa yang terlibat dalam komisi itu menuturkan dalam sebuah seminar bahwa kedua dugaan tersebut adalah salah" dan orang-orang yang kami wawancarai itu hidup dalam kehidupan yang normal dalam gerejanya dan sekarang 10 tahun kemudian kegerakan itu masih bertumbuh". Pernyataan di tahun 1972 dan 1974 oleh A.L.C dan L.C.A (Lutheran Church in America) menujukkan segi positif tentang kegerakan ini. Di tahun 1973 telah berdiri organisasi Karismatik dari kalangan Lutheran dan tahun 1983 berdiri International Lutheteran Renewal Center dengan presidennya Larry Christenson.

Gereja Presbyterian (Reformed). Tidak seperti Luther dengan "Teori Pemberhentian" (Cessation Theory) bahwa manisfestasi Roh Kudus sudah berakhir, Calvin justru banyak menekankan pekerjaan-pekerjaan Roh Kudus. Dia tidak menentang akan kehadiran karunia-karunia Roh tersebut bahkan dia disebut "Teolog Roh Kudus" pada zamannya. Hanya sayangnya ajarannya ini mulai dipadamkan oleh dua teolog reformed sendiri yaitu B.B.Warfield dan Charles Hodge. Mereka pada tahun 1918 menyangkal akan adanya mujizat-mujizat Roh Kudus. Ini dipaparkan dalam buku Counterfeit Miracle karya Warfield. Buku lain karangan Ronald Knox dari kalangan mereka berjudul Enthusiasm juga mengatakan bahwa fenomena tersebut adalah gejala emosional. Meskipun demikian banyak pendeta-pendeta AS menjadi pionir kegerakan Roh Kudus ini dalam gereja mereka.

Awal kegerakan ini sebenarnya sudah dimulai di tahun 1800 lewat pelayanan tiga pemimpin gereja Presbyterian : James Gready, William Hodges dan John Rankin. Laporan mengungkapkan terjadinya "Slain In The Spirit" dan teriakan-teriakan pengampunan dalam gereja Red River Presbyterian. Bahkan beberapa pendeta "Dance Before The Lord". Bagi mereka kejadian ini bukannya baru karena di tahun 1700 an Jonathan Edwards seorang Calvinis terkenal juga telah mengalami kejadian ini dalam pelayanannya. Meskipun Jonathan merupakan pelayan gereja Congregational (gerakan penyucian) namun dia tetap berpijak dalam ajaran Calvin dari Presbyterian. Gereja Presbyterian sebenarnya terlibat dalam gerakan penyucian di AS diantara dan diakhir tahun 1800an misalnya tokoh seperti William Boardman dan Charles Finney. Finney adalah mantan Presbyterian yang menjadi penginjil kesohor dalam urapan Roh Kudus. Diikuti oleh Edward Irving yang "membawa" masuk karunia-karunia Roh Kudus kedalam gereja Regents Square Presbyterian di London tahun 1831. Juga A.B.Simpson juga seorang Presbyterian dari Canada yang percaya akan kesembuhan illahi lewat doa.

Setelah Perang Dunia ke dua gerakan ini menjadi bagian lagi dalam tubuh gereja Presbyterian di AS. Pendeta pertama yang mengalami bahasa Roh dan kesembuhan adalah James Brown pendeta dari gereja Upper Octorara Presbyterian di Pennsylvania US. Brown tadinya mau keluar dari Presbyterian sejak kejadian tersebut namun David du Plessis menasehatkan dia untuk tetap tinggal di gerejanya dan adakan pemulihan. Brown melakukannya dan jadilah setiap hari Sabtu (hari Minggu mereka tetap dengan tradisi Presbyterian) dalam gereja itu Brown mengadakan perubahan dalam ibadahnya selama 20 tahun tanpa friksi. Ibadah hari Sabtu itu menarik sampai ratusan orang/minggu dan banyak dari mereka dibabtis oleh Roh Kudus. Brown sendiri bermain tamborin dan pujian penuh sukacita yang luar biasa. Di tahun 1977 dia berhenti dari tugas pelayanannya sebagai pendeta di gereja itu setelah 37 tahun melayani. Brown telah mengadakan pemulihan yang luar biasa dalam gerejanya. Kesaksian lain juga datang dari Pdt. Robert Whitaker dari Chandler Presbyterian Church di Arizona.

Cerita Pdt. Whitaker sangat menarik. Di tahun 1962 Pdt. Whitaker (dari gereja Presbyterian Arizona) dibabtis Roh Kudus, tahun 1967 sejumlah anggotanya menerima karunia bahasa Roh. Dan sama seperti James Brown ibadah hari minggu tetap dengan ibadah yang lazim dari Presbyterian namun di hari-hari biasa baru ciri khas Pantekosta diterapkan. Di tahun 1967, komisi gereja mengadakan investigasi atas Whitaker dan meminta sumpah untuk tidak lagi percaya akan fenomena tersebut namun Whitaker menolaknya. Terjadilah persidangan akan "kasus" Whitaker ini di lingkungan gereja Presbyterian. Whitaker tidak sendiri dia didukung oleh Pdt. Bradford dan John MacKay (John adalah presiden sekolah teologi Princeton). Tahun 1968 Whitaker beruntung dalam kasus ini.

Kegerakan Karismatik dalam tubuh gereja Presbyterian (Reformed) ini juga dipengaruhi oleh Rodman Williams, seorang dosen teologi di Austin Presbyterian seminary. Dia dibabtis Roh Kudus ketika menjadi profesor di sekolah itu. Dia menjadi penulis buku Renewal Theology. Organisasi Presbyterian yang bercorak Karismatik adalah Presbyterian Charismatic Communion dan pada tahun 1984 diganti namanya menjadi Presbyterian and Reformed Renewal Ministries International (PRRM). Di tahun 1985 sekitar 2500 sampai 3000 anggotanya sudah dibabtis Roh Kudus. Sudah banyak gereja Presbyterian yang telah mengalami jamahan Roh Kudus. Gereja Metodis Dalam berbagai hal gereja Metodis bisa disebutkan "Ibu" buat ratusan anggota gerakan Penyucian dan Pantekosta (Charles Parham dari Metodis juga). Didirikan sekitar abad 18 oleh John Wesley sebagian suatu pemulihan di tubuh gereja Church of England meskipun Wesley hingga matinya adalah seorang Anglikan. Nama Metodis diberikan oleh Wasley di Holy Club Oxford University di tahun 1720an yg menekankan aspek doa, pengakuan, penyucian dan persekutuan di lingkungan mahasiswa universitas tersebut, ayat dasarnya adalah Ibrani 12:14.

Dalam gerakan penyuciannya Wesley mengembangkan teori "Second Blessing" yaitu pengalaman kedua setelah pengalaman pertobatan. Pada zaman lampau fenomena seperti "Holly Laugh" ,"Holly Dance" dan "Lain in the Spirit" dalam kegerakan gereja Metodis bahkan fenomena tersebut menandakan mereka dipanggil menjadi bishop. Pada abad ke 20 gereja utama Metodis menolak kegerakan penyucian tersebut, sejak itu Metodis banyak menekankan aspek pendidikan dan sosial. Adalah Tommy Tyson pastor gereja Metodis yang mengembalikan semangat kekuatan Roh Kudus kedalam gerejanya. Di tahun 1952 dia dibabtis dengan Roh Kudus dan mengalami bahasa Roh. Ketika di menceritakan pengalaman tersebut dia dipermalukan. Di tahun 1954 dia banyak melayani di kalangan Pantekosta. Lewat pelayanannya itu "Camps Farthest Out" dia banyak menyebarkan gerakan Karismatik. Dan pada tahun 1960 dia melayani di kampus Oral Roberts Univ.

Oral Roberts juga adalah tokoh yang banyak mempengaruhi gereja utama seperti Metodis bahka gereja Metodis membiayai pelayananya lewat T.V. Ditahun 1968 Roberts yang lahir sebagai orang Pantekosta bergabung dengan United Metodist Church. Dia diterima sebagai penghotbah lokal walaupun dia tetap memegang ajaran Pentakostanya. Setelah ini kampusnya Oral Roberts Univ. menjadi pusat training bagi pelayan-pelayan Metodis. Organisasi Karismatik untuk Metodis adalah United Methodist Renewal Fellowship berdiri tahun 1977 dan sekitar 1,7 juta orang Metodis America adalah penganut gerakan Karismatik dan mereka tetap pada gereja utamanya. Gereja-gereja Utama lainnya. Gerakan Karismatik terus melanda "Mainline Church" seperti gereja Baptis, tokoh gerakan itu adalah John Osteen dan Pat Robertson (keduanya dari gereja Baptis) dan telah mengalami pengalaman baptisan Roh Kudus. Di gereja Mennonit dipelopori oleh Gerald Derstine dan di gereja Ortodoks (gereja Timur seperti di Russia) dipelopori oleh Eusebius Stephanou.

Gereja Katolik. Sabtu 18 February 1967 adalah hari bersejarah dimana Allah Roh Kudus melawat gereja Roma Katolik. Sore hari itu di retret kelompok Roma Katolik di kawasan Pittsburgh, Roh Kudus tercurah. Sebenarnya tidak ada rencana mengadakan retret itu hanya sekedar perayaan ulang tahun buat seorang di akhir Minggu. Tapi dalam banyak cara Allah memimpin 25 orang Katolik tersebut (kebanyakan mahasiswa Duquesne Univ) mengalami kuasa Roh Kudus, sebagian tertawa, berteriak dan berbicara bahasa-bahasa Roh. Mereka berdoa dan bernyanyi sampai pagi harinya. Itulah kelahiran gerakan Karismatik di kalangan gereja Roma Katolik.

Patty Gallagher Mansfield satu dari sekian mahasiwa tersebut bersaksi: "Malam itu Allah membawa sebuah kelompok ke kapel universitas. Para guru kemudian menumpangkan tangan ke murid-murid tetapi banyak diantara kami mengalami baptisan Roh Kudus sambil berlutut. Beberapa dari kita berbicara dalam bahasa lidah, ada yang bernubuat dan mendapat hikmat. Tetapi karunia yang sungguh besar adalah kasih, kami diikat oleh kasih".

Murid yang lain David Mangan menuturkan bahwa perasaan kasih itu tidak dapat digambarkan. Kejadian pertama kepenuhan Roh Kudus di universitas Duquesne adalah yang pertama buat gereja Katolik. Kejadian itu disebut "Duquesne Weekend" dan merupakan ketajaman akan gerakan Karismatik, mulai tahun 1967 dan dimulai dari kalangan mahasiswa. Gerakan ini meluas ke universitas Notre Dame dan universitas State Michigan. Sebenarnya gerakan yang terjadi ini merupakan jawaban doa dari Paus Leo XXIII pada tahun 1897 dimana dia menulis suatu surat berjudul On the Holly Spirit. Selanjutnya perkembangan gerakan Karismatik di kalangan gereja Katolik ini diperluas lagi ke seluruh dunia berkat dukungan Demos Shakarian dari FGBMFI.

Kardinal Katolik yang juga mendukung gerakan ini seperti Suenens dan Paul Cordes. Merekalah yang memasukan gerakan Katolik Karismatik ini kedalam struktur gereja Vatikan. Dibanding dengan Protestan, amat mudah pemimpin-pemimpin Katolik menerima bahasa-bahasa Roh berikut karunia-karunianya.

Karakteristik Gerakan Katolik Karismatik (sama dengan gerakan Pentakosta):
1 Fokus kepada Yesus
2 Pujian
3 Kecintaan pada Alkitab
4 Komunikasi dengan Allah
5 Penginjilan
6 Kewaspadaan kepada kejahatan.
7 Karunia-karunia Roh
8 Harapan akhir zaman
9 Kuasa Roh Kudus.


3. Gelombang ke Tiga (Third Wave movement). Gelombang Third Wave merupakan suatu gerakan yang serupa dengan Pentakosta atau Karismatik namun bukan bagian dari kedua gerakan tersebut. Gelombang ini bercirikan :

1. Sebagian percaya bahwa baptisan Roh Kudus terjadi saat pertobatan. Ini jelas berbeda dengan Pantekosta ataupun Karismatik. (penulis: jelas ini berbeda dengan GPdI).

2.Penggandaan baptisan Roh Kudus terus berlanjut setelah kelahiran baru.

3.Bahasa lidah bukan merupakan bukti awal pengalaman rohani tapi merupakan karunia untuk beberapa pelayanan dan doa.

4.Konteks pelayanan adalah seluruh anggota tubuh Kristus dari pada kegiatan individu.

5.Menekankan tanda mujizat dan kuasa.

6.Ada "Teritorial Spirit" yang secara specifik bisa mendominasi keluarga, tetangga, kota-kota dan negara-negara.

7.Kejadian-kejadian traumatik dalam hidup sekarang atau masa lalu dapat pula dipengaruhi oleh setan.

Kegerakan ini mulai populer di tahun 1980 oleh Peter Wagner dan John Wimber, bisa disebut juga sebagai "Neo Charismatic atau Neo Apostolic". Wagner terkenal sebagai pakar pertumbuhan gereja dan merupakan koordinator A.D 2000 United Prayer Track dan Internatioanl Spiritual Warfare. Di tahun 1999 bersama George Otis dan Ted Haggard mendirikan World Prayer Center di Spring Colorado. Dia juga adalah dosen di Seminary Fuller. Sedangkan John Wimber (alm) adalah pemimpin Vineyard Christian Fellowship dan Vineyard Ministries International. Wimber pernah mengajar mata kuliah Sign & Wonder di Fuller Seminary.

Dalam perkembangannya gerakan ini banyak menekankan tanda-tanda mujizat, peperangan rohani (Spiritual Warfare) dan pemetaan rohani (Spiritual Mapping). Ini didasari oleh pengajaran Wimber (dari gereja Vineyard) dan Wagner soal "Sign & Wonder". Berikut sekilas tentang spiritual warfare (peperangan dengan setan-setan, dikutip dari International Dictionary dan studi lebih lengkap bisa dari buku-buku karangan Peter Wagner). Mereka membagi dalam dua bagian :

A.Ground level Warfare. Ini mencakup:

a. Dalam keluarga dan anak-anak.

b. Okult spirit seperti dalam tubuh New Age dan Freemansory.

c. Dalam bentuk kemarahan, ketakutan, hawa nafsu, kematian dan homoseks.

B.Cosmic level Warfare. Ini mencakup:

a.teritorial spirit seperti, daerah/wilayah dan negara seperti yang disebutkan dalam Dan 10:13,21 yaitu "Pangeran dari Persia" dan "Pangeran dari Yunani".

b.Institutional spirit mencakup badan-badan pemerintahan, gereja, pendidikan, agama-agama non Kristen dan bidat-bidat. Pemetaan rohani (Spiritual Mapping) merupakan perwujudan dari Cosmic level Warfare ini bisa mencakup sampai ke lingkungan seperti pohon-pohon, air, peralatan-peralatan rumah, musik dan objek-objek lain semacam itu yang mana setan dapat menguasainya.

Ciri-ciri Neo Karismatik dapat dilihat dalam group-group seperti New Apostolic Churches, The Legion of Mary (suatu gereja Katolik independen dari Kenya), The Kimbanguist Church dari Zaire, True Jesus Church dari Cina dan Celestial Church of Christ dari Ghana. Dalam perkembangannya sekarang gerakan ini maju pesat walaupun banyak kritik-kritik yang dijatuhkan terhadap gerakan ini.(END,Januari 2004).***



BACK

Kejatuhan dan kebangkitan Gereja

Kejatuhan dan kebangkitan Gereja

Gereja mula-mula lahir pada tahun 30 Masehi di kota Yerusalem (Kisah 2:1-41). Dengan kuasa Roh Kudus mereka menjangkau seluruh lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia dengan Injil, baik melalui perkataan, perbuatan maupun tanda-tanda mujizat yang menyertai mereka (Roma 15:18-19). Walaupun gereja mula-mula itu tidak sempurna, kehidupan mereka telah berhasil menjadi saksi bagi Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat yang hidup dalam kegelapan pada masa itu. Dan meskipun mengalami penganiayaan yang hebat, gereja bertumbuh dengan pesat.
Secara ringkas, ciri gereja mula-mula antara lain;
1. Menempatkan Yesus Kristus sebagai Tuhan atau Raja dalam hidup pribadi mereka.
2. Hidup dalam persatuan dan saling melayani dalam kasih.
3. Memberitakan Injil secara berani disertai dengan kuasa Roh Kudus.
4. Menjunjung tinggi Kitab Suci sebagai kebenaran yang tertinggi.
5. Kepemimpinan yang bersifat jamak dengan Tuhan Yesus sebagai kepala Gereja.

SEJARAH KEJATUHAN GEREJA
Dengan hilangnya pelayanan apostolik (rasuli) dalam gereja, pada akhir abad kedua timbullah berbagai masalah internal dalam gereja, baik masalah kepemimpinan, doktrinal maupun dalam kesatuan antar jemaat lokal. Namun karena kasih karunia Allah, gereja yang mulai pudar kemuliaannya itu dimungkinkan untuk tetap bertumbuh di dalam masa aniaya yang semakin memuncak pada masa-masa itu.
Pada tahun 313 Masehi, Kaisar Konstantin dari Kerajaan Romawi mengeluarkan dekrit (keputusan) yang memberikan toleransi kepada kekristenan. Sejak saat itu penganiayaan terhadap gereja berhenti. Namun justru sejak saat itulah gereja mengalami kemerosotan yang luar biasa. Kemudian selama 12 (dua belas) abad gereja hidup dalam kegelapan. Kekeringan rohanipun melanda gereja, sama seperti yang pernah dialami oleh umat Israel sewaktu mereka meninggalkan Tuhan.

Kemerosotan rohani yang tajam justru dialami oleh gereja sesudah pemerintah Romawi mengharuskan semua orang memeluk agama Kristen pada tahun 393 Masehi. Sejak saat itu gereja dipenuhi oleh orang-orang Kristen KTP (Kristen Tanpa Pertobatan). Sebelum itu hanya orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus yang berani melibatkan diri dalam kekristenan, namun setelah tahun 393 Masehi semua orang dapat memeluk agama Kristen, sekalipun mereka belum bertobat sama sekali.
Walaupun disana-sini muncul tokoh-tokoh gereja yang tetap konsisten dalam memelihara kemurniaan iman, selama 12 abad (dari awal abad ke 4 sampai abad ke 16) gereja pada umumnya hidup di dalam kegelapan. Kemerosotan yang terjadi di dalam gereja pada masa itu, antara lain dalam hal ;
1. Doktrin tentang Kitab Suci
Tradisi-tradisi di dalam gereja, seperti kebiasaan berdoa untuk arwah orang yang sudah meninggal, walaupun tidak terdapat atau bahkan bertentangan dengan Alkitab, dianggap memiliki kebenaran yang sejajar dengan Alkitab. Dengan kata lain, Alkitab tidak lagi diterima sebagai otoritas kebenaran tertinggi.

2. Doktrin keselamatan
Keselamatan tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang diperoleh karena kasih karunia (anugrah) oleh iman, namun sebagai hasil usaha manusia sendiri, yaitu melalui (amal) perbuatan yang baik. Bahkan karena memerlukan banyak uang untuk pembangunan gedung gereja Santo Petrus di kota Roma, melalui hukum indulgensi (pengampunan dosa) gereja mengajarkan bahwa orang dapat ?membeli? keselamatan bagi dirinya, bahkan juga untuk orang lain yang sudah mati, dengan membayar sejumlah uang.

3. Doktrin kepemimpinan gereja
Masuknya kekuasaan duniawi ke dalam gereja merubah pola kepemimpinan di dalam gereja. Sejak akhir abad ke 5 pucuk pimpinan gereja di kota Roma diterima sebagai pemimpin tertinggi dari gereja di seluruh dunia. Bahkan keputusan-keputusan pemimpin tertinggi itu dinyatakan tidak mungkin keliru. Dengan kata lain, kepemimpinan jamak dalam gereja berubah menjadi kepemimpinan tunggal yang berjenjang seperti sebuah piramid.

4. Doktrin tentang orang-orang kudus
Sebagai pengganti patung dewa-dewi yang disembah oleh bangsa Romawi, ditempatkan patung-patung orang kudus di dalam gedung gereja sebagai bagian dari ibadah. Sebaliknya dari pengajaran Alkitab bahwa semua orang percaya adalah orang kudus (I Kor 1:2), hanya orang-orang tertentu yang sudah mati saja yang diagungkan sebagai orang kudus. Orang-orang kudus ini kemudian dipercayai sebagai pelindung dan perantara dalam doa. Dengan demikian, tradisi ibadah kekafiran telah menyusup masuk ke dalam gereja.

SEJARAH PEMULIHAN GEREJA
Tuhan itu setia, bahkan di saat umat-Nya murtadpun Ia tetap setia (II Tim 2:13) Walaupun mereka sudah meninggalkan-Nya, Tuhan tetap berjanji untuk memulihkan mereka kembali. Itu sebabnya, di saat gereja sedang berada dalam kegelapan, selalu saja ada sejumlah kecil hamba-hamba Tuhan yang berusaha memelihara kemurnian iman dan mencegah kemerosotan gereja yang lebih jauh lagi. Beberapa di antara mereka adalah Agustinus (354-430), Bernard dari Clairvaux (1090-1153), Fransiskus dari Asisi (1181-1228), John Wycliffe (1330-1384), John Hus (1372-1415), dan Savonarola (1452-1498)
Di dalam Alkitab kita mengenal dua tindakan pemulihan yang Tuhan kerjakan, yang biasa kita istilahkan sebagai ;
1. Pembaharuan rohani (Renewal)
2. Kebangkitan rohani (Revival)

Pembaharuan Rohani (Renewal) adalah tindakan Tuhan dalam kedaulatan-Nya untuk membawa umat Tuhan kembali kepada diri-Nya. Inilah yang terjadi berulangkali di sepanjang sejarah bangsa Israel dan yang terjadi juga di dalam gereja-Nya. Pada awal abad ke 16, tiba waktunya bagi Tuhan untuk memulihkan gereja-Nya. Sebagaimana dicatat dalam Alkitab, Tuhan selalu memulai rencana-Nya dengan memanggil dan memilih orang-orang yang akan dipakai untuk mewujudkan rencana-Nya.

Sedangkan ?Kebangkitan Rohani? (Revival) adalah tindakan Tuhan dalam kedaulatan-Nya untuk membawa orang-orang yang belum mengenal-Nya agar datang kepada keselamatan, melalui pengenalan akan Yesus Kristus. Kebangkitan rohani (revival) yang besar sudah pernah terjadi dalam sejarah gereja. Kebangkitan rohani tersebut telah membawa orang datang kepada pertobatan, sehingga terjadi perubahan besar dalam kondisi sosial masyarakat tempat kebangkitan rohani itu terjadi. Misalnya yang terjadi di Welsh pada tahun 1904.
Secara singkat, pemulihan dalam sejarah gereja terjadi sebagai berikut:

1. Tahun 1517, Martin Luther dipakai oleh Allah untuk memulihkan dasar yang terpenting dalam seluruh doktrin gerja yaitu pembenaran oleh iman bukan oleh amal perbuatan. Menurut Martin Luther, keselamatan manusia adalah semata-mata hanya karena kasih karunia (sola gratia), sedangkan manusia tidak dapat berbuat apapun selain percaya (sola fide) untuk mendapat keselamatan itu. Dan Alkitab adalah ukuran iman yang satu-satunya dan mutlak (sola scriptura)

2. Tahun 1524, gerakan Anabaptis menolak baptisan untuk bayi dan hanya mempercayai baptisan bagi orang dewasa saja dengan cara diselamkan ke dalam air.

3. Abad ke 17, gerakan Pietisme (kesalehan) adalah suatu kehidupan rohani yang dinamis dengan Kristus, berdasarkan kebenaran dalam hidup dan juga pengajaran mulai dipulihkan.

4. Tahun 1750, di bawah pelayanan John Wesley mulai dipulihkannya suatu penyucian dan kekudusan hidup. (Ibr 12:14)

5. Abad ke 19, melalui A.B. Simpson mulai dipulihkan pelayanan kesembuhan Ilahi.

6. Tahun 1901, melalui gerakan Pentakosta mulai dialami kembali Baptisan Roh Kudus dan karunia bahasa lidah oleh umat Allah di negara ? negara bagian Amerika Serikat. Di bawah pimpinan Charles Parham, seorang gadis yang bernama Agnes Osman berkata-kata dalam bahasa asing (bahasa Cina) selama tiga hari. Kejadian ini merupakan permulaan dari Gerakan Pantekosta Modern di Amerika Serikat.

7. Tahun 1906 Karunia Roh Kudus mulai dipulihkan di kebangunan Rohani jalan Azusa 312, Los Angles, USA. Di bawah pimpinan Willian Seymour (murid Charles Parham) orang-orang berkumpul dan berdoa semalam suntuk. Mereka datang untuk mencari keselamatan, penyucian, baptisan Roh Kudus, dan kesembuhan Ilahi.

8. Tahun 1948, melalui gerakan ?Hujan Akhir? doktrin penumpangan tangan atas jemaat mulai dipulihkan. Pujian dan penyembahan yang spontan dipulihkan dengan nyanyian lagu-lagu rohani dalam kebangunan rohani di Kanada. Tokoh utama dalam gerakan ini, antara lain William Branham.

9. Tahun 1960, muncul gerakan Kharismatik (Pantekosta baru). Gerakan ini menekankan pada karunia-karunia Roh Kudus. Gerakan Kharismatik ini dimotori oleh Demos Shakarian pendiri The Full Gospel Business Men?s Fellowship International (FGBMFI). Persekutuan FGBMFI ini tidak mempunyai ikatan formal dengan gereja Pantekosta mana pun. Dan sebagian besar yang mereka jaring adalah bisnismen dari luar kalangan Pantekosta. Karena yang hadir di dalam pertemuan ini para pengusaha, maka para pembicara yang diundang adalah para Pendeta yang terkenal.

Gerakan pembaharuan rohani yang dikerjakan Tuhan di dalam gereja-Nya belum juga berakhir, Tuhan ingin agar gereja kembali kepada panggilannya yang semula, seperti yang nampak di dalam gereja mula-mula. Sebab melalui gereja yang dipulihkan ini Ia hendak membawa bangsa-bangsa datang kepadaNya. Hingga kini Allah terus memulihkan gerejaNya sampai akhirnya gereja akan mencapai kesempurnaan, antara lain; melalui pemulihan di bidang pengajaran, pemulihan di bidang penginjilan, pemulihan di bidang penggembalaan, pemulihan di bidang pujian dan penyembahan, serta pemulihan di bidang kepemimpinan gereja, yaitu pemulihan lima jawatan pelayanan.

OLEH :Tony Budianto, S.H.

bedes:
Darisekian banyak Gereja yang berdiri semenjak masa pemulihan, apakah hanya ada satu gereja yang benar ataukah beberapa gereja yang benar atau semua gereja menjadi benar.

Full Gospel Business Men's Fellowship International (FGBMFI )

Pada pertemuan pertama FGBMFI di Clifton’s Cafetaria Broadway and Seventh di Los Angeles (1951), Oral Roberts berdoa: ”Tuhan Yesus, biarlah Fellowship ini bertumbuh dalam kekuatan-Mu saja. Kirim mereka berbaris dalam kuasa-Mu melintasi bangsa-bangsa dan melintasi dunia. Sekarang kami melihat kelompok kecil di kafetaria ini, tapi Engkau melihat ribuan chapter!”

Riak kecil di kafetaria itu kini menjelma menjadi sebuah gelombang raksasa yang melanda seluruh belahan bumi. Pada meeting pertama itu, Demos Shakarian sebenarnya mengharapkan kehadiran sekitar 300 sampai 400 orang. Ternyata, hanya datang 18 orang. Namun, sejarah telah mencatat bagaimana FGBMFI tumbuh menjadi sebuah masterpiece pelayanan kaum awam Kristen berkelas dunia.

Perkembangan yang terjadi jauh melebihi ”The Dream of Thousand” yang dulu dilontarkan Oral Roberts pada tahun 1951 itu. Pada pertengahan tahun 1960, FGBMFI telah mempunyai 300 chapter dengan 100.000 member. Tahun 1972 berkembang menjadi 300.000 member. Pada tahun 1988, FGBMFI berkembang di 87 negara dengan total 3.000 chapter. Kini, membengkak menjadi 5.000 chapter dengan lebih dari satu juta member tersebar di 160 negara.

Hanya dalam tempo 10 tahun (1951-1961), FGBMFI yang berpusat di AS itu telah menanam chapter-chapter baru di luar negeri: Johanesburg, Afrika Selatan, Toronto, Kalkuta, Mexico, London, Hongkong, Singapura, Jerman, Kuba, dan lain-lain. Di Kuba, Fidel Castro sempat berkata kepada Demos Shakarian: “I like what your men are doing!” (VOICE, Vol 41 No 10, Oktober 1993, hal 8). Sukses penyebaran visi dan gerakan FGBMFI di Eropa dimulai pada tahun 1965. Waktu itu tim airlift FGBMFI melakukan safari keliling Wales, Irlandia, Skotlandia, Swedia, Itali, Belanda, Perancis, dan Spanyol.

Kemunculan FGBMFI di Indonesia juga terjadi dalam dasawarsa pertama itu. Pada tahun 1966, dr. Laksamana dan Tanuwarta merintis pelayanan FGBMFI di Bandung. Pada tahun 1968, meskipun tetap berdomisili di AS, James Ford ditetapkan sebagai Field Representative untuk wilayah Indonesia. Setahun berikutnya, tim airlift dari AS mengadakan KKR di Bandung, Jakarta, dan beberapa kota lain.

Pada awalnya, pusat kegiatan FGBMFI Indonesia bertempat di gedung Lembaga Administrasi Negara (Press Club) di jalan Veteran, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Kemudian, dipindahkan di gedung Yayasan Immanuel yang berada di jalan Pegangsaan Timur 17, Cikini. Pada tahun 1981 lahir Surabaya Chapter yang menjadi pemicu lahirnya chapter-chapter baru di kawasan timur Indonesia. Pada tahun 1982 lahir Pekanbaru Chapter dan Medan Chapter yang menyemarakkan tumbuhnya chapter-chapter baru di kawasan barat Indonesia.

Gelombang gerakan pelayanan FGBMFI yang melanda nusantara menyedot perhatian dunia. Pada tahun 1992, Richard Shakarian (International President) dan John Carette (Executive President) menghandiri Konvensi Nasional FGBMFI IX di Jakarta. Pada tahun 2005, FGBMFI Indonesia mencatat sejarah dengan menggelar “Asian-African Convention”. Perhelatan akbar dengan tajuk “Be a New Creation to Bless the Nations:” itu dihadiri oleh Richard Shakarian dan banyak utusan dari negara-negara Asia dan Afrika.

Copyright © 2008 Indonesia Christian Society

The Full Gospel Business Men’s Fellowship International


The Full Gospel Business Men’s Fellowship International is an organization sovereignly ordained by God. From its humble beginnings - one small chapter in Los Angeles, California 1951 - it was thrust into global ministry by prophetic visions and prophecy. The Fellowship’s story graphically depicts man’s plans falling short of the mark, but God’s plan succeeding. The complete story is in the classic inspirational book, The Happiest People on Earth, by Demos Shakarian, the California dairyman who is the Fellowship’s founder. The book is co-authored by the celebrated Christian writers John and Elizabeth Sherrill.

Today the Fellowship operates in approximately 150 countries. Thousands of chapters hold meetings in small hamlets, farm towns, outlying suburbs and urban power centers. Breakfast, lunch and dinner, these meetings are a time of fellowship, outreach and personal ministry.

But the backbone of the fellowship is its men - men who have a vision inspired by God to reach out beyond their personal lives - to help others find the reality of the Spirit-filled walk with Christ - ten of thousands of men putting God first and letting their lights shine to the world - men who join the Fellowship and participate in the ministry outreaches available, making a commitment to spread the Good News of Christ through the effective and powerful worldwide ministries of the Full Gospel Business Men’s Fellowship International.
Our Vision Statement

Our vision for the fellowship is based upon a series of prophetic messages given over a period of time and confirmed by a literal vision from God.

In the vision, untold masses of men from every continent and nation, of all races and diverse culture and custom, once spiritually dead, are now alive. Delivered and set free, they are filled with power of God’s Holy Spirit, faces radiant with glory, hands raised and voice lifting their praises to heaven.

We see a vast global movement of laymen being used mightily by God to bring in this last great harvest through the outpouring of God’s Holy Spirit before the return of our Lord Jesus Christ.
Our Mission Statement
To reach men in all nations for Jesus Christ
To call men back to God.
To help believers to be baptized in the Holy Spirit and to grow spiritually.
To train and equip men to fulfill the Great Commission
To provide an opportunity for Christian fellowship
To bring greater unity among all people in the body of Christ.
Our Doctrinal Statement
We believe in one God, Maker of all things and being in Trinity of Father, Son and the Holy Spirit.
We believe that the Son of God, Jesus Christ, became incarnate, was begotten by the Holy Spirit, born of the Virgin Mary, and is true God and true man.
We believe in the resurrection of the dead, the eternal happiness of the saved, and the eternal punishment of the lost.
We believe in personal salvation of the believers through the shed blood of Christ.
We believe in the Bible, in its entirety, to be the inspired Word of God and the only infallible rule of faith and conduct.
We believe in divine healing, through our faith, and healing is included in the Atonement.
We believe in the Christian’s hope - the imminent, personal return of the Lord Jesus Christ.
We believe in intensive world evangelization and missionary work in accordance with the Great Commission, with signs following.
We believe in the baptism in the Holy Spirit, accompanied by the initial physical sign of speaking with other tongues as the Spirit of God gives utterance (Acts 2:4) from the new birth, and in the nine gifts of the Spirit, listed in 1 Corinthians 12, as now available to believers.
We believe in sanctification by the blood of Christ, in personal holiness of the heart and life.
The Vision

By Demos Shakarian

In 1952 God told me to start a Fellowship for men who would meet in small and large groups in cafes, hotels and public places to fellowship and minister spiritually one to another. To attempt to accomplish this, we organized a group and met in Clifton’s Cafeteria in Los Angeles every week for a whole year. Interest and attendance was so small that it appeared that we would be forced to give up a ministry I was sure God called me to do. God was so good and gave me a vision in my home while I was on my knees the night before I was going to stop the meetings.

God said to me, “I am the One, Demos, who alone can open doors. I am the One who removes the beam from unseeing eyes.”

“I understand, Lord Jesus. And I thank You.”

“And now I will let you see, indeed.”

With that the Lord allowed me to rise to my knees. Lifted me almost, as though the power which had pressed me to the floor was now bearing me up. And at that moment, Rose, my wife came into the living room. She stepped around me and walked over to the Hammond organ in the corner. She said not a word, but sat down and began to play.

As the music swelled through the living room, the atmosphere grew brighter. To my amazement the ceiling seemed to have disappeared. The cream-colored plaster, the ceiling light - they were simply gone, and instead I found myself staring up into the sky, a daytime sky although it must have been pitch dark. How long she played while I gazed into the infinite distance I don’t know. But all at once she stopped, fingers still resting on the keys, and began to pray aloud in tongues. She paused a moment, then spoke in English:

“My son. I knew you before you were born. I have guided you every step of the way. Now I am going to show you the purpose of your life.”

It was the Spirit’s gifts of tongues and interpretation, given together. And as she spoke a remarkable thing began to happen. Although I was on my knees, I felt as if I were rising. Leaving my body. Moving up, away from the living room. Down below me I could see the rooftops of Downey, California. There were the San Bernardino Mountains, and over there the coast of the Pacific Ocean. Now I was high above the earth, able to see from the west to the east.

Whether the world was turning, or whether I was traveling around it, I do not know. But now beneath me the continent of South America. Then Africa. Europe. Asia. I could see people on the earth - millions and millions of them standing shoulder to shoulder. Then, just as a camera can zoom in at a football game to show first the stadium, then the players, then the very laces on the football, my vision seemed to move in on the millions of men, I could see tiny details of thousands and thousands of faces. Everywhere it was the same.. Brown faces, black faces, white faces - every one rigid, wretched, every one locked in his own private death.

“Lord!” I cried. “What is the matter with them? Lord, help them!”

Afterward Rose told me that I said nothing. But in the vision it seemed to me that I wept and pleaded aloud.

Suddenly Rose began to speak. Humanly speaking, of Course, she had no way of knowing that I was seeing anything at all. But what she said was:

“My son, what you see next is going to happen soon.”

The earth was turning - or I was moving around it - a second time. Below me again were millions upon millions of men. But what a difference! This time heads were raised. Eyes shone with joy. Hands were lifted towards heaven. These men who had been isolated, each in his prison of self were linked in a community of love and adoration. Asia. Africa. America - everywhere death had turned to life. And then the vision was over. Today...

THE VISION IS IN THE PROCESS OF FULFILLMENT.

There are many thousands of chapters meeting in over a hundred countries ministering one to another, but the greatest harvest is yet to come. You can be a part of it...
FGBMFI - Who We Are

By Richard Shakarian
International President

The largest network of Christian businessmen in the world.

From every part of the world - 160 nations.

Every race, color, culture and almost every language - we include:
Kings, Presidents, Prime Ministers, former Presidents, Senators, Members of Parliament, Generals, Judges, Captains of Industry, businessmen, executives professionals, sales and office workers, factory workers, educators and young people just getting started.

Our mission is:
“Fellowship And Destiny With God And Man”

We commit ourselves to:
Personal and Business, Excellence - Honesty - Integrity

To our Lord, our families, and our Fellowship brothers we pledge:
Transparency - Accountability - Faithfulness. These are our core values.

We are relevant to today’s World, to a new wave of people looking for values in today’s World.
Our History
A PROPHECY FULFILLED

THIS STORY begins in Old Russia, more than a hundred years ago, when the Czars still reigned in Saint Petersburg. There was a mighty outpouring of the Holy Spirit in much the same pattern as on the Day of Pentecost in Jerusalem. The nation rejected this visitation of God even as the Jewish nation rejected the similar visitation many centuries before. We believe these rejections of the Holy Spirit and Jesus Christ are reasons that Jerusalem has been trodden down by the Gentiles for nineteen centuries and that Russia is the only nation on earth that officially denies the existence of God.

In 1855, an eleven-year-old Russian boy who lived in Armenia received a wonderful, supernatural visitation. For seven days and seven nights he was under the power of God writing prophecy of things to come. He neither ate, drank nor slept during the seven days and seven nights. Although he was an illiterate boy, he wrote in beautiful handwriting and drew pictures and maps and charts. He foretold that peace would be taken from the earth and that Armenia would be overrun by the Turks and that the Armenian Christians would be massacred unless they went to a land across the ocean, which the pictures and charts and maps showed to be America. God promised to bless and prosper everyone who would heed His warning and go to the country where they would be free from persecution.

As is the case with most prophecy, the warning had no meaning at the time for it was not until twenty-five years after the Pentecostal outpouring in Russia that the same experience came to Armenia. Nevertheless, the Russian boy’s prophecy was carefully preserved, awaiting such a time as its full meaning would be revealed by God.

Among the first to receive the Baptism in the Holy Spirit in Armenia was the family of Demos Shakarian, Senior, Presbyterians. The father of Demos, however, refused to accept this manifestation as being from God, although he joined with the other Pentecostal members in their worship services.

The Demos Shakarian family consisted of father, mother and five daughters. In Armenia, in those days, it was as much a reproach for a wife to be without a son as it was in ancient Israel.

On May 25, 1891, the mother was sitting in the large one-room home sewing, weeping as she worked, because God had not blessed her with a son.

A great-uncle was visiting with the family and was sitting across the room from her, reading his Bible. Suddenly, he arose, walked across the room, and stood before the weeping mother. Looking down at her, he said, "Sister, God heard your prayer. One year from this day you will be the mother of a son." Exactly one year from that day, on May 25, 1892, a son was born. The parents named him Isaac, for, as with Abraham’s son, he was a son of promise.
Revealed By God

WHEN ISAAC was about seven years old, a group of faithful Russian Pentecostal Christians began coming to the Armenian village of Kara Kala for fellowship with the Armenian Pentecostals. They would come every few months in a caravan of several covered wagons, with about twenty persons to the wagon, each wagon being pulled by four horses. These Russians dearly loved the Armenian Presbyterians who had more recently received the marvelous Gift of God as promised by Jesus Christ before He ascended to the Father.

Because Demos Shakarian could speak Russian fluently, he would place the visitors among the Armenian homes in the village, and each evening for an entire week, his home was used as a place of worship. He raised cattle, and upon notification that the Russians were coming, he would butcher a fatted steer to provide beef for the feast service upon the arrival of the visitors.

One day, word came that the Russian caravan was near at hand. Demos went among his heard to select the finest steer he could find, for this was to be given as unto the Lord. The fattest steer he could find had only one eye, the other having been destroyed by an injury. He knew it to be according to Scripture that he should not offer a blemished animal to the Lord, yet he decided to compromise with his better judgment, since the blemished steer was the fattest of the herd.

Acting on this compromise, he killed the steer and quickly severed the head. Not having time to bury this tell-tale portion, he placed it in a sack and hid it underneath a large pile of threshed wheat in a corner of the barn, then proceeded with the butchering so that the beef was ready for the feast by the time the Russians arrived.

That evening, as was the regular custom, Demos and the entire Shakarian Family went forward and knelt for the blessing of one of the Russian elders as their prophet stood nearby. After this blessing of the host, the beef offering was to be blessed, then would come the feast and the evening of worship. Suddenly, without saying a word, the prophet walked across the room and went outside. The elder did not want to continue with the prophet absent, so he asked that a hymn be sung until the prophet returned.

When the prophet came back into the room, he brought the hidden sack and opened it directly in front of the kneeling Shakarians, revealing the head of the steer with the blemished eye. He said the Lord had revealed the whole matter to him as they had prepared to ask God to bless the Shakarians and their feast offering.

Demos confessed that he had compromised with his better judgment and asked forgiveness. This was granted him by the congregation in the name of the Lord. His father, for the first time, declared that now he knew that the Baptism in the Holy Spirit was of God and there and thereafter accepted it and the accompanying manifestations without reservation.

So impressive was this incident that not only the Shakarians, but also the other Armenian families as well as the Russian families determined that from that day forward they would offer to God only that service and that substance exactly as He requested it of them even though it might seem at the time that a substitute, as in the case of the blemished steer which was the fattest, would serve the purpose better.
Exodus To America

FORTY-FIVE YEARS had passed since the eleven-year-old Russian boy had written the prophecy from God. He was now fifty-six years of age and still lived in the community. Four and a half decades had passed without his prophecy coming true and he apparently was to be considered as a false prophet. Then, without any advance indication, the Lord instructed the prophet to warn the Armenians that the time had come for the prophecy to be fulfilled. Consequently, he began telling the people: "The time has come! Now is the time to leave this country!"

The word quickly spread among the Armenian Pentecostal Christians, and some of them and some of the Russian Pentecostals began their exodus to America. The year was 1900. They took the written prophecy with them and preserved it in a church they built in Los Angeles, California. Demos Shakarian did not leave Armenia for America until five years later. Then he took his wife and five daughters and thirteen-year-old son, Isaac, first going to New York and then to Los Angeles. As each Pentecostal family departed from Armenia, unbelievers mocked them just as Noah and his family were mocked before the Flood, yet the Armenians knew that Noah’s Ark finally rested upon the mountains of Ararat which were in Armenia. The Armenian Pentecostal exodus to America continued until 1912, when the last Pentecostal family left Kara Kala where the prophecy was delivered.

Two years later, the great World War I broke out, and in the terrible onslaught, when Turkey overran Armenia, every soul in Kara Kala was wiped out. The mockers and scoffers and unbelieving Christians were destroyed. The prophecy given in 1855 and reaffirmed in 1900 was fulfilled in 1914 and the years that have followed. The Pentecostal Christians who believed God and obeyed Him were safe in America, among them Demos Shakarian, Senior, and his family.

In Los Angeles, the same as in Kara Kala, the Demos Shakarian home became the place of worship for the Armenians and Russians.

Almost immediately upon the arrival of the Shakarians in Los Angeles, the outpouring of the Holy Spirit at the Azusa Street Mission began. Demos and his brother-in-law, M. Mushagian, and another Armenian man were strolling down San Pedro Street. As they neared Azusa Street, they heard familiar sounds—shouting and singing and praying in the same manner they were accustomed to in their own services. On reaching the horse barn that had been converted into a Mission, they discovered several speaking in tongues. They returned to their people with the thrilling news that God had begun to move in America as He had in Armenia, in Russia, in the Early Churches, and in the Upper Room in Jerusalem. In America, the newest of countries, the pattern of the Pentecostal outpouring was the same as it had been in Armenia, the oldest of countries, the very cradle of civilization and believed by many Bible students and scientists to have been the site of the Garden of Eden, the home of Adam and Eve. The Pentecostal experience came to the Jews in Jerusalem, it came to the Catholics in Russia, to the Presbyterians in Armenia, and now it had fallen upon a motley mixture of the cross-section of humanity at Los Angeles, many races and many faiths all responding in like manner.
Promised Prosperity

ISAAC SHAKARIAN was sixteen years of age when his father died, and he went to work in a harness factory and labored there three years to support his widowed mother, his sisters, now six in number, and himself. At the age of nineteen, he went into the wholesale fruit business. Soon, he married, moved to Downey, near Los Angeles, purchased twenty acres of land and three milk cows and started his first dairy herd. Faith in God, good judgment and hard work eventually multiplied that first little herd one-thousand fold, until in 1943 the Shakarian herd had reached three thousand, the world’s largest dairy!

Not only did the Shakarians prosper, but every one of the Armenians and Russians who left and went to America as a result of the prophecy prospered according to the promise the Lord had written many years before by the hand of the eleven-year-old Russian boy. The promise is holding true, according to the Bible promise, even to the third and fourth generation.

On July 21, 1913, at Downey, Demos Shakarian, Junior, was born. He was born into a Pentecostal home and grew up in a Pentecostal church. Concerning this, he says: "I cannot remember a time when I did not love God. I cannot remember a time when I did not believe that I was a child of God and on my way to Heaven.

"If this sounds strange to you, it may help to point out that our Armenian families are a little different from the average American family. In the average American home, there is a lot of individuality, each member of the home deciding the course he wants to follow. Sometimes, religiously, this carries the members of the home far apart. But in the average Armenian home, we go together. Like the old Hebrews and the early Christians, our religion is a family religion. We stand by one another religiously, socially and in business.

"The effectiveness of this policy is illustrated in the fact that in our Armenian church in Los Angeles, although all our weekly services except one are still conducted in the Armenian language and after the old Armenian form of worshipping God, we still have the young people with us. Our American friends who visit the church are always impressed with the fact that there are just about as many boys and girls in the service as there are older men and women."
Learning To Trust

AT THE AGE of ten, Demos was practically deaf from a childhood injury. There were periods of time when his hearing would partially return and other times when he was totally deaf. The injury and resulting affliction caused him to pray as he never prayed before in his young life. His mother, a great prayer warrior, held on to God earnestly seeking deliverance for her son.

Three years passed. Demos was thirteen. He was sitting in church worshipping God. Suddenly the power of God fell upon him and filled him. He was Baptized with the Holy Spirit. For four hours, from eight until midnight, he was unable to speak a word of either Armenian, English or Spanish, the three languages with which he was familiar. The Spirit of God took complete charge of his vocal organs, and during those four hours he spoke with other tongues as the Spirit gave utterance.

When he arrived home, he had another wonderful experience, which he describes as follows: "The power of God smote me down to the floor and there I lay absolutely helpless, unable to rise or get in bed. As I lay there in that helpless state, God spoke to me and said, ‘Demos, will you ever doubt My power?’ Then I tried to get up, but found myself still helpless. Two more times the Lord asked me that question and two more times I assured Him that I would never doubt His power. From that hour, I have proved over and over the reality of the power of God in my life. Jesus will never fail those who dare to believe.

"I needed that experience and that assurance in the days and years to come, for the pathway has not always been rosy, and in the trials and testings I have been able to remember that when I was completely helpless, flat on my back on the floor in my bedroom, God called upon me to trust Him completely, and I assured Him that I would!"

During his high school years, Demos decided to venture into business for himself. Isaac, who had always been successful and prosperous, gave his son a capital nest egg of $2,000. With this, Demos and a friend, Dan, started into the dairy business. Dan and Demos built their dairy herd up to sixty milk cows. With this herd, they were able to make more money than their high school teacher drew as a salary.

But this business triumph was short-lived. Soon the depression came upon them and they lost everything except the $2,000 nest egg provided by Isaac. Demos decided when he got down to that next egg that he should get out of business, and he did. God would not allow the $2,000 which had been earned and provided by Isaac to be lost even by his son!

Demos then ventured into the beef-cattle business and made some profit but soon lost it when he entered the baby-beef field and again was forced out of business. Demos now declares that God was trying to teach him a valuable lesson, that money and work alone would not achieve success.
A Miracle Ministry

ROSE GABRIEL then came into Demos’ life and they were married. Demos was twenty years of age and knew that now he must make money in order to support himself and his new wife. Here is Demos’ own account:

"Once again I started out to make money, but in spite of all my efforts I found myself a failure. After six years of this, I finally woke up one day to the fact that the reason I was a failure was that I was trying without God. I was in business, but God was not in there with me. When I came to this realization, I got under deep conviction. I realized that I had been drifting away from God, and it was time for me to begin to seek Him. My wife and I reconsecrated our lives. We decided to go in business with Him. Regardless of financial circumstances, I meant to serve God wholeheartedly.

"I looked around for something to do for Him. I thought about sponsoring a meeting for some minister. My father had done that kind of work for the Lord several years before. Since I was not a preacher myself, perhaps I could set up a tent and put some preacher to work in the Lord’s service. I found a young man who was interested in the work of God and a faithful minister of the Gospel. So I sponsored him in a tent meeting in 1940. That was my first meeting, which was conducted in a tent which seated 300 people. God honored that revival and sixty-seven people were saved and received the Baptism in the Holy Spirit.

"Next year, I formed an acquaintance which meant much to my spiritual life. I met Dr. Charles S. Price, noted healing evangelist. Although healing was nothing new to me, having been brought up in a church that believed and practiced it, I found Dr. Price’s ministry different. His faith and devotion to God set an example for me that I have never forgotten.

"I remember a wonderful healing that occurred in answer to Dr. Price’s prayers. Since it concerned my own family, it made a lasting impression on me. My sister, Florence, was on her way to Whittier College one morning driving her own car. She had a collision with a truck carrying a heavy load of hot asphalt. The car was wrecked and hot asphalt was spilled all over my sister. When they finally got her out of the wreck, she had third degree burns covering large portions of her body. Her pelvis had suffered seven fractures, and her leg was torn loose. When the left leg was reset, in the hospital, it was three and a half inches shorter than the other one, due to the injured pelvis. She was compelled to lie in a bed of salve because her burns were so severe that she could not stand the touch of bed clothing. X-rays showed that the sharp points of broken bones were headed into vital organs of her body. Subsequent X-rays were taken for seven days. These showed her condition growing worse. The doctors said that if she lived, she would always be a cripple.

"In desperation, I called Dr. Price and asked him if he would come and pray for my sister, and he agreed to come. It was the seventh day after her accident that Dr. Price reached her. As he prayed for her, God laid His mighty hand upon her body and completely healed her, to the amazement of the doctors and nurses and to the great joy of our family. New X-rays were taken, and every bone had gone back in place and the left leg that was three and a half inches shorter than the other was restored to its normal length. My sister was able to come home from the hospital a completely well woman. That miracle meant so much to me that I have, ever since, given of time, effort, influence and money to help promote the ministry of those God has chosen to deliver the people. I know Divine healing is real!

"Naturally, Dr. Charles S. Price became endeared to the Shakarian family. About two months before his death, he kept telling me that a Time of Deliverance was coming. He said: ‘In these days, we are finding it very hard for people to come to the Lord. Evangelists are preaching and preaching, yet only handfuls are coming to the altar. We are not seeing scores and hundreds coming to the altars as we should. The Lord is showing me that in the very near future, He is going to raise up men with tremendous power from the Lord and they will preach to thousands at a time. People will pour to the altars because they will see the mighty, miracle power of the Lord in operation. They are going to see signs and wonders performed, and the healings and other miracles of deliverance by God’s power will cause the people to rush to the altars and accept Jesus Christ as their Savior and Deliverer. When you see these things happening, another thing will come to pass. Men will enter the hospitals, where all manner of human sickness has caused people to be bedfast, many doomed to die from cancer, tuberculosis, heart trouble and other disease. People who have been given up to die by the doctors will be raised up by the power of God, and they will walk out of the hospitals. They are going to leap and shout with joy. This is going to be a demonstration of the power of God the world has never seen. The whole world will be stirred!’

"We already have seen the first part of this prophecy coming to pass since Dr. Price’s death. Hundreds rush to the altars in the great healing campaigns, not because they are whipped and beaten and scared to the altars, but because they have been shown the love and compassion of Jesus Christ and the power of God in action.

"Since we have seen the first come true, then we are convinced the other will shortly follow just as Dr. Price, being filled with the Holy Spirit, said would happen. Faith is rising. People are expectant. The time seems near at hand!"
God In Business

EVER SINCE Demos’ first tent campaign in 1940, when he began his active service for God by sponsoring evangelistic campaigns as his father had previously done, the Lord has blessed his efforts and prospered him. In 1948 he and Rose entered into an even deeper consecration to serve the Lord, and almost immediately that consecration was put to a test.

In addition to the large dairy, Demos and Isaac had an extremely busy feed-processing plant. It was very difficult for Demos to get away from this activity. Nevertheless, putting God’s business first, he agreed to sponsor a large campaign at Fresno. As the time drew near for the campaign, all of Demos’ time was required to look after the tremendous volume of work in connection with the feed business. The price of feed began to drop and the plant began to lose money at a staggering rate. To leave now for two or three weeks could easily mean that the Shakarian Family stood a chance of losing an enormous amount of money. A choice had to be made between protecting the business and canceling the Fresno campaign, or the reverse. Rose and Demos decided they would take little Steve and Geraldine with them, leave Richard with his grandfather so that he could remain in school, turn the affairs of the feed business over to the Lord and go to Fresno doing the Lord’s business.

As God began to bless the Fresno campaign, reports from home made it almost imperative that Demos abandon the campaign and return to his rapidly-failing business. Then little Steve came down seriously ill. He needed attention and care that seemed to demand that he be taken home. Demos knew that if he cancelled the campaign, his service to the Lord would always be in jeopardy. He knew that if he went bankrupt, his testimony and ability to serve the Lord would be very small. He got a nurse to help care for Steve, he asked God to look after Steve and to send a buyer for the feed business, and he and Rose continued the campaign.

Steve improved, and a Norwalk business man phoned that the Lord had awakened him at three o’clock in the morning and told him to buy the feed business and to give the price the Shakarians asked. This took care of two great needs, but another still remained.

In the midst of the other two difficulties, Rose had discovered that she had lost her very expensive wrist watch which Demos had given her. After all searching had failed to produce the missing watch, Rose and Demos prayed that the Lord would return the watch safely to them. They realized that had they not been away from home in the campaign, the watch might still be on Rose’s wrist, so they felt God would, somehow, undertake for this need also.

Isaac Shakarian brought Richard up for the weekend and they and Demos went to the fairgrounds to see the livestock, especially the cattle. Suddenly Richard saw a man selling little chameleons and asked his father for money to buy one. Demos was utterly opposed to having Richard carrying a lizard around in his hand and emphatically refused to buy the chameleon. Richard ordinarily graciously submitted to parental decisions, but this time he put on quite a scene and refused to be denied. Isaac, thinking the chameleons were made of rubber, overruled Demos and bought one for Richard. Almost immediately, he discovered that Richard was holding a live lizard in his hand and quickly regretted that he had made the purchase. From that time forward, even after reaching the place where they were staying, both Isaac and Demos tried to get Richard to turn the lizard loose, but without success.

Rose entered the scene by refusing to allow Richard to keep the chameleon in the house, as he preferred to do. The Nurse who was helping care for little Steve felt led to come to Richard’s aid, so she said she would help him find a cardboard carton of suitable size and they would make a temporary place for the chameleon in the garage. A number of empty cardboard cartons had been placed on the rubbish heap to be hauled away the next day by the trash man to be burned. The Nurse kept searching among the cartons until she found one that seemed to her to be the very one for the chameleon’s container. She opened it and found Rose’s wristwatch inside. God had answered prayer in a most unusual fashion!

THE SALE of the Reliance Milling Company by Isaac and Demos Shakarian to the Coast Grain Company, owned and operated by Adolph Weinberg and sons, Bob and Denny, was an important epoch in the Amazing Shakarian Story.

Two supernatural things occurred in connection with the transaction: The Lord had awakened Adolph Weinberg at three o’clock in the morning, in answer to the prayers of the Shakarians, and impressed him to purchase the business and to pay the price the Shakarians would require; and almost immediately after the transfer of ownership, the mill became a real success for the Weinbergs.

At the time of the sale, more than half a million dollars, all cash, was paid to the Shakarians by the Weinbergs. In the business world, this was such a historic and tremendous transaction that The California Dairyman devoted the front cover and three inside pages to the newsworthy event, with a photograph on the front cover and four photographs inside.

From the date of the purchase of the feed business, the Weinbergs have continued to abundantly prosper. Then they were farming more than twelve thousand acres in the Imperial Valley, raising alfalfa, flax, wheat and beets, in addition to feeding thousands of head of beef and conducting the Coast Grain Company with an enormous tonnage. Now the Weinbergs farm more than twenty thousand acres, with all their other business activities in proportion. It paid Adolph Weinberg to heed the Word of the Lord that came to him at three o’clock in the morning!

The disposal of the feed business by the Shakarians not only stopped the huge financial loss, but gave Demos the time necessary and imperative in order to help build up the immense Reliance Dairy Farms, with four drive-in sales outlets, the ever-increasing shopping center expansion, and his real estate and other investments. But above all else, the disposal of the feed business made it possible for Demos to devote much more time to the work of the Lord.

When Demos, in utter dedication to serving God, made the choice to continue the Fresno campaign, turning his own interests over to the Lord to handle, he was shown how quickly and easily the Lord was willing and able to handle such varied needs as the healing of Steve, the finding of Rose’s lost watch, and the sale of the burdensome feed business for more than half a million dollars cash. Furthermore, the Lord has blessed the Weinbergs in the feed business and the Shakarians in the dairy business, proving that when God is in a transaction, it must succeed.
The Birth Of A Fellowship

ABOUT THIS TIME the Full Gospel young people of the Los Angeles area decided to hold a great rally so that all Pentecostal youth could get together for fellowship and spiritual edification. They estimated that advertising and rental of a meeting place would cost about $300 and they didn’t know where the $300 would come from. Someone suggested that Demos Shakarian be asked to raise the money for them. Always thinking in big terms, Demos suggested that they increase their budget to $3,000. He began to speak to some of his friends about the idea of several of them going together and helping finance a big one-night rally at the Shrine Auditorium, but those he consulted seemed to think the cost was prohibitive.

Then Demos and Isaac arranged a dinner at Knott’s Berry Farm, inviting about a hundred Full Gospel business men as guests. They were told that their dinner was to be free, but that an offering would be taken to sponsor the youth rally. Before all the details of the plan were fully explained to the gathered men, Fred Friedmeyer, Dell Arganbright, Bryan Smith and many others began walking up and laying checks for $500 and other large amounts on the table. This kept up for twenty minutes. When the voluntary offering was counted, it amounted to $6,200.

When the youth rally was held in the Shrine Auditorium, so great was the crowd that the building was packed and throngs massed on the outside. Among those unable to get in was a young evangelist by the name of R. W. Culpepper. Someone asked that he pray for them. The Lord sent a wave of glory over the gathering, and a mighty revival broke on the outside of the Auditorium. News was rushed to those in charge of the rally and the revival caught fire inside with an equal intensity. God moved in a mighty way inside and outside the Auditorium.

The offering was so liberal at the rally that it, combined with the $6,200 raised at Knott’s Berry Farm, paid all the expenses of the rally and left a fund of $5,000. In considering what to do with the money, it was suggested that a massive Pentecostal Rally be held in Hollywood Bowl. More than 22,000 people packed the Bowl for this event, and the news spread far and near that the Full Gospel people were becoming united and powerful. Money left over from the Bowl rally was used to help finance the Azusa Street Golden Anniversary, some years later, and was later transferred to the Pentecostal Fellowship of Greater Los Angeles which was formed as a result of the Anniversary.

These events revealed to Demos Shakarian what a mighty force for God the Full Gospel business men would be if they could only work together. He talked to many who had actively participated in the rallies and they all expressed a like feeling. One of the persons who encouraged Demos was the President of Southern California Bible College, Dr. Irvine, J. Harrison, who, in the providence of God, became Executive Secretary of the Fellowship five years later. A Full Gospel corporation lawyer, Paul B. Fischer, was employed to help draft the necessary organizational documents, and an organizational meeting was called to meet in Fresno, California.

Men gathered from many parts of the country, choosing Demos Shakarian as President, Lee Braxton, George Gardner and Miner Arganbright as Vice-Presidents, and Earl Draper as Secretary-Treasurer. It happened that Oral Roberts was holding a campaign in Fresno at the time, and he introduced the officers of the newly-formed organization to his tent audience.

THERE IS one question that people ask Demos Shakarian more than any other. They want to know how he can keep up his dairy and ice cream business, his real estate and shopping center activities, and still be so active in the work of the Lord. Here is Demos’ answer: "Business demands are very exacting. Besides our dairy herd of approximately 1,700 head, our four dairy drive-ins, and other retail and wholesale aspects of the dairy business, my father and I have two shopping centers and other real estate interests to look after. Any business man will admit that these holdings require a great deal of a man’s time. One thing that helps in our situation is that my father and I work together as partners, and we are both interested in the Lord’s work. The bigger you get in business, the busier you must be in God’s work to keep up your spiritual life!"

Richard is following in the footsteps of his father and grandfather both in the business world and in the ministry. At the age of fifteen he was called to Washington, D.C., to address the Congressional Prayer Meeting. He has engaged in the work of the Lord as far away as the West Indies. He is shouldering much of the supervision of the vast Reliance dairy business as he, at the same time, continues his work for the Lord.

Florence Shakarian, miraculously spared from suffering and death or a life of invalidism when the Lord answered the prayer of Dr. Charles S. Price, has thrilled thousands with her beautiful and anointed voice. She, too, follows the Shakarian pattern by being busily engaged in the office of the Reliance Dairy headed by her brother and father.

We have told The Amazing Shakarian Story in as brief a manner as possible, beginning with God’s miraculous events back in Russia and Armenia, on up to the present time in America and around the world. If this story causes others to give God the glory due Him and causes them to strive, in some measure, to let God direct their lives as he has directed the lives of the Shakarians, then we shall have been abundantly repaid for our efforts!