Meritokrasi, Mao, Marx, dan "Market",Christianto Wibisono

SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------

Meritokrasi, Mao, Marx, dan "Market"

THE GLOBAL NEXUS

Christianto Wibisono

eminar "Anti- sipasi Krisis Global Bagi Indonesia" oleh Reformed Center for Religion and Society (RCRS) berlangsung sukses meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani berhalangan karena sibuk, dan diganti oleh DR Chatib Basri. Keduanya baru pulang menjual Surat Utang Negara (SUN) di New York yang oversubscribed US$ 6,6 miliar dan orang asing se- olah lebih optimistis dan lebih "bullish" terhadap Indonesia ketimbang orang Indonesia sendiri. Harga minyak global memang sangat dipengaruhi oleh masuknya unsur spekulatif di samping faktor supply dan demand.

Indonesia tidak mungkin mengubah faktor eksternal global itu, dan hanya bisa menerima dampaknya dengan langkah antisipatif, menurut Sri Mulyani dalam jumpa pers baru-baru ini.

DR Stephen Tong dalam keynote speech-nya menegaskan bahwa hukum besi moral tidak bisa dilanggar, tanpa konsekuensi bagi manusia yang melakukan tindakan bertentangan dengan moral dan etika luhur agama. Dunia sedang dilanda sekularisme yang memojokkan agama ke pinggiran atau fundamentalisme berdasar diskriminasi agama dan konflik peradaban. Krisis global merupakan fusi krisis Tiga-F, food, fuel and financial memaksa manusia berintrospeksi tentang masalah mendasar dunia dan umat manusia.

Chatib Basri menguraikan bila BBM tidak naik maka defisit anggaran akan mencapai Rp 265 triliun dan Indonesia sulit menjual SUN jika pasar mengetahui bahwa US$ 2,5 miliar hanya akan dibakar jadi asap knalpot. Masalah BBM adalah force majeur dunia walaupun diakui birokrasi tidak memberi insentif untuk maskapai minyak hingga produksi turun. Sekarang pajak eksplorasi migas sebelum migas di- ketemukan dan berproduksi dihapus.

Mengenai krisis pangan, jika seluruh negara penghasil pangan melarang ekspor, maka pasti krisis dan inflasi global akan melejit. Vietnam sekarang sedang ter- desak untuk mendevaluasi mata uangnya.

James Riady memperoleh pertanyaan menggelitik bagaimana menerapkan iman agama dalam kehidup- an sehari-hari ketika bertransaksi dengan rekan bisnis. Benyamin Intan mempertanyakan apakah bank syariah merupakan lembaga ekonomi atau lembaga agama. Stephen Tong mengejutkan pendengar ketika mengatakan bahwa Mao Zedong adalah "bandit" besar yang membajak Tiongkok dengan ideologi komunisme Marxisme hingga membuat RRT terpuruk jadi negara termiskin sedunia dalam waktu 40 tahun (1949-1989). Ini suatu simplifikasi sebab Mao sudah meninggal ketika Tembok Berlin runtuh dan tank militer menggilas demonstran di Tiananmen atas perintah Deng Xiaoping dan Li Peng.

Dalam konflik itu, Zhao Ziyang tergusur menjadi tapol sampai meninggal. Di bidang ekonomi, Deng Xiaoping meninggalkan Marxisme, tapi tetap mempertahankan sistem politik otoriter, mirip Soehartoisme Orde Baru. Deng menjawab pertanyaan kenapa RRT membuang Marxisme diganti pasar bebas, bahwa pasar itu sudah ada sebelum Karl Marx lahir.

Karl Marx membajak pasar untuk disandera oleh diktator proletariat mengatas namakan buruh. Akibatnya, semua orang tidak terangsang berproduksi karena harus kerja bakti untuk partai komunis yang korup. Maka, buruh Polandia berontak dan mempelopori penggulingan komunisme dengan dukungan moral dari Paus Johanes Paulus II yang berasal dari Polandia.


Krisis Global

Kenapa Tuhan membiarkan komunisme diuji coba 70 tahun di Uni Soviet, 40 tahun di Eropa Timur, Tiongkok dan makan korban puluhan juta orang Rusia, serta Tionghoa terbunuh oleh rezim partai komunis, sesama bangsa dan bukan bangsa asing atau penjajah? Kalau yang menganut komunisme itu negara kecil, pasti tidak akan membuat orang bertobat dan menginsafi kesalahan. Tetapi, kalau dua raksasa Uni Soviet dan RRT bangkrut karena komunisme, diharapkan dunia bisa kapok dengan rezim totaliter berbendera populisme. Itulah tesis Hegelian dari Francis Fukuyama bahwa seluruh dunia akan menjadi penganut demokrasi liberal Barat. Ternyata tidak sesederhana itu, sebab muncul konflik benturan peradaban yang diformulasikan oleh Samuel Huntington. Dunia malah kembali pada tribalisme yang mengental setelah ideologi Marxisme bangkrut. Ternyata orang mundur ke basis kultur, dan memicu konflik tiga peradaban Confucius, Islam dan Barat. Ditandai dengan serangan teror WTC 11 September 2001 serta reaksi balasan AS.

Dalam konteks benturan peradaban itulah kita sekarang menghadapi krisis global dengan pemain yang bervariasi antara nation states, perusahaan multinasional, jaringan LSM global, jagat internet, dan sel teroris yang bisa mempecundangi nation states.

Semua konflik itu bisa dikembalikan pada bagaimana mengatur persaingan dengan adil antara manusia sebagai pelaku ekonomi yang harus dan perlu be- kerja. Yang bisa menciptakan ekonomi dinamis menyerap tenaga kerja.

Bagaimana memberi reward kepada yang berprestasi atas dasar meritokrasi, dan ba-gaimana membantu yang tersisih dalam persaingan secara pas. Sebab, jika orang disubsidi atau diberi segala sesuatu gratis dan ditunjang selama menganggur, bisa menimbulkan kemalasan dan mengeksploitasi orang lain bekerja bakti untuk para pemalas.

Formula untuk mengatur produksi dan distribusi itu adalah sistem politik ekonomi hukum yang mengatur keseimbangan dan ke- setaraan kekuasaan atas dasar Trias Politika dengan kesadaran bahwa semua manusia cenderung untuk korup atau menyalahgunakan kekuasaan. Karena itu, harus ada sistem penyeimbang dan pengawasan serta peradilan, penghakiman, penghukuman yang imparsial, adil, netral, jujur dan tidak mudah terbeli oleh uang atau takut kepada kuasa politik. Ini juga harus diimbangi dengan watch dog, pengawal hati nurani masyarakat, media massa, dan LSM yang juga perlu dikontrol.

Eropa Barat dan Amerika Serikat (AS) yang sukses dengan sistem meritokrasi justru sedang bergeser pada proporsional representatif yang mengatur semacam kuota atas dasar kelompok. Sistem yang telah mampu mengentaskan kemiskinan, dan melahirkan kelas menengah sebagai peredam konflik sosial, sekarang menjurus pada kemerosotan. Banyak penerima jaminan sosial Eropa Barat terutama imigran memilih menganggur dan disubsidi oleh negara, ketimbang mencari kerja.

Di AS affirmative action telah melahirkan profesional yang mediocre, karena jabatan diatur atas dasar perwakilan proporsional. Mayoritas bule dibatasi, karena harus mencerminkan warna pelangi etnis Amerika. Ironisnya, ketika representasi etnis dan warna kulit diberlakukan, maka yang akan menguasai mayoritas mahasiswa dan sarjana, bukan kulit hitam atau cokelat (Hispanic) melainkan kulit kuning dari Asia Timur, dan cokelat dari India.

Kemunculan Obama sebagai capres yang dianggap mampu menerobos batas etnis masih diragukan apa bisa menanggulangi backlash golongan kulit putih pria dan wanita pendukung Hillary yang merasa didiskriminasi terbalik. Benarkah Obama terpilih karena meritokrasi atau karena euphoria prioritas pada kulit berwarna yang menerapkan diskriminasi terbalik terhadap kulit putih?

Krisis global masih akan terus berlangsung selama manusia masih memberlakukan sistem yang tidak adil dalam menilai kinerja seseorang atau suatu bangsa. Bukan berdasar merit tapi berdasar warna kulit, etnis, agama, ras baik secara positif untuk mendongkrak yang lemah maupun secara negatif untuk menyisihkan yang kuat. Ini juga berlaku pada tingkat global. Akibatnya bukan manusia atau nation states terbaik yang menjadi panutan, tapi demagog "model Mao" dengan retorika dan ideologi otoriter yang bangkrut atau impoten.


Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 23/6/08

Islam converts change face of Europe

Jan. 23, 2007
Etgar Lefkovits , THE JERUSALEM POST
As many as 100,000 French and British citizens have converted to Islam over the last decade, according to a new book by an Israeli historian.

The figures cited by Hebrew University Prof. Raphael Israeli in his upcoming book The Third Islamic Invasion of Europe are representative of the fast-changing face of Europe, which the Islamic history professor says is in danger of becoming "Eurabia" within half a century.

He noted that about 30 million Muslims currently live in Europe, out of a total population of 380 million., adding that with a high Muslim birthrate in Europe, the number of Muslims living in the continent is likely to double within 25 years.

Israeli also cited massive immigration and Turkey's future inclusion in the EU as the primary reasons why the face of Europe will be indelibly changed within a generation.

European concerns over a fast-growing Muslim population is at the center of opposition to Turkey's entry into the EU, he said, as the inclusion of Turkey into the EU will catapult the number of Muslims to 100 million out of a total population of 450 million.

"The sheer weight of demography will produce a situation where no Frenchman or Dutchman could be elected to parliament without the support of the Muslim minority," he said Monday in an interview with The Jerusalem Post.

"Muslims will have a more and more decisive voice in the makeup of European governments."

"With Turkey as a member of the EU, the process will be accelerated, without [Turkey] it will be slower but it will still happen," he added. Turkey has strong relations with Israel.

The historian, who has authored 19 previous books, said that Muslim political power in Europe would directly impact domestic politics, including Europe's immigration policy, with millions of additional Muslims waiting at the door to gain entry to the EU as part of "family reunification" programs.

"Every European with a right mind has every reason to be frightened," Israeli said.

The 50,000 French and 50,000 British who have converted to Islam over the last decade, including many from mixed marriages, did so for personal convictions, romanticized notions of Islam, as well as for business reasons, while others see Islam as the wave of the future at a time when Christianity is on the wane, Israeli said.

He said that Muslims converting to Christianity existed but their numbers were significantly smaller.

Israeli noted that conversions in mixed marriages worked only in one direction since a Muslim woman who marries a Christian is considered an apostate in her community, and faces physical danger.

"It is time one should wake up and realize what is happening in Europe," he concluded.

Israeli's book is due out in London in the coming months.•

This article can also be read at http://www.jpost.com /servlet/Satellite?cid=1167467792048&pagename=JPost%2FJPArticle%2FShowFull
[ Back to the Article ]
Copyright 1995- 2008 The Jerusalem Post - http://www.jpost.com/

Iranian Christians forced to worship in secret

Anuj Chopra, Chronicle Foreign Service

Friday, June 27, 2008


(06-27) 04:00 PDT Tehran -- Illyas, 20, precariously straddles two worlds.

At home, he's a devout Christian who wears a silver cross around his neck, reads the Bible and sings hymns praising Jesus Christ. In public, he is a pious Muslim who attends regular mosque prayers.

Illyas and his parents - they asked a reporter not to mention the family name to ensure their safety - had been practicing Muslims until they watched a religious television program beamed by satellite from Reseda (Los Angeles County). At that time last year, Illyas's mother called a hot line number of Iran for Christ Ministries, prayed with a counselor and soon accepted Jesus Christ as her savior. Illyas and his stepfather quickly followed.

Islam is the state religion of Iran - 98 percent of the nation's 66 million inhabitants are Muslims - and Islam has governed most aspects of life since the 1979 Islamic revolution that toppled the Shah of Iran. Frustrated with the lack of social liberties since clerics assumed power, Illyas says his family felt compelled to look for other spiritual answers.

"We were looking for a faith that offered the reassurance of freedom," he said.

Although there are no statistics on how many Iranians have converted to Christianity in recent years, officials at such Christian television stations as SAT-7-PARS say that in the past two years they have received a flood of e-mails and thousands of telephone calls from Iranians. With the advent of satellite television, they say, Christianity is on the rise, with some Iranians even undergoing clandestine conversions at Assyrian churches, said David Harder, communications manager at SAT-7-PARS' Cyprus headquarters.

"Certainly across the entire region many people are spiritually thirsty. Iranian Christians themselves often have very little access to teaching materials that can help them in their spiritual growth," said Harder. "Satellite television provides a means through which Iranians, who have often never had the opportunity to enter a church or even to know a Christian, to learn more about this faith."

Even though satellite dishes have been officially banned in Iran since 1995, they crowd city rooftops and the government seems unable to control what Iranians watch at home, many observers say.

An editor of an independent newspaper in Tehran, who asked not to be named, blames satellite television channels for manipulating viewers into converting to Christianity.

"Iranians are looking for relief and proselytizers are taking advantage of that," he said. "I stand by the right to take up a new religion, but there's a vicious Western plot to foment a wider cultural East-West war and demonize Islam in the process."

Even though the nation's penal code does not mandate the death penalty for apostasy, the law could change if President Mahmoud Ahmadinejad has his way. In February, he introduced legislation that would mandate execution for apostates.

"Life for so-called apostates in Iran has never been easy, but it could become literally impossible if Iran passes this new draft penal code," said Joseph Grieboski, the president of the Institute on Religion and Public Policy in Washington. "For anyone who dares question the regime's religious ideology, there could soon be no room to argue - only death."

Some clerics believe the migration of Iranians to Christianity is symptomatic of frustration with Islam more than interest in another faith.

"If you force religion down people's throats, it makes them less religious, not more," said Mohammad Ali Abtahi, a reformist cleric and Iran's former vice president.

The curbing of social freedoms in the name of Islam, such as mandatory head scarves for women and a crackdown on fashion and Western music, has persisted since 1979, and has driven many young Iranians - 70 percent of the population is under 30 - away from Islam, Abtahi says.

Many Iranians are also frustrated by a stagnant economy despite the country having the world's fourth-largest oil reserves. Inflation is nearly 19 percent; unemployment is at a record 20 percent. Many blame the economic situation on faulty policies and the involvement of religion in governance.

Moreover, Ahmadinejad has authorized a whopping 700 percent increase in government spending for "Islamic religious activities" in 2009, according to Rooz, a Persian news Web site. Ahmadinejad has also proposed increasing the Ministry of Culture and Islamic Guidance budget from $2.2 million to $16.6 million for 2009.

Last year, the state financed a $5 million film called "Jesus, the Spirit of God," an Islamic version of the life of Jesus. The movie depicts Jesus as a tormented prophet who was not crucified or resurrected. Instead his disciple Judas Iscariot, was crucified in his place. This premise is based on the teachings of the Quran and the putative Gospel of Barnabas, a disciple of Jesus. It will now be recycled in a 20-episode serial aired on state-run television.

Even though director Nader Talebzadeh says he wanted to promote a dialogue between Muslims and Christians, some Western critics called it a parochial attempt to promote Islam by spreading misinformation about Christianity.

Meanwhile, Illyas says he will continue to practice his new religion.

"I'll have to keep it a secret as long as I live in Iran," he said. "There's no other way."

Apostasy and Islam
Leaving Islam for another religion, or apostasy, is considered one of the most serious crimes a Muslim can commit, with a recommended punishment of beheading. There is no penalty for a Muslim who kills an apostate, according to Islamic Shariah law.

Most Muslim nations, however, do not mandate the death penalty for those who convert to another religion, and many accept the U.N. Universal Declaration of Human Rights that guarantees all individuals the right to practice the religion of their choice.

But that has not stopped individual judges from doling out the death sentence and vigilantes from threatening, beating and killing converts in Pakistan, the Palestinian territories, Saudi Arabia, Turkey, Nigeria, Indonesia, Somalia and Kenya, according to Human Rights Watch.

Just this week, two Algerians who converted from Islam to Christianity went on trial on charges that they illegally promoted the Christian faith, according to The Associated Press. Algeria's constitution allows freedom of worship. But a 2006 law strictly regulates how religions other than Islam can be practiced.

In 2006, Abdul Rahman, a convert to Christianity, was sentenced to death by an Afghan court. After ardent worldwide protests, he was released and allowed to flee to Italy.

In Iran, Mehdi Dibaj was imprisoned for his Christian beliefs for 10 years between 1983 and 1993. After Dibaj received the death penalty from an Iranian court, he won his freedom after an international outcry that included Pope John Paul II. Soon after his release, Dibaj was abducted and slain.

- Anuj Chopra

Western influences
There are numerous U.S. and European television and radio religious programs beamed into Iran by satellite:

-- Iranian Christian Television Channel - a registered charity based in the United Kingdom ( www.iranianchristiantv.com/about/index.htm).

-- Radio Mojdeh - also based in the United Kingdom ( www.radiomojdeh.com)

-- Iranian Christian Radio of Mission Viejo, Orange County ( www.iranianchristianradio.com).

-- SAT-7-PARS, a 24-hour Christian satellite station based in Cyprus.

- Anuj Chopra

Chronicle Foreign Service reporter Anuj Chopra visited Iran early this year on a grant from the Pulitzer Center on Crisis Reporting in Washington. E-mail Chopra at foreign@sfchronicle.com.

http://sfgate.com/cgi-bin/article.cgi?f=/c/a/2008/06/27/MNVI10DP2Q.DTL

Hudson Taylor



Hudson Taylor
From Wikipedia, the free encyclopedia James Hudson Taylor

Missionary to China
Born May 21, 1832
Barnsley, Yorkshire, England
Died June 3, 1905 Age 73
Changsha, Hunan, China
Education Royal College of Surgeons
parents
James Taylor
Amelia Hudson


James Hudson Taylor 戴德生 (May 21, 1832 – June 3, 1905), was a British Protestant Christian missionary to China, and founder of the China Inland Mission (CIM) (now OMF International). Taylor spent 51 years in China. The society that he began was responsible for bringing over 800 missionaries to the country who began 125 schools[1] and directly resulted in 18,000 Christian conversions, as well as the establishment of more than 300 stations of work with more than 500 local helpers in all eighteen provinces[2].

Taylor was known for his sensitivity to Chinese culture and zeal for evangelism. He adopted wearing native Chinese clothing even though this was rare among missionaries of that time. Under his leadership, the CIM was singularly non-denominational in practice and accepted members from all Protestant groups, including individuals from the working class and single women as well as multinational recruits. Primarily because of the CIM's campaign against the Opium trade, Taylor has been referred to as one of the most significant Europeans to visit China in the 19th Century.[3] Historian Ruth Tucker summarizes the theme of his life:“ “No other missionary in the nineteen centuries since the Apostle Paul has had a wider vision and has carried out a more systematized plan of evangelizing a broad geographical area than Hudson Taylor [4] ”
Contents
1 Youth and early work
2 First visit to China
3 Family and China Inland Mission
4 Return to China
5 Riot in Yangzhou
6 Loss of Maria
7 Continued work
8 Boxer Crisis of 1900
9 Final years
10 Legacy
11 Books Authored
12 Theology
13 Chronology
14 Bibliography
15 Notes
15.1 Further reading
15.2 External links


Youth and early work

Hudson Taylor at age 21

Hudson Taylor worked at Dr. Hardey's residence in Hull (top) and lived in the near poverty of Drainside

Taylor was born in Barnsley, Yorkshire, England, the son of a chemist (pharmacist) and Methodist lay preacher James Taylor and his wife, Amelia (Hudson), but as a young man he moved away from the Christian beliefs of his parents. At seventeen, after reading an evangelistic tract pamphlet, he professed faith in Christ, and in December 1849, he committed himself to going to China as a missionary. At this time he came into contact with Dr Edward Cronin of Kennsington - one of the members of the first missionary party of the Plymouth Brethren to Baghdad. It is believed that Taylor learnt his faith mission principles from his contact with the Brethren.

Taylor was able to borrow a copy of "China: Its State and Prospects" by Walter Henry Medhurst, which he quickly read. About this time, he began studying the languages of Mandarin, Greek, Hebrew, and Latin.

In 1851, he moved to a poor neighborhood in Kingston upon Hull to be a medical assistant with Dr. William Hardey, and began preparing himself for a life of faith and service, devoting himself to the poor and exercising faith that God would provide for his needs. He practiced distributing gospel tracts and open-air preaching among the poor. Again Taylor was in contact with Andrew Jukes, a notable Brethren teacher in Hull.

In 1852 he began studying medicine at the Royal London Hospital in Whitechapel, London, as preparation for working in China. The great interest awakened in England about China through the civil war, which was then erroneously supposed to be a mass movement toward Christianity, together with the glowing but exaggerated reports made by Karl Gützlaff concerning China's accessibility, led to the founding of the Chinese Evangelization Society, to the service of which Hudson Taylor offered himself as their first missionary.

Charles Haddon Spurgeon (1834 - 1892)

Charles Haddon Spurgeon (1834 - 1892)


"Tentunya itu suatu kekeliruan."

Itulah yang dipikirkan Charles Spurgeon ketika dia diminta berkhotbah di Kapel New Park
Street, di London. Tempat itu adalah gereja yang bergengsi, dengan bangunan tua yang indah, dan Spurgeon saat itu baru berumur Sembilan belas tahun.

Namun, sama sekali tidak ada kekeliruan, karena setelah Spurgeon bicara, ia diundang untuk menjadi pendeta gereja tersebut. Ia memegang jabatan itu selama hampir empat dekade.

Spurgeon hampir bukan merupakan tipe orang yang menyadari kelasnya dalam masyarakat London. la dilahirkan di kalangan Huguenot, di suatu pedesaan di Essex. Ia tinggal dengan kakek dan neneknya ketika ia masih kecil, karena orangtuanya terlalu miskin untuk merawat dia. Nenek dan ayahnya adalah pendeta Kongregasionalis, tetapi Charles masuk ke sekolah pertanian – meskipun hanya untuk beberapa bulan.

Bergumul dengan kebutuhan jiwanya, Spurgeon bertekad pergi ke gereja pada hari Minggu pertama tahun 1850. Topan salju menghambat kepergiannya ke gereja sesuai rencananya, namun ia berhenti di sebuah kapel Methodic Primitif terdekat. Pembicaranya bodoh, seperti yang diingat Spurgeon, tetapi hal itu merupakan tantangan bagi Charles muda ini. Akibatnya, Charles Spurgeon menjadi Kristen dalam usia enam belas tahun.

Tidak lama kemudian, Spurgeon menyadari bahwa ia mempunyai bakat berbicara. Pada tahun 1852 ia menjadi gembala sebuah gereja Baptis kecil di Waterbeach. Daerah itu sungguh rawan dan orang-orangnya terkenal pemabuk. Spurgeon mengembangkan gaya langsung. Para pendengarnya tidak akan betah dengan keterangan-keterangan teologi yang menggunakan kata-kata indah, oleh sebab itu ia memberitakan kepada mereka apa yang dikatakan dalam Alkitab. Berita tentang "pengkhotbah muda" ini telah tersebar di Waterbeach. Itulah waktunya ketika sidang Kapel New Park Street memutuskan memberi dia kesempatan.

Gereja itu pernah mempunyai sejarah yang dapat dibanggakan, tetapi jatuh pada masa-masa kesukaran. Gedung yang indah itu dapat menampung lebih dari seribu orang, namun akhirakhir itu untuk mengumpulkan seratus orang saja sudah sulit bagi sidang di sana. Delapan puluh orang menghadiri pelayanan pembukaan Spurgeon. Mungkin pengkhotbah muda ini dapat melakukan sesuatu.

Ia melakukannya. Gaya langsungnya membuat para warga London mengakui kata-katanya. Pengunjung kebaktian pun menjamur. Tidak lama kemudian gedung kuno itu penuh sesak. Gereja tersebut terpaksa harus menyewa gedung pertemuan Exeter Hall yang menampung 4.500 orang.

Pertumbuhan cepat seperti ini menarik perhatian pers London, yang pemberitaannya ten-tang pengkhotbah baru itu tidak selalu menyenangkan. "Semua pidatonya berbau busuk dan vulgar," tulis sebuah harian. Harian lain menyebut "Gaya seperti itu berasal dari bahasa pasaran yang vulgar, diselingi gaya yang kasar.... Semua misteri khidmat agama kita yang suci olehnya diperlakukan dengan kasar. Inilah khotbah yang didengar 5.000 orang".

Jumlah itu menjadi 10.000 – dan lebih. Dalam waktu singkat gedung pertemuan itu sudah tidak sanggup menampung para pendengar Spurgeon. Gereja menyewa gedung Surrey Music Hall yang berkapasitas 12.000 tempat duduk dan penuh juga, sementara 10.000 orang lagi menunggu di luar. Malangnya, upacara pembukaan di sana membawa bencana. Beberapa perusuh berteriak "kebakaran"! Dalam kepanikan, tujuh orang meninggal dunia dan 27 orang luka parah. Dengan insiden ini pun keberadaan Spurgeon belum disukai pers London.

Akan tetapi pada tahun 1860-an, kegairahan baru akan evangelikal bangkit di Inggris, dan Spurgeon berada di tengah-tengahnya. Para ahli sejarah menyebutnya Kebangkitan Evangelikal Kedua. Para pengkhotbah lain, seperti Alexander Maclaren di Manchester dan John Clifford di London, juga menarik massa. Menjelang 1861, Kapel New Park Street telah membangun fasilitas baru, Metropolitan Tabernacle, yang memuat 6.000 pengunjung. Pelayanan Spurgeon baru berawal. Ia menerbitkan khotbah-khotbahnya serta ulasan-ulasan dan buku-buku renungan – seluruhnya 140 buah buku, semasa hidupnya. Ia mendirikan sekolah pendeta dan panti asuhan Stockwell yang mengasuh 500 anak. Ia menjadi presiden perkumpulan pembagi Alkitab. Ia berkhotbah di mana saja dan kapan saja.

Gaya Spurgeon mungkin sederhana dan langsung, namun ia bukanlah seorang teolog. Ia adalah seorang Baptis Calvinistik. Bagaimanapun, perpaduan tradisi ini telah membantu membawa struktur Calvinisme ke agama kelas bawah dan menyajikan iman Baptis pada gereja-gereja kelas atas.

Bakatnya adalah berkomunikasi. Dengan membaca karya-karyanya sekarang, kita menemukan kekuatan modern di dalamnya. Ingatlah bahwa ia hidup pada zaman bergaya: Apa yang Anda katakan tidaklah selalu begitu penting daripada bagaimana Anda menyampaikannya. Namun Spurgeon tidak mempunyai waktu untuk berbasa-basi dengan sopan. Ia menggunakan gambaran kuat dan pilihan kata-kata untuk menyampaikan maksudnya secara langsung. Dalam melakukan hal itu, ia telah memberikan contoh bagi para pengkhotbah yang akan datang. Karya-karya tulis "pangeran pengkhotbah ini" sampai hari ini terjual luas.

Judul Buku : BAGAIMANA TOKOH-TOKOH KRISTEN BERTEMU DENGAN KRISTUS

HUDSON TAYLOR

Hudson Taylor dilahirkan di Yorkshire, Inggris, pada tahun 1832. Sejak masih kecil, ayahnya -- seorang ahli pharmasi, telah menanamkan nilai- nilai Kristiani kepadanya. Setiap hari ayahnya selalu membacakan dan menjelaskan ayat-ayat dalam Alkitab. Bahkan ia menginginkan agar anaknya kelak menjadi seorang misionaris. Usaha ini ternyata tidaklah sia-sia karena ternyata sebelum berumur lima tahun Taylor sudah mempunyai keinginan untuk menjadi seorang misionaris dan tempat yang menjadi tujuan dari misinya adalah China.

Meskipun sejak kecil sudah terbiasa dengan kehidupan Kristiani, ternyata pada saat mulai menginjak remaja, ia mulai merasa ragu-ragu dengan apa yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Tetapi berkat doa dari ibu dan saudara perempuannya, keragu-raguan itu akhirnya dapat segera diatasi setelah ia membaca sebuah buku tentang karya penyelamatan Kristus yang ia temukan di ruang baca ayahnya. Ia lalu berlutut dan berdoa kepada Tuhan serta mohon pengampunan pada-Nya. Sejak saat itu Taylor mulai memusatkan perhatiannya pada keinginannya untuk melakukan misinya ke China.

Meskipun sangat antusias dengan misi penginjilannya itu tetapi ia tetap mengutamakan pendidikannya di bidang farmasi. Keinginannya untuk melakukan misi penginjilan di China dapat terwujud secara tak sengaja ketika Hung, yang juga seorang Kristen, menjadi kaisar di China. Demi mewujudkan keinginannya itu ia rela berhenti dari training dibidang obat-obatan yang selama ini ia kerjakan. Kesempatan untuk melakukan penginjilan di China ini juga merupakan jawaban doa direktur Chinese Evangelization Society (CES) yang mensponsori pelatihan yang diikuti Taylor.

CES adalah suatu misi penginjilan di atas kapal yang tidak terorganisasi dan tak seorangpun di China yang diijinkan untuk bekerja dengan misi ini.

Taylor mulai berlayar ke China pada bulan September 1853 dan tiba di Shanghai di awal musim semi tahun 1854. Bagi Taylor, China dengan berbagai adat istiadat masyarakatnya dan berbagai keunikan lainnya sangat menantang dirinya untuk melakukan misi penginjilan tersebut. Kesepian adalah masalah utama yang dihadapi Taylor pada saat tiba di Shanghai, selain itu ia juga mengalami masalah keuangan sedangkan di Shanghai pada waktu itu sedang terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan.

Usaha-usahanya untuk menyesuaikan diri dengan bahasa setempat sempat membuatnya sangat tertekan. Tetapi dengan iman dan kepercayaannya yang kuat kepada Tuhan, ia berhasil mengatasinya dengan mulai menyalurkan hobinya, yaitu bercocok tanam dan mengoleksi serangga.

Setahun setelah ia sampai di China, Taylor segera mulai melakukan perjalanan penginjilan menelusuri China. Dalam perjalanannya itu ia terkadang harus melakukannya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Di Shanghai, misionaris yang berasal dari luar negeri bukanlah hal yang baru. Meskipun demikian ketika Taylor mulai melakukan penginjilan, masyarakat Shanghai tidak memperhatikan pesan yang ia sampaikan. Mereka jauh lebih tertarik pada cara berpakaian dan cara hidupnya. Keadaan ini membuat Taylor sadar bahwa hanya ada satu cara untuk bisa melakukan penginjilan di daerah ini, yaitu dengan menjadi orang China, yaitu mengikuti cara berpakaian dan kebudayaannya.

Meskipun mengikuti tradisi China ternyata bukanlah hal yang mudah bagi Taylor, namun ia tetap melakukannya. Ia rela mencukur rambutnya dengan model "pigtail", botak di bagian depan kepalanya dan panjang serta dikepang di bagian belakang, bahkan ia pun rela mengubah cara berpakaiannya. Walaupun perubahan penampilannya itu sangat menyiksa dirinya bahkan ia dijadikan bahan lelucon dari pengikut-pengikutnya tetapi perubahan itu baginya adalah suatu "trademark" tersendiri. Ternyata usahanya ini tidaklah sia-sia karena dengan penampilannya yang baru ini justru memudahkan dirinya dalam melakukan perjalanan penginjilan ke seluruh China.

Perjalanan yang harus ia tempuh bukanlah suatu perjalanan yang mudah karena selain melakukan penginjilan, Taylor juga melakukan praktek pengobatan dan ia pun harus bersaing dengan dokter lokal. Masalah keuangan tetap menjadi beban utama Taylor sehingga ia tetap mengharapkan kiriman dana dari Inggris. Selain itu rasa sepi yang pernah ia alami pada bulan-bulan awal ketika ia tiba di Shanghai masih tetap membayanginya sehingga mulai terpikir dalam benaknya untuk memiliki seorang istri. Taylor teringat kembali kepada Miss Vaughn, tunangannya ketika masih berada di Inggris yang meskipun telah bertunangan dua kali mereka gagal menikah karena Miss Vaughn tidak mau ikut Taylor ke China. Taylor kemudian sadar bahwa keinginannya untuk untuk memperistri Miss Vaughn adalah sia-sia.

Taylor kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Elizabeth Sisson, seorang gadis yang juga ia kenal di Inggris. Meskipun Elizabeth tidak menolak lamarannya, namun ternyata kisah mereka tidak berjalan lama. Elizabeth memutuskan pertunangan mereka dan diduga penyebabnya adalah karena model pakaian dan rambut Taylor yang seperti orang China. Keputusan Elizabeth ini sempat membuat Taylor "menyerah dari penginjilan" yang ia lakukan. Sampai akhirnya ketika Taylor tiba di Ningpo, sebuah kota di sebelah selatan Shanghai ia bertemu dengan Maria Dyer. Maria adalah seorang guru di sebuah sekolah yang khusus untuk anak perempuan milik Miss Mary Ann Aldersey. Miss Aldersey adalah seorang misionaris wanita pertama yang datang ke China dan ia juga orang pertama yang membuka sekolah untuk anak perempuan di negara yang didominasi oleh kaum pria ini.

Maria dan Taylor berkenalan di bulan Maret 1857. Meskipun pada awalnya Maria menolak lamaran Taylor namun akhirnya mereka menikah pada tanggal 20 Januari 1858. Maria benar-benar merupakan wanita yang Taylor butuhkan untuk melengkapi kehidupannya. Mereka tinggal Ningpo selama tiga tahun dan selama waktu itu secara tak sengaja Taylor diangkat menjadi seorang pengawas di sebuah rumah sakit lokal setempat.

Tahun 1860 Taylor dan Maria kembali ke London untuk mempersiapkan berbagai hal dan memulihkan kesehatan mereka. Kesempatan ini juga digunakan Taylor untuk melanjutkan pendidikannya selain juga untuk membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ningpo.

Pada saat yang sama, Taylor mendirikan China Inland Mission (CIM) -- suatu organisasi misionaris yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan kepribadian Taylor. Taylor sadar bahwa China tidak akan pernah menerima penginjilan jika ia harus menunggu misionaris yang terpelajar untuk pergi ke sana. Karena itu Taylor merekrut orang-orang Inggris yang terpelajar untuk melakukan penginjilan ke China. Taylor juga mendirikan kantor CIM di China yang akan memperhatikan berbagai kebutuhan misionaris di sana.

Secara resmi CIM berdiri pada tahun 1865 dan tahun berikutnya Taylor mulai melakukan persiapan untuk berlayar ke China bersama dengan Maria, keempat anaknya, lima belas orang pengikutnya. Selama dalam pelayaran, rombongan ini tidak lepas dari berbagai permasalahan yang melanda mereka tetapi berkat kesabaran dan pendekatan secara pribadi segala permasalahan dapat diatasi oleh Taylor.

Setibanya di Shanghai, Taylor segera memesan pakaian model China bagi pengikutnya. Meskipun para pengikutnya telah mengetahui cara adaptasi ini tetapi keterkejutan mereka tetap tak dapat dihindari. Bahkan pengikut setia Taylor-pun ada yang merasa putus asa dan ingin menyerah, tetapi berkat pertolongan Tuhan permasalahan ini dapat diatasi.

Pada tahun 1868, rumah yang digunakan sebagai tempat penginjilan Taylor di Yangchow, dirusak dan dibakar. Peristiwa ini hampir merenggut nyawa para misionaris dan Maria. Meskipun peristiwa ini mengakibatkan banyak kerugian dan sempat membuat Taylor menyerah tetapi berkat dukungan dari salah seorang temannya, semangat Taylor kembali menyala untuk meneruskan misinya. Ia merasa bahwa melalui berbagai peristiwa yang terjadi Tuhan menjadikan ia sebagai orang yang baru.

Peristiwa yang tak kalah menyedihkannya adalah ketika Sammy, anaknya yang masih berusia lima tahun meninggal di awal bulan Februari. Beberapa bulan kemudian, Maria yang sedang hamil menderita sakit yang sangat serius. Awal bulan Juli Maria melahirkan seorang anak laki-laki yang hanya berumur dua minggu. Beberapa hari setelah kematian anaknya ini, Maria juga meninggal pada usia 33 tahun.

Tanpa Maria, Taylor benar-benar kehilangan semangat dan kesepian. Karena alasan itulah sebulan setelah kematian Maria, ia pergi ke Hangchow. Di sanalah ia menghabiskan waktu bersama Jennie Faulding, seorang misionaris muda yang masih berusia 22 tahun yang merupakan teman dekat keluarga Taylor sejak mereka tiba di China. Setahun kemudian mereka kembali ke Inggris dan menikah. Tahun 1872, mereka kembali lagi ke China bersama dengan para misionaris yang lebih banyak lagi jumlahnya.

Seiring dengan perkembangan CIM, Taylor menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelilingi China. Semakin luas daerah yang diinjili semakin besar pula beban yang harus ditanggung. Meskipun demikian, Taylor mempunyai rencana, yaitu jika ia berhasil merekrut 1000 misionaris dan jika masing-masing misionaris bisa menginjili 250 orang setiap hari maka hanya dalam jangka waktu kira-kira tiga tahun seluruh China sudah bisa mendapatkan penginjilan. Ini adalah visi yang tidak realistik, dan rencananya ini tidak pernah tercapai. Meskipun demikian, CIM memberikan sesuatu yang tak terlupakan di China. Tahun 1882 CIM berhasil memasuki setiap propinsi di China dan di tahun 1895, 30 setelah didirikan, CIM telah memiliki lebih dari 650 misionaris yang mengabdikan hidupnya di China.

Tahun-tahun terakhir di abad 19 adalah tahun yang penuh dengan tekanan dan melelahkan. Tekanan modernisasi dan pengaruh dari negara barat berlawanan dengan tekanan tradisi dan antagonisme terhadap orang-orang asing. Pada bulan Juni 1900 kekaisaran Peking memerintahkan untuk membunuh semua orang asing dan melarang semua kegiatan yang berhubungan dengan agama Kristen. 135 orang misionaris dan 53 anak- anak para misionaris dibunuh secara brutal.

Taylor kemudian diasingkan di Switzerland, memulihkan kembali kesehatannya dari kejadian yang membuatnya trauma meskipun ia tidak dapat benar-benar menghilangkan trauma yang dialaminya. Tahun 1902, Taylor menempati kembali jabatannya sebagai pimpinan utama misi. Taylor dan Jennie tinggal disana sampai Jennie meninggal tahun 1904. Setahun kemudian Taylor kembali ke China dimana akhirnya ia meninggal dengan tenang sebulan setelah kedatangannya.

Meskipun Taylor telah meninggal, namun CIM tetap berkembang. Puncak kejayaan CIM terjadi tahun 1914 dimana CIM menjadi organisasi misi yang terbesar di dunia dan pada tahun 1934 berhasil memiliki misionaris sebanyak 1368. Tahun 1964 CIM berganti nama menjadi "The Overseas Missionary Fellowship".

Diterjemahkan dan diringkas dari sumber:
Judul Buku : BAGAIMANA TOKOH-TOKOH KRISTEN BERTEMU DENGAN KRISTUS
Judul Artikel : Pelopor Utusan Injil -- Hudson Taylor
Penulis : James C. Hefley
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2000
Halaman : 66 - 68
Judul Buku : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Judul Bab : The Far East : "Barbarians Not Welcome"
Judul Artikel : The J. Hudson Taylors
Penulis : Ruth A. Tucker
Penerbit : Academie Books, 1983
Halaman : 173 - 188

HUDSON TAYLOR (Salib adalah Pengabdian dan Kebanggaan Baginya)

Salib adalah Pengabdian dan Kebanggaan Baginya

Harga yang harus dibayar, berapa pun mahalnya tidak akan pernah menghentikan semangat yang berkobar-kobar di dalam jiwa yang mencintai Kristus lebih dari apa pun juga. Dihina, dicemooh, menderita sakit, ditinggalkan anak istrinya dalam renggutan kematian, namun semua itu tidak pernah mengoyakkan pengabdian dan kasih mesranya kepada Tuhan.

Oktober 1858, Maria, istri Hudson Taylor, melahirkan anak sebelum waktunya, yaitu ketika janin berusia tujuh bulan. Tapi, akhirnya anak itu meninggal. "Kami senantiasa mempersembahkan bayi kecil yang belum lahir itu kepada Tuhan," tulis Maria kepada ibu mertuanya, "dan Ia tentu menerima maksud kami."

31 Juli 1859, Maria melahirkan anaknya yang kedua dan diberi nama Grace Dyer Taylor. Hudson menulis: "Aku telah mendambakan miniatur mungil manis dari Mariaku yang kusayangi."

Bulan Agustus 1867, Grace terkena radang selaput otak. "Tidak ada harapan Grace akan sembuh," katanya kepada Maria. Mereka menyerahkannya kepada Tuhan dan memohon agar Ia melakukan yang terbaik bagi-Nya dan bagi mereka. Kembali ke sisi tempat tidur Grace, Taylor berkata kapada Grace, "Aku kira Yesus akan membawamu kepada diri-Nya. Kau tidak takut memercayakan dirimu kapada-Nya bukan?" "Tidak, ayah." Terdengar jawaban. Esok harinya Hudson menulis surat kepada saudaranya: "Aku sedang menulis beberapa kalimat dari sisi ranjang Grace kecil yang kucintai, yang sekarang terbaring menghadapi ajal .... Saudaraku, jiwa dan daging kita kalah, tapi Tuhan adalah kekuatan jiwa kita, dan bagian kita selama-lamanya. Bukanlah perbuatan sia-sia atau bodoh, ketika mengenal negeri, rakyat, serta iklimnya (maksudnya negeri Cina yang menjadi ladang misinya), aku meletakkan istriku tersayang, anak-anak dan aku sendiri di atas mezbah untuk pelayanan ini."

23 Agustus 1867, keluarga Taylor dan yang paling dekat dengan mereka, berkumpul di sekeliling tempat tidur Grace. Hudson menyanyikan lagu-lagu pujian, sekalipun kadang-kadang suaranya tak keluar. Maria terbungkuk di atas Grace yang sudah tidak sadar. Pukul 08.40 napasnya terhenti.

Maret 1869, Samuel Taylor, anaknya yang berikutnya yang berusia lima tahun terus-menerus menderita TBC usus dan akhirnya meninggal bulan Februari 1870, ketika ia hampir berusia enam tahun.

7 Juli 1870, Maria, istrinya, kembali melahirkan anak dan diberi nama Noel, tapi tidak beberapa lama anak itu mendapat infeksi berat di mulutnya, mencret-mencret, dan meninggal tiga belas hari kemudian. Pada saat itu Maria berumur 33 tahun, penyakit TBC usus itu juga mulai menyerang tubuhnya dan akhirnya merenggut nyawanya. Hari itu tanggal 23 Juli 1870.

Hudson berlutut di samping ranjang dan berdoa: "Tuhan terima kasih, Engkau telah memberikan Maria kekasihku kepadaku. Terima kasih untuk masa dua belas setengah tahun yang telah kami lalui bersama-sama dengan bahagia. Terima kasih Engkau telah membawanya kepada-Mu. Aku kini kembali mengabdikan diriku dalam pelayanan-Mu. Amin."

Sepuluh hari setelah kematian istrinya, Hudson menulis surat kepada ibunya, "Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku gembira bahwa Tuhan melakukan atau dengan sengaja membiarkan semua hal, dan membuat segala-galanya bekerja bersama-sama demi kebaikan orang- orang yang mengasihi-Nya. Dia dan hanya Dia, yang tahu apa artinya istriku yang tercinta bagiku. Ia tahu bagaimana sinar mataku dan kegembiraan hatiku dalam dirinya .... Tapi, Ia berpendapat adalah baik mengambilnya; memang baik untuk dia dan dalam kasih-Nya. Ia mengambilnya tanpa rasa sakit; dan tidak kurang untukku yang sejak itu harus bekerja dan menderita sendiri, namun tidak sendirian karena Tuhan belum pernah begitu dekat kepadaku."

Hudson Taylor dilahirkan pada 21 Mei 1823 di Yorkshire, Inggris dan meninggal 3 Juni 1905. Hudson Taylor menjadi misionaris di negeri Cina dan mendirikan Cina Inland Mission (CIM), seorang Bentara Kristus, seorang yang menganggap dirinya hamba yang kecil dari Tuan yang besar. Dalam masa sukar seberat apa pun, Allah selalu menemukan orang-orang-Nya yang setia dan teguh dalam komitmennya kepada Kristus. Mereka adalah orang-orang yang mampu membuktikan bahwa, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13)

Biarlah kemenangan mereka memberi kesaksian yang menguatkan kita untuk bertahan, dan terus berkarya bagi-Nya. Bagaimana dengan Anda?

Diambil dari:

Judul majalah : ABBA GANG, Edisi April 1999
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Abbalove Ministries, Jakarta 1999
Halaman : 8 -- 9

Menggerakkan Orang Lewat Doa,Hudson Taylor

Hudson Taylor
Filsafat hidup Hudson Taylor adalah "Kita harus menggerakkan orang lewat Allah - yaitu dengan doa." Hudson Taylor adalah pendiri China Inland Mission yang sekarang disebut Overseas Mission Fellowship (OMF). Sewaktu ia masih muda ia mendengar suara dari Surga, "Pergilah ke Cina untuk-Ku." Sejak awal Taylor sadar bahwa panggilan yang sulit itu akan tergenapi hanya jika Allah yang bekerja lewat doa. Sepanjang hidupnya ia telah dengan baik dan berhasil membuktikan filsafatnya yang berbunyi, "Hanya lewat doa segala hal dapat dilakukan."
Pada tahun 1851, tidak lama setelah menerima panggilan Tuhan, Taylor tahu ia harus mulai menyiapkan dirinya jika ia mau menjadi seorang misionaris ke Cina. Keluarganya tergolong kelas menengah dan ia tinggal bersama orang tua dan kedua adiknya di rumah yang cantik di kawasan perumahan yang bagus. Sebagai latihan sebelum ia mulai bekerja di ladang Tuhan, ia pindah ke daerah kumuh dan tinggal di antara orang-orang miskin. Ia mendapatkan pekerjaan di suatu klinik praktek yaitu sebagai seorang asisten dokter. Tujuan Taylor memisahkan diri dari kenyamanan hidup yang dijalani sebelumnya adalah agar ia dapat membiasakan diri dengan kesendirian dan bahaya yang muncul dari hidup di suatu tempat asing di mana hanya Tuhan yang akan menemaninya. Ia memilih pekerjaan sebagai asisten dokter karena ia tahu pengetahuan medis akan sangat membantunya di Cina nanti. Usianya baru 19 tahun pada waktu itu.
Melihat pada integritas rohani Taylor sejak awal perjalanannya dengan Tuhan, tidaklah mengherankan bahwa Tuhan dapat memakainya dengan begitu luar biasa. Pada malam hari setelah tugasnya selesai, Taylor seringkali meluangkan waktu untuk bersaksi dan berdoa bagi tetangganya. Suatu malam, ia diminta untuk mendoakan seorang wanita yang sedang sakit. Suasana rumah wanita itu sangatlah murung, karena bukan saja ibu itu sakit tetapi anak-anaknya juga sedang dalam keadaan kelaparan. Waktu Taylor berdoa, sulit sekali baginya untuk mengucapkan kata-kata penghiburan karena terjadi pergumulan yang berat di dalam hatinya. Di dalam kantongnya ia memiliki sekeping koin perak yang dapat menjawab doa dan penderitaan keluarga miskin itu. "Munafik!" suara hatinya mengutuk dia. "Berbicara tentang Bapa Surgawi yang baik dan pengasih - tetapi saya sendiri tidak siap untuk mempercayai-Nya - untuk memberikan segala sesuatu yang saya miliki dan hidup tanpa uang sepeser pun!" Selesai berdoa, Taylor mengikuti suara hatinya dan memberikan uang koin satu-satunya kepada keluarga tersebut. Sepulang ke kamarnya ia menikmati hidangannya yang terakhir - semangkok bubur yang sudah dingin. Dengan memberikan uangnya kepada keluarga miskin itu, ia menjadi sama miskinnya dengan mereka. Walaupun ia tidak tahu apa yang harus dimakannya besok, ia teringat akan satu ayat di Kitab Suci yang berkata, "Dia yang memberi kepada orang miskin, memberi kepada Tuhan."
Keesokan harinya tanpa diduga ia menerima kiriman paket. Di dalamnya terkandung sekeping uang emas - nilainya 4 kali lebih besar dari uang perak yang diberikannya di malam sebelumnya. Taylor langsung berseru, "Itu bunga yang tinggi sekali! Ha! Ha! Saya berinvestasi di bank Tuhan selama dua belas jam dan ia mengembalikan ini! Itulah namanya bank!"


Di 'sekolah Tuhan' di daerah kumuh itu, Taylor belajar bahwa ia dapat percaya dan taat sepenuhnya kepada Tuhan dalam setiap sisi kehidupannya. Memang masih terlalu banyak yang harus dipelajarinya, tetapi pelajaran awal yang didapatnya adalah bahwa janji dan ucapan Tuhan dapat diandalkan. Pengalamannya di waktu itu mengajarkan kepadanya bahwa tidak ada yang lebih mendatangkan sukacita dibandingkan dengan doa dan jawaban terhadap doa. Ia telah belajar bagaimana untuk menggerakkan orang lewat doa. Ia tidak pernah meminta dari manusia untuk hal-hal materil. Semua kebutuhannya ia bentangkan di hadapan Tuhan.
Waktu Taylor mulai bekerja sebagai asisten dokter, dokter yang dengannya ia bekerja pernah berkata, "Taylor, ingatkan saya ya, kapan saya harus membayar upahmu. Karena sering terlalu sibuk dengan pekerjaan, saya pasti akan lupa." Dan dokter itu benar-benar lupa. Tetapi Taylor tahu bahwa di Cina nanti, ia tidak akan dapat meminta pada siapa pun, melainkan hanya kepada Tuhan. Jadi ia memutuskan untuk hanya meminta kepada Tuhan dan menyerahkan hal mengingatkan sang dokter ini pun kepada Tuhan.
Tiga minggu setelah itu sang dokter tiba-tiba teringat ia belum membayar gaji mingguan Taylor, tetapi pada malam itu ia kebetulan tidak punya uang karena semuanya sudah disetorkan ke bank. Taylor waktu itu telah sama sekali tidak memiliki uang dan ia harus membayar uang sewa kamarnya. Dan ia juga tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Sepanjang hari itu sebetulnya ia sudah berdoa sambil bekerja agar sang dokter itu akan ingat. Sesuai doanya, sang dokter itu memang ingat tetapi ingat pada saat ia kehabisan uang! Pada malam itu Taylor bekerja sampai jam 10 malam, walaupun letih tetapi ia merasa lega karena setidaknya ia tidak perlu pulang lebih awal dan menghadapi tuan rumahnya yang pasti akan menagih uang sewa kepadanya. Waktu ia sedang berkemas untuk pulang, sang dokter tiba-tiba masuk ke ruangannya dan berkata, "Aneh sekali, pasien saya baru saja datang dan membayar tagihannya! Ia salah satu pasien saya yang paling kaya dan ia bisa saja membayar lewat cek kapan-kapan saja tetapi ia datang membayar dengan uang kontan jam 10 di malam minggu!" Lalu ia menambahkan, "Oh ya, Taylor, sebaiknya kamu ambil saja uang ini. Saya tidak punya uang receh, tapi gajimu yang selebihnya akan saya bayar minggu depan... Selamat malam!"
Doanya terjawab! Ia bukan saja punya uang untuk membayar sewa kamar tetapi juga uang makan untuk minggu yang akan datang. Ia telah membuktikan sekali lagi dalam kehidupan sehari-harinya bahwa Tuhan menjawab doa dan menggerakkan orang. Ia telah siap untuk pergi ke Cina!
Catatan: Hudson Taylor merupakan misionaris yang paling besar dipakai Tuhan di dalam sejarah penginjilan di Cina. Selama 51 tahun pelayanannya, China Inland Mission yang didirikanya membangun 20 pos misi, mengirim 849 misionaris, melatih 700 pekerja pribumi dan mengumpulkan dana sebanyak empat juta dolar dengan iman (mengikuti contoh George Mueller), dan mengembangkan gereja Cina dengan jemaat 125,000 orang. Diperkirakan setidaknya 35,000 jiwa merupakan hasil langsung pelayanannya dan ia membaptiskan sekitar 50,000 orang. Taylor memiliki karunia luar biasa untuk menginspirasi orang-orang Kristen untuk memberikan diri dan kekayaan mereka bagi Kristus.

RAHASIA BIKIN IBLIS GEMETAR

IBLIS GEMETAR
Doa orang yang benar, sangat besar kuasanya dan ada hasilnya (Yakobus 5:16)

Bacaan: Yakobus 5:13-18
Setahun: Kejadian 10-12

Anda mungkin mengenal tokoh-tokoh kristiani seperti Hudson Taylor, Martin Luther, Gordon Lindsay, atau Corrie ten Boom. Tahukah Anda mengapa tokoh-tokoh ini bisa dipakai Allah secara luar biasa? Salah satu kesamaan yang mereka miliki adalah kehidupan doa yang luar biasa.

Corrie ten Boom mengatakan, “Iblis tersenyum ketika Anda menyusun suatu rencana. Ia tertawa ketika Anda terlalu sibuk. Namun, Iblis gemetar saat Anda berdoa.”

Gordon Lindsay berkata,“Waktu yang Anda manfaatkan untuk berhubungan dengan Tuhan tidak akan pernah sia-sia.”

Hudson Taylor mengatakan, “Jangan melakukan konser terlebih dulu, baru memeriksa alat musik Anda. Mulailah setiap hari bersama Allah.”

Martin Luther berkata, “Begitu banyak yang harus saya kerjakan hari ini, maka saya menggunakan tiga jam pertama saya untuk berdoa.” Kita tidak bisa hidup tanpa doa. Tanpa doa, kehidupan rohani kita menjadi lemah, sehingga kita mudah untuk jatuh ke dalam dosa. Iblis tidak akan takut jika setiap hari kita menghadiri rapat di gereja untuk menyusun strategi. Iblis tidak akan takut jika kita membuat program-program gereja yang sangat menarik. Iblis bahkan tertawa terbahak-bahak saat melihat kesibukan kita yang padat di gereja. Semua itu tidak akan membuat Iblis gentar. Namun, saat kita berdoa, Iblis akan gemetar dan lari dari hadapan kita.

Doa menembus batas ketidakmungkinan dan kemustahilan. Kemampuan kita sangat terbatas. Tanpa doa, kita tidak dapat berbuat banyak. Sebab itu, mari kita mulai kehidupan hari ini dengan doa! —PK

DOA DI PAGI HARI MENARIK BERKAT UNTUK SEPANJANG HARI


--------------------------------------------------------------------------------

Yakobus 5:13-18
5:13 Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa! Kalau ada seorang yang bergembira baiklah ia menyanyi!
5:14 Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.
5:15 Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.
5:16 Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.
5:17 Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan.
5:18 Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumipun mengeluarkan buahnya.

SUMBER :
Diterbitkan Oleh Yayasan Gloria untuk kemuliaan Tuhan --
Sharing : TUHAN BERBICARA MELALUI BANYAK CARA (2)
Lagi, Tuhan kembali berbicara dengan banyak cara melalui peristiwa yang sama sekali tidak kita duga. Dan sekali lagi aku mo sharing dan kali ini kejadiannya minggu, 15 Juni malam.
Siang kemarin karena suatu hal aku melalaikan doa devosiku kepada Kerahiman Illahi , yang didoakan setiap jam 15.00. Kadangkala kalau di kantor sibuk dengan pekerjaan aku juga melupakan kewajibanku ini .
Tapi pada malam kemarin saat aku baca salah satu tulisan di warta gereja aku merasa tertegur karena aku selama ini hanya menganggap komitmenku untuk berdoa setiap jam 15.00 hanya kewajiban tanpa dilandasi kerinduan dan hormat yang dalam untuk datang kepadaNya. Sehingga bila lupa berdoa hal itu berlalu begitu saja tanpa penyesalan. Dan inilah tulisan yang telah membuat aku tersadar akan kekeliruanku selama ini :
Suatu hari sudah petang seorang petani miskin pulang dari pasar dan menyadari ia lupa membawa buku doa, roda gerobaknya terlepas tepat di tengah hutan dan ia menyesal bahwa hari akan lewat tanpa bisa mengucapkan doanya.
Maka inilah doa yang dibuatnya;
"Perbuatanku amat bodoh ya Tuhan, aku meninggalkan rumah pagi ini tanpa membawa buku doa dan ingatanku sedemikian rupa hingga doa satu pun tidak dapat kukatakan tanpa buku.maka inilah yang hendak kukatakan: Aku akan mengucapkan a-b-c lima kali pelan -pelan dan Engkau yang mengetahui semua doa,bisa mengatur huruf-hurufnya untuk membentuk doa yang tidak dapat kuingat itu."
Dan Tuhan berkata kepada para malaikatNya :" Dari segala doa yang Aku dengar hari ini satu ini niscaya yang paling baik karena datang dari hati yang sederhana dan jujur."

Begitulah kali ini Tuhan berbicara bahkan menegur melalui suatu artikel yang tanpa sengaja aku baca.

GBU all


Angela Fenny

EAGLE ( Angela Fenny)

Oleh : Angela Fenny
Aku diciptakan sebagai raja segala burung dan sebagai burung yang gagah perkasa
Saat badai datang aku tidak takut. Segera kukembangkan sayapku
Bahkan badai kunanti karena membantuku
terbang lebih tinggi mendekati matahari

Kuingat saat aku belajar terbang
indukku menjatuh bangunkan aku di udara
Semakin tinggi aku dijatuh bangunkan
dan semakin aku berhasil mengatasinya
indukku semakin senang


Setiap hari kugosok paruhku ke bulu -buluku
Hingga bulu- buluku menjadi sangat berminyak
Dan inilah strategiku supaya aku tidak tenggelam
saat aku menyambar ikan di laut


Ada kala aku capai,Kekuatan sayapku mulai berkurang
Aku tidak memaksa diri
Kupergi ke tempat yang tinggi di atas bukit batu

Kurontokkan dan kucabuti semua bulu- buluku !
Kubersihkan diriku dari lumpur, debu dan kutu
Kulakukan itu selama 40 hari
Sakit.. ya memang sakit...

Sendiri.. sepi....sunyi....
Tapi aku harus melakukan itu !
Karena kutahu setelah apa yang kualami ini
aku akan menjadi lebih sehat, lebih kuat dan
aku dapat terbang lebih tinggi


Dengan berani kulintasi dirgantara
Sendiri !
Dan hanya ada satu sobatku yang setia
Dia yang selalu menopang kekuatanku
Hanya Dialah Tuhan Yesus Kristus
Sumber kekuatan dan keberanianku


Tulisan ini kubuat setelah doa malam 17 Mei lalu dimana dalam doa aku melihat burung rajawali dengan matanya yang tajam, kita tahu bahwa Tuhan menciptakan burung ini sangat luar biasa, digambarkan sebagai burung yang tegar, kuat dan berani.

Aku diingatkan melalui burung rajawali ini supaya dalam setiap perkara yang kita hadapi dan pada saat perjalanan iman kita mengalami kemunduran , janganlah cepat menyerah dan segera berlarilah pada Tuhan untuk mendapat kekuatan baru.

Dan betapa sering di alkitab di temukan kata mengenai burung rajawali ini, karena burung ini mempunyai ciri - ciri yang sangat istimewa:

1.Tidak takut badai.

Rajawali tidak takut badai bahkan badai akan membantu dia untuk terbang lebih tinggi menuju matahari. Pada saat badai datang dia akan segera mengembangkan sayapnya.

Demikian juga dengan kita bila badai kehidupan datang janganlah cepat menyerah dan berjuang dengan kekuatan sendiri tapi segeralah kita berlari pada Tuhan yang mana dia akan memberi kekuatan pada kita .

2.Dididik dengan disiplin oleh induknya

Pada saat anak- anak rajawali belajar terbang, mereka dididik dengan sangat disiplin oleh induknya tidak dengan manja . Hal itu terlihat bagaimana mereka menjatuh bangunkan anak- anak mereka di udara dan tentunya mereka juga segera mendukung bila anak - anak itu hampir jatuh.

Seringkali pada saat kita mengalami ujian kita segera mengeluh pada Tuhan, kita tidak percaya bahwa Dia ada disana.

Tegarlah pada setiap ujian yang datang padamu !Jangan hanya mengeluh !Mintalah kekuatan pada Tuhan , dan pada saat engkau berhasil melewati ujian itu percayalah Bapa kita di surga akan bersorak - sorai menyambut kemenanganmu.

3.Persiapan diri setiap hari.

Setiap hari rajawali menggosok bulu - bulu di tubuhnya dengan paruhnya, sampai bulu- bulu tersebut menjadi sangat berminyak.

Hal ini dimaksudkan supaya pada saat dia menyambar ikan di laut dia tidak tenggelam karena tubuhnya yang berminyak itu.

Kita pun demikian, perlu persiapan setiap hari dimana sebelum melakukan segala aktifitas pada hari itu hendaknya dilakukan doa pagi sehingga kita terhindar dari pelbagai cobaan yang ada.

4.Menyediakan waktu untuk memperbarui diri.

Ada kalanya kehidupan rohani kita melemah. Jangan memegahkan diri! Akuilah itu dan rendahkanlah dirimu!Karena itu kita perlu diisi firman , doa - doa,puasa dan pengurapan yang segar supaya kita mempunyai kekuatan yang lebih dasyat lagi.

5.Terbang sendiri.

Burung rajawali tidak terbang bergerombol seperti burung lain, dia terbang sendiri dan berani mengalami segala rintangan di udara sendiri.

Meski kita merasa sendiri dalam mengalami berbagai badai kehidupan ingatlah bahwa hanya ada satu sobat yang setia, sobat yang selalu ada di kala suka dan duka, sobat yang selalu memberi kekuatan baru dengan cinta yang tak bersyarat. Dan hanya Dialah Tuhan Allah kita yang sanggup melakukan itu untuk kita.


Prenz..... kita diciptakan Tuhan sebagai rajawali - rajawaliNya . Dia rindu untuk melihat kita mempunyai karakter seperti rajawali ini.Kalau Dia bisa menciptakan burung yang begitu hebat yang bisa mengatasi badai apakah tidak terpikirkan oleh kalian Dia rindu melihat kita makhluk ciptaan termuliaNya untuk mempunyai kekuatan seperti rajawali? Bahkan mungkin lebih lagi karena kita berakal budi....

Ok.. prenz jadikan ini perenungan untuk kita semua... hv a nice day .. GBU

Fraksi PDS Tolak Sahkan RUU Perbankan Syariah

Fraksi PDS Tolak Sahkan RUU Perbankan Syariah
Selasa, 17 Juni 2008 | 12:56 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Fraksi Partai Damai Sejahtera menolak Rancangan Undang-undang Perbankan Syariah disahkan menjadi undang-undang. Fraksi PDS meminta sikapnya masuk dalam minderheids nota.

"Fraksi PDS tidak ikut bertanggung jawab atas dampak di kemudian hari," kata juru bicara Fraksi PDS Retna Rosmanita Situmorang dalam Rapat Paripurna DPR di gedung MPR/DPR, Selasa (17/6).

Fraksi PDS berpendapat undang-undang kegiatan perbankan syariah tidak diperlukan. Alasannya, kegiatan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Retna mengatakan produk perbankan syariah di beberapa negara berupa turunan dari undang-undang perbankan. Selain itu, Fraksi PDS berpendapat RUU tidak sesuai Pancasila dan konstitusi pasal 27 ayat 1. "NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) berdasarkan Pancasila bukan negara agama," ujarnya.

Islamic Banking System
June 18th, 2008, in News, by Patung


The Sharia Banking Act is passed into law, and opposition to it from Christian legislators.


The Sharia Banking bill (RUU Perbankan Syariah) was enacted on 17th June and won the support of most political parties with the only opposition coming from the Partai Damai Sejahtera (PDS), a Protestant/Evangelical party.

Retna Rosmanita Situmorang of the PDS (Central Sulawesi) says the sharia banking bill is not needed as there are already provisions for sharia rules in the Banking Act (UU Perbankan) of 1992 as revised in 1998.


Retna Rosmanita Situmorang

She said additionally that no national laws should be made that applied only to single groups of people based on religion, as this would result in a dual legal system, one system for Muslims and one for others. [1]

NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) is based on Pancasila and is not a religious state.

Indonesia: Communal Tensions in Papua

EXECUTIVE SUMMARY AND RECOMMENDATIONS

Indonesian Papua has seen periodic clashes between pro-independence supporters and goverment forces, but conflict between Muslim and Christian communities could also erupt unless rising tensions are effectively managed. Violence was narrowly averted in Mano­kwari and Kaimana in West Papua province in 2007, but bitterness remains on both sides. The key fac­tors are continuing Muslim migration from elsewhere in Indonesia; the emergence of new, exclusivist groups in both religious communities that have hardened the perception of the other as enemy; the lasting impact of the Maluku conflict; and the impact of developments outside Papua. National and local officials need to ensure that no discriminatory local regulations are enacted, and no activities by exclusivist religious organisations are supported by government funds.

The Manokwari drama, played out over more than two years, illustrates some of the changes. It started in 2005, when Christians mobilised to prevent an Islamic centre and mosque from being built on the place where German missionaries brought Christianity to Papua in the mid-nineteenth century. Muslim anger went beyond Papua; many Indonesian Muslims, newly conscious of the history of Muslim traders in the area, saw Islam as Papua’s original religion and found the rejection of the mosque intolerable. Local church leaders, seeing the reaction, believed they needed to strengthen Manokwari’s Christian identity and in 2007 drafted a regulation for the local parliament that would have infused the local goverment with Christian values and symbols and discriminated against Muslims in the process. It was never enacted but generated a furore in Muslim communities across Indonesia and increased the sense of siege on both sides. It remains to be seen how a new draft that began to be circulated in late May 2008 will be greeted.

It is not just in Manokwari, however, that the communities feel themselves under threat. Many indigenous Christians feel they are being slowly but surely swamped by Muslim migrants at a time when the central government seems to be supportive of more conservative Islamic orthodoxy, while some migrants believe they face discrimination if not expulsion in a democratic system where Christians can exercise “tyranny of the majority”. The communal divide is overlain by a political one: many Christian Papuans believe autonomy has not gone nearly far enough, while many Muslim migrants see it as a disaster and are fervent supporters of centralised rule from Jakarta.

In some areas latent tensions have been kept under control by pairing a Papuan Christian district head with a non-Papuan Muslim deputy, with political and economic spoils divided accordingly. That may work in areas like Merauke, where the migrant population has already exceeded 50 per cent, but is not a solution where the majority feels itself under threat.

Where the risk of conflict is high, indigenous Papuan Muslims, largely concentrated in the Bird’s Head region of north western Papua, can play a bridging role, particularly through a new organisation, Majelis Muslim Papua. This organisation is both firmly committed to universal Islamic values and deeply rooted in Papuan culture and traditions. They have a demonstrated capacity to cool communal tensions, working with their Christian counterparts. But the indigenous Muslim community is being divided, too, as more and more have opportunties to study Islam outside Papua and come home with ideas that are at odds with traditional practices. It would be in the interests of all concerned to support a network of state Islamic institutes in Papua that could produce a corps of indigenous religious scholars and reinforce the moderation long characteristic of Papuan Muslims.

Several mechanisms are available for dialogue among religious leaders in Papua, including the working group on religion of the Papuan People’s Council (Maje­lis Rakyat Papua, MRP), a body set up to preserve Papuan rights and traditions, but they do not necessarily have any impact at the grassroots. More effective might be programs designed to identify com­munal hotspots and work out non-religious programs that could benefit both communities.

RECOMMENDATIONS:

To the Central Government:

1. Avoid supporting faith-based activities with an overtly political agenda, so as not to exacerbate existing problems, and instruct the armed forces and police to ensure that Papua-based personnel are not seen as taking communal sides.

2. Identify new approches to addressing communal tensions at the grassroots level, going beyond the often ineffectual promotion of interfaith dialogue among elites.

3. Work with the provincial governments to support the State Islamic Institute (STAIN) in Jayapura and facilitate close links with the State Islamic University (UIN) in Jakarta to ensure that Papua develops its own indigenous scholars and teachers able to interpret universal Islamic values in ways that are in harmony rather than conflict with customary traditions.

To Local Governments:

4. Ensure that government funding of or contributions to religious activities are transparent and independently audited, with amounts and recipients easily available on websites or in public documents.

5. Avoid funding any groups that preach exclusivity or enmity toward other faiths.

6. Ensure public debate on the percentage of jobs for Papuans and the impact on further in-migration of non-Papuans before agreeing to any further administrative division.

7. Reject discriminatory local regulations.

8. Work with donors to identify areas of high tension where conflict might be defused by non-religious projects involving cooperation for mutual benefit across communities.

To Donors:

9. Support conflict-resolution training for Papua-based organisations, including the Majelis Muslim Papua and the religious working group of the Papua People’s Council (Majelis Rakyat Papua, MRP).

Jakarta/Brussels,

WATCHMAN NEE, "Pahlawan Iman yang Tegar di Tegah Badai"

                   
   Pada awal abad ke-16, banyak misionaris yang berasal dari Amerika
   dan Eropa diutus ke negeri Cina. Pada Tahun 1987, terjadi bentrokan
   antara Perkumpulan Pedang Besar dengan umat Kristen sehingga jatuh
   dua korban jiwa berkebangsaan Jerman, dan berakibat didudukinya kota
   pelabuhan Kiao Chou oleh Jerman. Kemudian pemimpin dari Perkumpulan
   Pedang Besar mengganti nama perkumpulannya menjadi Tinju Keadilan
   dan Keserasian, dengan slogannya yang berbunyi "Lindungi Qing,
   bantai orang asing".

   Peristiwa inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan
   anti orang asing yang terkenal dengan nama Pemberontakan Boxer di
   Cina. Pada masa ini, banyak orang Kristen yang mati syahid. Namun
   demikian, Allah menggerakkan para pekerja-Nya yang juga berasal dari
   negara Cina itu sendiri. Banyak pemberita Injil lokal yang bangkit
   memerluas berita Injil, salah satu di antaranya adalah Watchman Nee.

   Watchman Nee lahir pada tanggal 4 November 1903 di Foochow, tenggara
   Cina. Ibunya yang bernama Piece Lin sudah memiliki dua anak
   perempuan saat mengandung Watchman Nee. Saat itu dalam tradisi Cina,
   anak laki-laki lebih disukai dibandingkan anak perempuan. Oleh
   karena itu, timbul kekuatiran dalam hati Piece Lin, kalau-kalau anak
   ketiganya ini adalah anak perempuan lagi. Ditambah lagi, banyak
   orang yang mengatakan kepadanya bahwa ia akan mengalami hal yang
   sama dengan saudara perempuan suaminya, yang melahirkan enam anak
   perempuan. Oleh karena itu, Piece Lin berdoa kepada Tuhan, kalau ia
   memunyai anak laki-laki, maka ia akan memersembahkannya kepada
   Tuhan. Doanya pun dikabulkan oleh Tuhan dan ia melahirkan seorang
   anak laki-laki yang diberi nama Henry Nee.

   Akhirnya keluarga Nee Weng Shiu, ayah Henry Nee, dikaruniai oleh
   Tuhan empat orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan.
   Sebelum mengalami kelahiran baru, Henry Nee adalah seorang anak yang
   berkelakuan buruk, namun demikian ia adalah seorang anak yang
   cerdas. Ia selalu menduduki peringkat pertama mulai dari sekolah
   dasar sampai saat ia bersekolah di Anglican Trinity College di
   Foochow.

   Ia mulai menaruh perhatian serius terhadap kekristenan pada saat ia
   melihat perubahan hidup ibunya yang sungguh-sungguh mengalami
   kelahiran baru. Ia mulai menghadiri kebaktian yang dipimpin oleh
   Dora Yu, seorang wanita yang melepaskan kariernya sebagai seorang
   dokter dan menjadi seorang penginjil. Ia mulai mengalami pergumulan
   batin karena ada konflik dalam pikirannya antara mengikut Tuhan atau
   membina kariernya.

   Akhirnya pada tanggal 29 April 1920, ia memperoleh kemenangan
   rohani, bertobat, dan mau mengikut Tuhan seumur hidupnya. Dan sesuai
   dengan tradisi bangsa Cina untuk memilih nama baru sesudah mengalami
   perubahan dalam hidupnya, ia mengganti namanya dari Henry Nee
   menjadi Nee To-Sheng (giring-giring penjaga) atau dalam bahasa
   Inggrisnya Watchman Nee. Ia memilih nama ini karena menganggap
   dirinya sebagai seorang penjaga yang memberi tanda dan panggilan di
   tengah kegelapan malam.

   Diperlengkapi dan Dilatih Oleh Tuhan

   Watchman Nee tidak pernah belajar di sekolah teologi. Wawasan iman
   dan teologinya ia peroleh dengan membaca bacaan-bacaan rohani yang
   ia dapat dari Margaret Barber, seorang misionaris Anglican.
   Buku-buku rohani yang ia baca, antara lain Pilgrim's Progress karya
   John Bunyan, Biografi Hudson Taylor dan Madame Guyon, The Spirit of
   Christ karya Andrew Murray, Autobiografi George Muller, Church
   History karya John Foxe, dan sebagainya. Ia benar-benar seseorang
   yang tekun menggali firman Tuhan.

   Pada masa-masa awal pelayanannya, ia membagi uang yang ia dapat
   menjadi 1/3 untuk kebutuhan pribadinya, 1/3 untuk membantu
   sesamanya, dan sisanya untuk membeli buku-buku rohani. Ia memeroleh
   lebih dari tiga ribu buku Kristen yang bermutu, termasuk karya-karya
   tulis orang-orang Kristen pada abad pertama.

   Persekutuannya dengan Barber mengilhaminya untuk tetap setia dengan
   radikal terhadap salib dan mengobarkan semangatnya terhadap firman
   Tuhan. Setelah itu, persahabatannya dengan Miss Barber dan biografi
   Hudson Taylor yang ia baca, memengaruhi hubungannya dengan uang. Ia
   mengetahui komitmen Taylor yang hanya menceritakan kebutuhan
   finansialnya kepada Tuhan saja. Ia juga melihat Barber hidup dengan
   prinsip tersebut. Ia amat terkesan dengan cara-cara yang Tuhan
   lakukan untuk mencukupkan kebutuhan finansial Barber. Hal ini
   membuatnya semakin bertekad untuk menyerahkan segala kebutuhan
   hidupnya kepada Tuhan.

   Setelah bertobat, ia mulai terbeban untuk memberitakan Injil kepada
   teman-teman di sekolahnya. Ia menulis nama tujuh puluh temannya dan
   secara teratur mendoakan mereka satu persatu setiap hari. Dalam
   beberapa bulan, hanya satu dari antara mereka yang tidak mengalami
   kelahiran baru! Mereka mulai mengadakan persekutuan doa di kapel
   Trinity dan persekutuan ini terus berkembang hingga meluber sampai
   ke jalanan di Foochow. Mereka juga kerap membagikan brosur yang
   berisi berita mengenai jalan keselamatan kepada orang-orang yang
   mereka temui di jalan. Setelah Pemberontakan Boxer, timbul gerakan
   anti Kristen (kebencian bersifat politik yang berkembang di Cina
   terhadap segala hal yang berbau Barat). Banyak pemimpin gereja yang
   mendapat tekanan dari pemerintah Cina agar berkompromi dalam
   beberapa hal.

   Dengan demikian, Watchman Nee yang dicap sebagai pengkhotbah
   "radikal" mulai disingkirkan oleh rekan-rekan pelayanannya. Karena
   kecewa, ia pindah ke Ma-hsien, sebuah desa nelayan yang tidak jauh
   dari misi Barber. Di sini, ia terus mempelajari firman Tuhan secara
   lebih mendalam. Watchman Nee melihat banyak kaum muda yang yang haus
   dan lapar akan firman Tuhan karena kondisi gereja telah berubah
   menjadi menjadi sekularisme agama yang suam dan melumpuhkan gerakan
   Roh Kudus. Ditambah lagi dengan perasaan anti barat, anti Kristen,
   dan semangat nasionalisme menguasai banyak rakyat Cina.

   Pemahamannya yang mendalam terhadap firman Tuhan membuatnya semakin
   teguh meresponi panggilan Tuhan. Ia bertekad untuk terus
   memberitakan Injil dan mendirikan gereja-gereja lokal yang memiliki
   pemahaman yang benar terhadap Injil.

   Tahun pertama dari sebelas tahun masa pelayanannya dimulai dengan
   deraan penyakit TBC yang parah (tahun 1922). Dokter bahkan telah
   memvonis bahwa ia hanya akan bertahan hidup selama enam bulan saja.
   Melihat kondisinya yang parah, teman-temannya membawanya ke tempat
   misi Barber agar memeroleh perawatan. Meskipun sedang sakit parah,
   ia tidak mau menyerah. Perlahan-lahan, ia berhasil menyelesaikan
   bukunya yang berjudul manusia rohani. Sakitnya kian bertambah parah,
   namun firman Tuhan di dalam 2 Korintus 1:2; "Dengan iman kamu
   berdiri teguh" dan Markus 9:23; "Tidak ada yang mustahil bagi
   Allah", muncul dengan jelas dalam pikirannya. Ia lalu bangkit dari
   tempat tidurnya dan berjalan menuju rumah sahabatnya. Setiap
   langkah, ia berseru, "Berjalan dengan iman; berjalan dengan iman!"
   Saat itulah Tuhan menyembuhkannya secara ajaib.

   Setelah kesehatannya pulih kembali, ia memutuskan untuk memindahkan
   pusat pelayanannya ke kota Shanghai. Di kota ini, ia mulai merintis
   pendirian gereja lokal di Hardoon Road. Gereja ini mulai bertumbuh,
   dan dalam waktu singkat menjadi pembicaraan orang dari seluruh
   pelosok provinsi, bahkan sampai ke Inggris. Charles Barlow, salah
   seorang anggota London Group of Brethen, berkunjung ke Shanghai.
   Laporannya tentang kehidupan rohani dan perkembangan gereja di
   Hardoon Road membuat Group of Brethren, London, mengirim satu tim
   menuju gereja tersebut. Mereka mengundang Watchman Nee untuk datang
   ke Inggris. Nee menyanggupinya, dan pada usia tiga puluh tahun ia
   meninggalkan Cina dan menuju Inggris.

   Tanggal 19 Oktober 1934, Watchman Nee menikah dengan gadis
   idamannya, Charity Chang. Namun bibi Charity di Shanghai, melalui
   surat kabar nasional, menyerang karakter Watchman Nee. Ia dituduh
   melakukan transaksi yang curang dengan para investor asing. Hal ini
   memberikan kesempatan kepada "musuh-musuh" Watchman Nee untuk
   membagi-bagikan artikel yang menyerang pribadi Watchman Nee. Ia
   sempat mengalami depresi, namun dukungan teman-teman setianya dan
   pertolongan Roh Kudus membuat ia bangkit kembali.
   Bersama rekan-rekannya, ia lalu mencurahkan waktu untuk merintis
   jemaat lokal. Pada tahun 1937, ia diundang untuk memberitakan Injil
   di Manila.

   Pada saat yang bersamaan, Jepang mulai menduduki Cina. Bersama
   istrinya, Watchman Nee bergegas menuju Hong Kong, yang merupakan
   lokasi tempat tinggal orang tua Watchman Nee. Di Hong Kong, ia
   berjumpa dengan rekan-rekan misionaris yang memintanya datang lagi
   ke Inggris. Selama empat bulan di Inggris, ia memberikan pelayanan
   pengajaran dan penulisan buku-buku rohani. Ia kembali mengalami
   dukacita saat menerima surat dari istrinya, yang memberitahukan
   bahwa kandungannya mengalami keguguran. Ia ingin segera kembali ke
   Cina, namun perang Sino-Jepang memaksanya tinggal lebih lama.

   Tahun 1941, Jepang kembali melancarkan serangan hebat terhadap kota
   Shanghai. Gereja di Shanghai mengalami kondisi yang buruk saat
   Jepang akan menyerang Hong Kong, Watchman Nee menerima kabar
   kematian ayahnya dan kembali ke Hong Kong untuk mengatur upacara
   pemakaman ayahnya. Saat kembali ke Shanghai, ia mengalami krisis
   keuangan yang sangat parah, namun Tuhan senantiasa menolongnya.
   Watchman Nee menerima bantuan dari sumber-sumber yang tidak terduga.
   Sebagian bantuan berasal dari orang-orang Kristen di Inggris.

   Saudara Watchman Nee, George, memintanya untuk menjadi mitra dalam
   mendirikan pabrik farmasi. Awal tahun 1942, pabrik tersebut pun
   didirikan. Banyak rekan kerja Watchman Nee yang bekerja paruh waktu
   di pabrik tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pelayanan
   mereka. Keputusan Watchman Nee untuk bertindak seperti Rasul Paulus
   yang melayani dan bekerja sendiri, membuat rekan-rekannya yang
   berpikiran sempit melarangnya untuk berkhotbah di gereja. Ia
   kemudian memindahkan pabriknya ke Chungking. Di sana, ia membuka
   pelatihan bagi hamba-hamba Tuhan yang berasal dari kaum awam.
   Bisnisnya amat berhasil, tetapi Watchman Nee tetap meluangkan waktu
   menjadi penginjil keliling. Atas usaha Witness Lee, para penatua di
   Shanghai sadar akan kelakuan mereka yang tidak terpuji terhadap
   Watchman Nee. Mereka kemudian mengundang Watchman Nee untuk memimpin
   sebuah konferensi Alkitab di Hardoon Road. Lebih dari 1.500 orang
   hadir untuk mendengarkan gembala mereka menyampaikan firman Tuhan.

   Tanggal 31 Januari 1949, Tentara Pembebasan Rakyat pimpinan Mao Tse
   Tung memasuki Beijing. Ini adalah langkah awal berkuasanya kaum
   Komunis di Cina. Setelah Komunis berkuasa, Chou En-Lai yang menjabat
   sebagai perdana menteri, mengumpulkan para pemimpin gereja dan
   menerbitkan "Christian Manifesto for the Protestant Churches" yang
   berisi prinsip-prinsip gerakan kekristenan baru. Sejak saat itu,
   gereja mulai terikat akan peraturan-peraturan Komunisme.

   21 April 1951, ribuan cendekiawan Shanghai mulai ditangkap. Pada
   tanggal 10 April 1952, giliran Watchman Nee yang ditangkap. Ia
   dituduh melanggar dan menentang "Tiga Gerakan Reformasi Diri Gereja
   Kristen". Ia mulai mengalami aniaya yang berat, sementara itu
   istrinya mengalami tekanan batin dan nyaris mengalami kebutaan
   akibat penyakit darah tinggi yang dideritanya. Ia menjalani
   perawatan dan berada di bawah pengawasan polisi. Watchman Nee sudah
   menjalani hukuman selama lima belas tahun, namun masih ditambah lima
   tahun lagi. Charity Chang, istrinya telah dibebaskan dengan kondisi
   kesehatan yang buruk dan menanti kepulangan suaminya di Shanghai.
   Namun hanya enam bulan menjelang tanggal pembebasan suaminya, ia
   terjatuh dan mengalami luka-luka parah yang mengakibatkan ia
   meninggal dunia. Ini membuat duka yang mendalam bagi Watchman Nee.
   Selama berada di penjara, ia ditugaskan menerjemahkan buku-buku ilmu
   pengetahuan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Cina.

   Tanggal 12 April 1972, Watchman Nee menyelesaikan masa hukumannya,
   tetapi ia masih belum dibebaskan. Akhirnya, pada tanggal 1 Juni
   1972, Watchman Nee meninggal dunia dalam penderitaan dan kesendirian
   karena mengalami sakit jantung yang kronis ditambah dengan siksaan
   yang ia alami. Kemudian, jazadnya pun dikremasi. Saudara perempuan
   istrinya yang tertua menerima kabar kematiannya dan meminta abu
   jenazah Watchman Nee dikuburkan bersama dengan istrinya di Kwanchao,
   kota Haining di provinsi Chekiang.

   Watchman Nee telah tiada. Ia kini berada di surga dengan Allah Bapa
   dan mengalami sukacita kekal. Selama pelayanannya, diperkirakan ada
   kurang lebih empat ratus gereja lokal yang dirintis dan didirikan
   olehnya. Lebih dari tiga puluh gereja lokal berdiri melalui
   pelayanannya di Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, dan
   Indonesia. Hari ini Tuhan berkarya melalui gereja-gereja tersebut
   dan berkembang menjadi lebih dari 2300 gereja di seluruh dunia.

   Daftar Pustaka:
   1. Kesaksian Watchman Nee. Bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Kwang
      Hsi Weigh, Yayasan Perpustakaan InjiI, Surabaya 1974.
   2. Watchman Nee Hamba Tuhan Yang Menderita, Adonai Publishing, 2000.
   3. www.Watchmannee.org/life-ministry.html

   Diambil dan disunting seperlunya dari:
   Judul majalah: Cahaya Buana, Edisi 93, Tahun 2003
   Judul asli artikel: Watchman Nee
   Penulis: Tidak Dicantumkan
   Penerbit: Komisi Literatur GKT III, Malang 2003
   Halaman: 11 -- 13

Religius Demokrat

Religius Demokrat

Adakah tempat bagi Pancasila di tengah-tengah kebangkitan agama?

Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kebangkitan kembali agama. Sesuatu yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Pada April 1966, majalah TIME menurunkan laporan utama Is God Dead? Pada awal milenium ini, The Economist dengan percaya diri menulis obituari tentang Tuhan. Tapi, peristiwa 11/9 mengubah itu semua!

Kini, kita menyaksikan dunia yang sedang berubah. Inilah masa, ketika agama menjadi semakin penting bagi kehidupan banyak orang. Religion strikes back. Lihatlah Nigeria yang kini terbelah antara utara yang Islam dengan selatan yang Kristen. Pantekosta berkembang pesat di Korea Selatan dan Brazil. Negeri Balkan terpecah antara Bosnia dan Kosovo yang Islam dengan Serbia yang menganut Orthodoks dan Kroasia yang Katolik. Partai berbasis Islam AKP kini berkuasa di negeri sekuler Turki. Pendeta Budha di Burma bangkit melawan rejim militer. Di negeri gajah putih, para Biksu menuntut pemerintah menempatkan Buddhisme sebagai agama resmi negara.

Kebangkitan serupa juga terjadi di Indonesia. Gereja-gereja di mal, kini dipenuhi para jemaat. Mesjid-mesjid makin lantang melantunkan azan dan ceramah. Organisasi massa dan partai berbasis agama tumbuh subur memanfaatkan ruang demokrasi.

Adakah tempat bagi Pancasila di tengah masyarakat yang sedang berubah ini?

Pada 1 Juni kita memperingati hari lahir Pancasila. Dulu, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai kontrak sosial, untuk mengikat seluruh kelompok yang mendukung perjuangan. Sila pertama adalah upaya merangkul kelompok agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab dipakai untuk mengikat kaum humanis. Persatuan Indonesia ditujukan bagi para nasionalis. Kaum demokrat diakomodasi lewat sila keempat. Sementara kelompok sosialis diberi kompensasi sila kelima.

Setelah 63 tahun kelahirannya, Pancasila menghadapi tantangan baru. Kita melihat kecenderungan menguatnya politik identitas seiring kebangkitan agama. Kini mulai muncul suara yang menginginkan agar negara diatur berdasarkan agama. Di tingkat pusat, sejumlah fraksi di parlemen sempat mengusulkan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta diakomodasi ke dalam konstitusi. Sementara di daerah, bermunculan peraturan bernuansa syariah. Inilah fenomena yang disebut sebagai creeping syariatism, atau syariatisasi yang merayap ke puncak kekuasaan. Pertanyaan berikutnya, seberapa besar dukungan terhadap ide ini?

Riset Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, dukungan publik kepada Pancasila sebenarnya masih sangat besar. Sebanyak 83% masyarakat menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar masih cocok bagi Indonesia. Bandingkan dengan 5,3% suara yang menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar kurang cocok dan harus diganti. Artinya dari kurang lebih 150 juta populasi masyarakat dewasa, sekitar 124,5 juta mendukung Pancasila. Sebaliknya yang tidak menginginkan hanya sekitar 7,95 juta orang. Secara sederhana, penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran konstitusional masyarakat kita masih sangat tinggi.

Penelitian Saiful Mujani dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM (2001), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang semakin religius. Tapi di sisi lain, penerimaan terhadap nilai-nilai demokrasi juga besar. Temuan ini, seolah mematahkan klaim Samuel P. Huntington yang menganggap kesalehan berbanding terbalik dengan sikap demokratis.

Semangat keimanan umat Islam di Indonesia diterjemahkan ke dalam kegiatan kolektif, antara lain dengan berpartisipasi dalam organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau Majelis Taklim. Tanpa sengaja, aktifitas sosial ini membuat mereka menjadi lebih terbuka dan terbiasa melihat keberagaman. Dalam istilah anak muda, orang yang lebih gaul, akan lebih terbuka melihat perbedaan. Inilah generasi baru yang disebut sebagai kaum religius demokrat. Pada merekalah, masa depan Pancasila dan keberagaman kita akan dipertaruhkan.

Selamat Hari Pancasila.


Andy Budiman
Asisten Produser Program "Topik Minggu Ini"

Pengrusakan Terhadap Gereja (Persecuted church)

Pengrusakan Terhadap Gereja
January 21st, 2008

Mengapa terdapat begitu banyak penyerangan terhadap gereja-gereja di Jawa Barat.


Gereja-gereja yang Teraniaya di Indonesia

Pada tanggal 14 Januari, para anggota dari Himpunan Warga Gereja Indonesia (HAGAI) mengunjungi kediaman Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta untuk mengadukan penyerangan gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia.

Pendeta Alma Shepard Supit dari HAGAI menyatakan:

Kami minta Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi yang jelas dan tegas tentang kebebasan beragama dan menjalankan peribadatan menurut agama dan keyakinan masing-masing dan pelanggaran atasnya adalah pelanggaran HAM.

Beliau mengatakan bahwa di tahun 2007 telah terjadi 18 kasus gereja yang dirusak, diserang, dan dipaksa untuk memberhentikan kegiatannya.

Daerah Sekitar Jakarta

Supit juga mengutip laporan dari Konferensi Waligereja Indonesia, yakni diantara September 1969 dan Maret 2006, 950 gereja sempat mengalami penghancuran atau dibakar habis. Sementara itu juga, sejak Maret 2006 dan Agustus 2007, 67 jemaat gereja telah menderita berbagai macam ancaman dan gertakan.

Saat ini Supit berpendapat bahwa lusinan gereja di daerah sekitar Jakarta berada dalam keadaan yang tidak nyaman.

Seorang pendeta yang lain, Novi Suratinoyo, menyalahkan pemerintah yang tidak menjalankan hukum dan polisi yang hanya menjadi penonton saat kerusuhan sedang terjadi.

Idfal Kasim dari Komnas HAM menyatakan seringnya Komnas HAM menerima pengaduan seperti ini, namun beliau menyesali sedikitnya hasil dari anjuran-anjuran yang telah dibuat kepada pihak berwenang.

Solo/ Surakarta

Di Jawa Tengah pada waktu Natal 2007, Kapolwiltabes Surakarta Kombes Pol Yotce Mende menyatakan bahwa 85 dari 500 gereja di kota tersebut dianggap polisi sebagai rawan akan penyerangan dari masyarakat Muslim setempat.

Mengapa Jawa Barat (& Solo)?

Pada tanggal 3 Januari 2008 pakar Indonesia Sidney Jones berusaha untuk menelaah banyaknya kejadian anti-Kristen di Jawa Barat (dan bukannya Jawa Timur):
Persecuted Church
January 21st, 2008, in News, by Patung


Why there are so many attacks on churches in western Java.


Persecuted Churches Nationally

On 14th January members of the Himpunan Warga Gereja Indonesia (HAGAI), Indonesian Churchgoers Association, visited the offices of the National Human Rights Commission, (Komnas HAM) in Jakarta to complain about attacks against churches and Christian congregations around the country.

Pastor Alma Shepard Supit of HAGAI said:

We’re asking that Komnas make very clear its position on religious freedom, that preventing people from performing their religious obligations is a violation of human rights.

The pastor said that in 2007 there were 18 cases of churches being attacked, or forced to close, or vandalised.

Greater Jakarta

He also cited data from the Jakarta Christian Communication Forum that between September 1969 and March 2006 950 churches had been vandalised or burned down, while between March 2006 and August 2007 67 church congregations had suffered intimidation or disturbances from outsiders.

Presently Supit said dozens of churches in the greater Jakarta area found themselves in a “tense” situation.

Another pastor, Novi Suratinoyo, blamed the government for not enforcing the law, and the police for often standing by while church attacks took place.

Idfal Kasim of Komnas HAM said his group often received reports of this nature but regretted that their recommendations rarely carried any force with the authorities. [1]

Solo/Surakarta

In Central Java at Christmas 2007 Surakarta police chief Yotce Mende said that 85 out of the 500 churches in the city were considered by the police to be under threat of attack or had problems with local Muslim residents. [2]

Why West Java (& Solo)?

Indonesianist Sidney Jones wondered on 3rd January 2008 why West Java was the scene of so many anti-Christian disturbances (and not, presumably, East Java):

It is not clear why religious vigilantism has been such a problem in West Java.

And offered one possible explanation:

one theory is that aggressive Protestant evangelicalism there has made inroads in strongly Muslim communities, creating fears of “Christianization”.

However she noted that deviant Islamic communities such as Ahmadiyah often suffer a worse fate in West Java (and perhaps are not seen as proselytizing like the evangelicals). [3]


Sidney Jones.

Belum jelas mengapa keketatan beragam merupakan masalah yang begitu besar di Jawa Barat.

Dan menawarkan satu penjelasan yang mungkin:

…salah satu penjelasan adalah gerakan Protestanisme yang telah masuk kedalam masyarakat-masyarakat Muslim, dan hal ini menciptakan kekhawatiran akan ‘Kristenisasi’.

Walaupun begitu ia mengamati bahwa masyarakat Islam yang ‘berbeda’ seperti Ahmadiyah sering mengalami nasib yang lebih buruk di Jawa Barat (dan barangkali karena tidak terlalu giat menambah anggota seperti kelompok-kelompok Muslim yang lain).

FPI too busy talking to God

Christians are so close to God that they call Him "father" in prayer, while Muslims are so far away from Allah that they need loudspeakers to talk to Him.

This is an old joke, but I couldn't tell you earlier because I was afraid. If Rizieq Shihab had found out, he might have beaten me black and blue or, worse, burned down my house.

Thank God, he is now in police custody.

If you happen to have watched the news (not the saucy gossip shows or soap operas) or read the paper recently, you would know of Rizieq, the leader of the Islam Defenders Front (FPI).

A radical group, FPI, attacked members of the National Alliance for Freedom of Faith and Religion (AKKBB), who were rallying last Sunday at the National Monument (Monas) park to mark the 63rd anniversary of Pancasila state ideology.

The FPI made their attack because the alliance supports Jamaah Ahmadiyah, a minority Islamic sect dubbed "heretical" by a government panel which also recommended it be banned.

The hardliners had earlier attacked Ahmadiyah sect members, their houses and mosques, and called Ahmadiyah a deviant sect.

The sect leader was once accused of blasphemy, but other than that I have never heard of the sect's members committing theft, robbery, murder or any other crimes listed in the Criminal Code.

If they have their own interpretations of some verses in the Koran, it is only God who could decide whether it is right or wrong.

In 2006, FPI members vandalized the Play Boy magazine offices in South Jakarta, when the magazine first published its Indonesian version. They said the publication could damage people's morality, but perhaps the real reason was that they were disappointed to find the Indonesian version didn't have the same 'hot' pictures as its American parent. They had also repeatedly attacked cafes, bars and nightspots during the Ramadhan fasting month because they believed the establishments violated existing regulations and would tarnish the Holy month.

And they committed all these violent acts in the name of God. Frequently FPI members shouted "Allahuakbar" (God is Great) while conducting their anarchic deeds. They also prayed a lot.

Praying five times a day is one of the five pillars of Islam followed by, not only FPI members, but all Muslims around the world.

The Muslim call to prayer, and prayer itself, can be heard in every corner of the city. It would seem it is a case of the louder, the better, so that everyone in the neighborhood can hear it. It doesn't matter if it is still dawn or if it's during school hours and the mosque is right next to a school. If one mosque is next to another, they may even compete to be loudest.

On Friday, mosques are crowded with congregations who enthusiastically come to pray and listen to preachers. Non-Muslims also perform their religious rituals devoutly. Churches are always full on Sundays, when Christians and the Catholics pray and praise the Lord.

Indonesia is indeed one of the most religious nations in the world, a fact confirmed by last year's religion monitoring study conducted in 21 countries by the German-based Bertelsmann Foundation.

Ironically, Indonesia is also notorious for being among the world's most corrupt countries. Being religious, corruptors must pray first before stealing state money, or perhaps they set aside a little of the corrupted money to build mosques or churches.

Another indicator of the strength of religion in Indonesia was in the huge number of people who enjoyed the recent movie Ayat-Ayat Cinta (Verses of Love), which is heavily loaded with religious messages.

President Soesilo Bambang Yudhoyono who watched the blockbuster along with several cabinet ministers reportedly shed tears because he was so touched by the story. But many joked, saying he had cried because he shared the pain of not being allowed to have more than one wife like the leading role.

Anyway, following the Monas attack, many people (mostly Muslims) demanded the ban of the FPI and some even called its members preman berjubah (thugs in Muslim robes) as they wore long white robes and headscarves during the violence.

Not only FPI members, but it seems many other Muslims, Christians and other deeply religious people are often too busy talking to God in one-way conversations, praising and worshiping God, reading the Koran, the Bible and other holy books, while turning their backs on fellow human beings.

Of course, talking to God is important, but if they think praying five times a day or going to Church every Sunday, or even everyday, is enough to allow them climb the stairway to heaven, maybe they should think again.

By the way, if you find the opening of this piece offensive, please accept my apology. I don't mean to upset anyone, let alone God, who must be sad enough seeing the violence and frequent religious conflicts within this so-called religious nation.

-- T.Sima Gunawan
Comments could also be sent to:
readersforum@thejakartapost.com